Revisi terbatas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ini menuai polemik yang cukup besar, menyita perhatian publik terkait perubahan yang dilakukan oleh dua lembaga Negara yaitu DPR dan MPR. Beberapa poin penting yang di usulkan tentunya memiliki pertimbangannya masing-masing  yang setiap pertimbangannya menuai kontroversi bagi pemerintah dan masyarakat.Â
Hendardi menilai, rumusan revisi UU MD3 mengandung banyak pasal kontroversial yang tidak disusun atas dasar argumentasi akademik yang memadai disampaikan melalui siaran pers, Kamis (15/2/2018). Tidak tanggung-tanggung ribuan Mahasiswa dari berbagai daera melakukan aksi untuk melakukan penolakan terhadap revisi UU MD3 tersebut.
Saat semua mata tertuju pada persoalan Revisi maka saya mengajak beberapa mata untuk melirik kembali persoalan di balik Revisi ini, beberapa pertanyaan yang krusial yang akan membuka cakrawala berpikir kita, yang pertama adalah Apakah UU MD3 ini merupakan hal yang urgen untuk menjawab kebutuhan pokok masyarakat?Â
Yang kedua Apakah perjuangan yang dilakukan dalam membahas UU MD3 ini menyangkut kesejahteraan rakyat? , atau apakah UU MD3 ini hanya di gunakan sebagai Tameng atas problem yang terjadi di lingkungan pejabat negara, khususnya DPR ? Ataukah mungkin ini hanyalah PENGALIHAN ISU yang dilakukan oleh Pemerintah atas berbagai problematika yang terjadi di bangsa ini.
Lihatlah berbagai problem yang dulunya menyita perhatian publik kini terkubur di dasar penantian kejelasan hukum. Baik kasus E-KTP, Kartu Kuning untuk Jokowi Dan beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat Negara. Kasus-kasus yang krusial ditutupi dengan isu murahan oleh Pemerintah.
Jika kita melihat dari kacamata awam maka DPR seharusnya menekan agar adanya  kepastian hukum bagi mereka yang terjerat dalam berbagai kasus, DPR harus mampu mengakui bahwa merekalah sarang dan penampung aspirasi masyarakat, bukan penampung aktor korupsi.Â
Dengan adanya UU MD3 maka kekuatan dari DPR semakin kuat dan tak terkalahkan, kMelaluinya napa demikian? Karna didalam undang-undang tersebut DPR menambah kekuasaannya sebagai badan legislatif dengan kekuasaan penegakan hukum.Â
Bahkan, melampaui kewenangan penegak hukum. Kekuasaan baru DPR sebagaimana tercantum dalam UU tersebut yakni tidak boleh dikritik baik pribadi maupun status keanggotaannya sebagai anggota dewan, mengikis kewenangan penegak hukum untuk memproses anggota DPR yang bermasalah dengan hukum, memaksa, menyandera, dan memperkarakan pihak-pihak yang tidak memenuhi undangan DPR,hingga bisa menolak orang yangakan memberikan keterangan di DPR.
Dengan demikian maka salahkah jika saya mengatakan DPR ingin membentengi dirinya dengan payung hukum!, tambah lagi dilarang untuk mengkritik, hal ini tidak singkron dengan Demokrasi yang ada di Negri ini ya udah dari rakyat oleh dan untuk rakya. Oleh sebab itu rakyat berhak mengkritik karna pemimpin yang dipilih berasal dari rakyat dan untuk rakyat.
Namun apapun itu, mungkinkah ini hanyalah PENGALIHAN ISU?
"Jika hari ini rakyat di larang untuk Mengkritik maka sekalian juga rakyat dilarang untuk memilih"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H