[caption id="attachment_76795" align="alignleft" width="400" caption="Sumur tua ujung jalan"][/caption]
Jarang sekali sekarang melihat sebuah sumur. Sumur, kata yang tidak asing dan akan menjadi asing mungkin dalam beberapa tahun kedepan.Disana tercipta beragam peristiwa, bersilaturahmi, bergosip, atau apapun. Saat ini sebuah sumur jarang sekali ditemui di kota ini. Sumur sebagai tempat berkumpul, saling berkeluh kesah sekarang tergantikan dengan bilik air dalam sekat rumah setiap keluarga. Bukan suara kerekan atau mengerasnya otot menarik timba sumur, bukan cekikian atau guyonan lagi yang dapat ditemui. Mereka melupakan sumur, sumur yang dulu menyatukan.
Inilah tempat dimana dalam filosofi jawa menempatkan seorang perempuan harus berada di 'sumur'. dalam filosofi jawa kita kenal dengan istilah 'dapur, kasur, sumur'Â yang kalo tidak salah artinya bahwa perempuan itu harus bisa di kasur, dapur dan sumur. lha sekarang sudah jarang sekali di temui sumur yang hampir tergantikan dengan kran-kran dari pompa air.
Tradisi mencuci ramai-ramai sambil bergosip tentang rumah tangga sepertinya hampir hilang. Beruntung masih ada sumur yang masih bisa ditemukan di sempitnya ujung jalan Jogja. Setiap hari di sumur itu terlihat ada beberapa ibu-ibu yang mencuci, seorang yang mengambil air untuk wudlu. Mumpung belum hilang sumur yang sudah langka itu, langsung saja ngambil beberapa dokumentasi. Sumur yang khas dengan kerekan dan padasan semen yang juga jarang ditemui.
Ya, karena saya termasuk orang kampung yang merindukan sebuah sumur. Kemana lagi sumur-sumur itu, dulu masih kuat ingatan saya setiap sore sebagian warga kampung berkumpul memandikan anak-anak mereka(termasuk ibu yang memandikan saya,padahal punya sumur sendiri) rasa kebersamaan itu sekarang jarang sekali terlihat.Sumur, riwayatmu kini.
Sedang merindukan sumur di kampung. [caption id="attachment_76796" align="aligncenter" width="600" caption="Hampir kemana sumur-sumur itu"]
fiksi sumur
.:Pada Sebuah Sumur:.
Mereka berkumpul , menceritakan mengenai remeh-temeh kehidupan. Cerita untuk masa depan keluarga mereka bahkan cerita keburukan keluarga mereka. Di sebuah sumur yang menjadi saksi, cerita-cerita itu mengalir dengan sendirinya. Bersama cucian pakaian mereka, bersama piring kotor mereka, bersama sabun, deterjen mereka. ia menjadi saksi di balik kehidupan kecil di sudut cerita masyarakat.
Suara anak kecil menangis, matanya dikucek-kucek menggunakan tangan kirinya. kemungkinan sabun mandi itu mengenai matanya. ia menangis bukan karena perihnya sabun, melainkan tidak mau mandi hingga sabetan halus tangan sang ibu mendarat pada bokong kiri anak itu. Sambil entah mengomel apa ibu itu berbicara ngalor ngidul, ia mengomel bukan karena anaknya menangis, melainkan ia sendiri merendahkan kehidupannya. Kehidupan hingga ia mengalihkan pikiran tentang kerasnya kehidupan kepada bokong kiri anaknya.
Seorang lelaki dengan jubah putih mendekat diantara ibu-ibu di sebuah sumur. lengan putih bajunya ia lipat perlahan, jubah putih hingga menutup tungkak kakinya ia gulung perlahan keatas kemudian dimasukan diantara selangkangan kakinya. Kopyah putih yang menutup rambut kepalanya ia dorong sedikit kebelakang. Tangan nya mulai membuka padasan tua, dibasuh dengan pelan kedua tangan, hidung, muka, telinga hingga ujung-ujung kakinya. Dipanjatkan doa kepada Yang Esa setelah tangan yang masih bercucuran air itu diangkat ke depan mukanya.Suaranya yang akan terdengar sebentar lagi dari suara toa mushola kecil kalah oleh suara alunan omelan seorang ibu yang sedang memandikan anak kecil yang menangis.