Semampang itu sekedar meniti eksak hati teraniaya bukan dinyana
kelihatan anda tetap selalu siap mendengar bahwa kau terlambat
tiga menit telah bila akan berirama hati patut apa jadinya jantung
sebagai api dalam sekam nan memercik keadaan disekeliling kami
mungkin hadirmu dalam mimpiku adalah karena cinta hidup matikah
mengering dalam kesunyian hingga penjelajah nasibnya tak pasti
Keadaan ini aku ingin mengawinimu saat petus tunggal godok
mematangkan hati para petani saat daun-daun bernyanyi disiram
gerimis lalu kukabarkan namamu sebagai pengantin paling basah
siang pada catatan terpahat tak pernah tetapbatin gemulai terirama
musim ini juga akan aku sewa riak sungai-sungai mengalir dihatimu
juga alat bajak sawah tua agar dapat menghela ke semua petak
Selama bulan datang kulihat mata besarmu sebagai telaga bening
teduh sikat kalbu absolut sebelum aku menanam biji-biji jantungku
aku merasa sangat bahagia setelah hujan menguyur desaku
mempertaruhkan sebuah doa nan penuh harapan untuk hari esok
setelah kau bermimpi elok berkenaan tentang semangat rintihan
senandung damai ini cinta waktu akhirnya mengikutimu mewangi
Puisi : Edy Priyatna
(Pondok Petir, 27 Mei 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H