Siapa coba yang tidak tahu gunung Merapi?? Apalagi jika anda adalah orang Indonesia,pasti sudah sangat tahu dengan gunung yang satu ini. Gunung dengan ketinggian 2.968 diatas permukaan laut, gunung ini merupakan salah satu gunung teraktif di Indonesia. Terbukti dengan kedahsyatan erupsinya pada bulan Oktober tahun lalu, bahkan dampak sekundernya pun sudah meluluh lantakan desa Jumoyo, Salam, Magelang dan sekitarnya. Yang terakhir pada pertengahan bulan Maret kemarin banjir lahar dingin sudah membuat Jembatan Pabelan, jembatan penghubung antara Magelang ke Jogjakarta putus. Jika kita hitung satu persatu dampak dari letusan Merapi yang sangat dahsyat ini memang tidak akan cukup hanya dalam selembar kertas. Media baik elektronik, surat kabar, media online sudah banyak sekali yang memberitakan tentang kedahsyatan letusan Gunung Merapi ini...
Tetapi disini saya tidak akan membahas mengenai Merapi dan segala dampak erupsinya, sebagai orang yang terlahir di kaki gunung Merapi, saya ingin berbagi cerita kecintaan kami kepada gunung yang dianggap sebagai gunung yang sangat berbahaya ini. Karena jika membahas tentang erupsi merapi, tentu lebih banyak pakar yang lebih ahli mengenai hal ini. Disebuah desa yang disebut dengan desa Tlogolele berada kurang lebih 7 km dari puncak Merapi desa kami ini merupakan desa yang berada di kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Yang menurut hemat saya, seharusnya desa saya akan jauh lebih baik jika ikut kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, karena letaknya yang berada di perbatasan antara Kabupaten Boyolali dan Magelang. Yang dampaknya bisa kami rasakan sekarang, setelah erupsi yang cukup dahsyat beberap jembatan penghubung antar desa terputus dan hal ini membuat kami kesulitan jika harus pergi ke kantor kecamatan, karena harus memutar terlebih dahulu melalui kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang.
Baiklah langsung saja saya akan bercerita sebuah tradisi yang selalu dilakukan oleh penduduk desa kami. Yang mungkin tidak banyak orang tahu, dan meskipun mereka tahu, belum tentu juga mereka mau menghargai tradisi tersebut. Mungkin saja mereka justru berpikiran bahwa hal itu adalah sama halnya dengan menduakan Tuhan, musrik, dll. Tradisi ini adalah sedekah Gunung, setiap satu tahun sekali pada bulan Ruwah (2 bulan sebelum Lebaran) desa kami selalu membuat sedekah gunung. Yaitu dengan melakukan kenduri oleh seluruh penduduk desa. Setiap rumah/kepala keluarga mengadakan kenduri, dan mengundang tetangga-tetangga terdekat. Kenduri ini memang ditujukan sebagai symbol memohon keselamatan jika terjadi sesuatu pada gunung Merapi (erupsi). Setiap ibu rumah tangga yang akan mengadakan kenduri sedekah gunung harus menyiapkan beberapa menu special. Bukan menu atau makanan istimewa dan mahal tetapi sangat sederhana dan yang pasti rasanya juga luar biasa.
Namanya juga sedekah gunung tentu saja kenduri dengan nasi yang dicetak tumpeng atau seperti bentuk gunung ini adalah symbol dari gunung merapi itu sendiri. Nasinya bukan dari beras seperti nasi tumpeng pada umumnya, tetapi nasinya nasi jagung. Konon katanya menurut leluhur kami "mbah petruk" sang penunggu gunung merapi sangat menggemari nasi jagung ini. Tentu saja dengan menu pelengkapnya, beberapa makanan desa yang menurut saya cukup nikmat (apalagi buatan ibu saya) tapi mungkin menjijikkan bagi anda yang belum pernah makan. Salah satu menu yang juga menjadi menu kegemaran saya adalah gomok, makanan ini terbuat dari pelepah pisang. Pelepah pisang yang paling muda (paling dalam yang berwarna putih) diambil kemudian di bersihkan, setelah itu ditumbuk lalu dicampur dengan bumbu-bumbu rahasia (saya bilang rahasia karena hanya para ibu yang tahu hehe) kemudian dibentuk bulat agak lonjong seperti lemper dan dibungkus selembar daun pisang yang masih muda juga, setelah itu baru dikukus. Aneh bukan?? Hehee yang pasti makanan itu tidak beracun dan rasanya agak sedikit pedas memang pas dimakan dengan nasi jagung sambil bernyanyi "gomok ayung-ayung mbah bothok kemul sarung" heheee
Selain itu juga harus disiapkan sayur daun ranti penduduk kami biasa menyebut (kluban dong ranti), ranti adalah sejenis tanaman berdaun seperti daun kemangi dan memiliki bunga dan biji kecil-kecil yang berwarna hijau (menurut ilmu biologi saya mungkin tanaman ini masuk golongan seperti terong). Kalau menu yang satu ini cukup direbus sampai matang lalu disajikan dengan sambal kelapa parut (hampir seperti urap). Dan yang tidak boleh ketinggalan adalah bongko makanan ini terbuat dari kacang gude bahasa indonesianya saya belom menemukannya. Kacang ini berwarna ungu pekat, yang bijinya lumayan agak keras. Seperti halnya gomok, untuk membuat bongko kacang ini harus ditumbuk terlebih dahulu kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu dan juga santan, lalu dibungkus daun pisang kemudian di kukus.
Setelah itu juga ada beberapa makanan yang harus disiapkan antara lain kopi hitam,dan jadah bakar (kalau untuk yang satu ini biasanya sebagai pelengkap sesaji) tetapi karena dikeluarga kami tidak ada yang melakukan ritual sesaji, jadi kopi dan jadah itu akan jadi rebutan bagi kami anak-anaknya. Mungkin memang bukan hal penting yang saya tulis disini, tapi yang ingin saya tekankan adalah bahwa ketika penduduk sekitar merapi tidak mau untuk di relokasi bukan karena sudah merasa kuat dengan sesaji maupun tradisi-tradisi yang ada, tetapi jauuuuuh karena mereka terlalu cinta pada merapi. Bahkan pasca letusan dahsyat bulan Oktober tahun lalu, ketika hujan abu masih terus mengguyur desa kami, tetap ada sekelompok penduduk yang bertahan dirumah masing-masing. Dan terbukti mereka masih sehat wal afiat sampai sekarang. Menurut saya kepercayaan pada Tuhanlah yang menyelamatkan mereka.
Memang penduduk desa kami rata-rata berpendidikan rendah, lulus SD saja sudah beruntung, apalagi bisa lulus kuliah sangat membanggakan. Dan sebagai orang yang bertahun-tahun tinggal dan menjadi penduduk lereng Merapi, saya bisa merasakan bahwa Merapi bukanlah ancaman bagi kami, Merapi adalah sahabat dan teman kami. Meskipun ilmu tentang kegunung apian sama sekali tidak kami mengerti, tetapi kami mengerti tentang kearifan pada alam pendukung hidup kami terutama Merapi. Sudah hampir 6 bulan berlalu, dari erupsi dahsyat Merapi, saat ini tibalah kami kembali mensyukuri muntahan lahar yang keluar dari Mulut Merapi.
Bahagianya ketika melihat bapak panen cabe keriting, melihat para tetangga panen sayur-sayuran yang tumbuh dengan subur dari lahan pertanian kami dilereng gunung Merapi. Ya,,, memang beberapa waktu kami harus menyingkir terlebih dahulu, karena kami harus memberi jalan bagi  "wedus gembel" untuk lewat supaya kami tetap selamat. Bertahun-tahun kami menikmati hasil bumi dari kesuburan tanah merapi tidak ada salahnya jika kami rehat sejenak, membiarkan Merapi kembali bergejolak karena kami juga yang akan menikmati pupuk alami dari abu Merapi. Sedikit cerita tentang Merapi yang menurut saya paling Indonesia. Ya hanya Merapi yang paling Indonesia di Indonesia.
Salam Lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H