d.Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e.Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, dan kemesraan
f.Terkejut : terkesiap, terkejut
g.Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h.malu : malu hati, kesal
g. Imajinasi
Kata imajinasi berasal dari bahasa Latin imagination, imaginary yang berarti kegiatan yang menyenangkan atau membentuk kesan-kesan atau konsep-konsep mental yang sesungguhnya tidak ada bagi indera-indera.
Imajinasi harus dibedakan dengan ingatan. Imajinasi merupakan kemampuan untuk menggabungkan dengan bebas representasi dan ide. Bahan yang dipakai imajinasi adalah ingatan yang dimiliki seseorang yang selanjutnya diolah sesuai dengan keinginan seseorang sehingga menjadi menyenangkan bagi dirinya sendiri.[18]
Imajinasi sangat penting untuk berpikir kreatif, produktif, dan inspiratif terutama untuk ilmu pengetahuan, seni, dan teknik. Imajinasi bisa juga member dampak yang buruk bagi individu maupun lingkungannya jika imajinasi tersebut tidak terkontrol.
Para filsuf umumnya memberikan pendapat masing-masing terhadap imjinasi ini sesuai aliran filsafat masing-masing. Kaum empiris seperti Thomas Hobbes membagi imajinasi dalam dua tipe yaitu tipe simpel(contoh mengimajinasi seseorang atau seekor kuda) dan gabungan (contoh mengimajinasi seekor kuda berkepala manusia). Kant membagi imajinasi dalam imajinasi reproduktif (mengumpulkan bahan-bahan imajinasi sehingga lengkap) dan produktif (membuat imajinasi baru). Coleridge membagi imajinasi dalam dua bagian yaitu angan-angan (fancy) dan imajinasi konstruktif. Fancy lebih mirip dengan imajinasi gabungan Hobbes sedangkan imajinasi konstruktif adalah menciptakan dunianya sendiri dari bagian-bagian acak sesuai seleranya secara baik. Upaya ini disebut daya esemplastik (kemampuan menyusun menjadi satu kesatuan utuh). Crose lebih memandang imajinasi itu sebagai kreasi intuisi seseorang dan sangat penting dalam kreasi estetis.[19] Sartre membedakan imajinasi dengan persepsi. Sartre mengatakan bahwa antara imajinasi dan persepsi tidak ada perbedaan mendasar terhadap objek yang imajinasikan dan dipersepsi.Lebih lanjut disebutkan bahwa imajinasi lebih spontan, kreatif, dan produkstif dibandingkan dengan persepsi.[20]
h. Intuisi
Kata intuisi berasal dari bahasa Latin yang berarti memandang. Intuisi merupakan pemahaman atau pengenalan terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi (penyimpulan). Penglihatan langsung atau penangkapan (aprehensi kebenaran). Intiusi berpangkal pada konsep ide bawaan.[21]
Lorens Bagus membagi intuisi dalam dua bentuk yaitu:[22]
1.intuisi inderawi, intuisi terbatas pada penampakan dunia benda-benda. Dalam arti luas imajinasi disebut intuitif sejauh imajinasi tersusun dari unsure-unsur intuitif, murni inderawi, seraya sekaligus berabstraksi dari eksistensi hal-hal particular yang disajikan.
2.intuisi intelektual, intuisi intelektual diyakini hanya milik roh murni. Intuisi intelektual ditata untuk berada dan karenanya dalam hal-hal bendawi intuisi intelektual ditunjukkan kepada inti hakiki hal-hal tersebut. Intuisi ini dapat dipahami pada kegiatan kerohanian.
Beberapa filsuf yang tertarik membahas intuisi antara lain adalah Aristoteles, Descrates, Locke, Leibniz, William Ockham, Spinoza, Kant, Bergson, Husserl, Croce, G.E. Moore, Prichard, Ewing, dan Ross.
i. Jiwa
Kata jiwa yang dalam bahasa Inggris disebut soul mengacu kepada pelaku pengendali, pusat pengaturan, atau prinsip vital pada manusia.[23] Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonim dengan roh, akal, atau awak diri. Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.[24]
Beberapa pendapat filsuf tentang jiwa:
1.Aristoteles menganggap jiwa sebagai forma tubuh yang dibedakan dari aspek rasional dan irasional, sehingga terdapat perbedaan tingkat yaitu fungsi vegetative (tanaman), sensitive (binatang), dan rasional (manusia);
2.Strato memandang jiwa sebagai kesatuan tubuh;
3.Origenes memandang jiwa manusia sudah ada sebelumnya. Kehadirannya dalam tubuh menandakan dosa dan kejatuhannya. Kejatuhan ini dikaitkan dengan penyalahgunaan kebebasan;
4.Plato mengembangkan paham jiwa sebagai unggul atas tubuh. Plato juga membagi jiwa dalam tiga konsep yaitu akal, kehendak, dan nafsu (keinginan/hasrat).
3. Penutup
Tulisan ini merupakan hasil penulusuran penulis melalui buku-buku dan sumber internet dalam memahami apa itu daya manusia yang dikaitkan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Tulisan ini bukan berangkat dari pemahaman penulis akan apa yang akan ditulis, justru berangkat dari ketidaktahuan tentang apa yang akan dikerjakan sehingga segala yang dianggap penulis berkaitan dimasukkan dalam tulisan ini.
Manusia sebagai makhluk hidup berada pada stata ciptaan yang paling tinggi karena manusia mampu mengolah dan beradaptasi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya dengan mengandalkan daya-daya atau kemampuan yang ada pada dirinya. Kemampuan itulah yang berproses sehingga setiap individu saling berbeda. Hal ini menjadi objek kajian para filsuf untuk mencari jawaban terhadap hakikat manusia.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Abidin,Zainal, 2009. “Esensi Manusia Menurut Sejumlah Aliran Dalam Filsafat”, dalam Zainal Abidin 2009. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Durat, Will, “Kehendak untu k berkuasa dan manusia Unggul: Filsafat Friedrich Nietzsche” dalam Zainal Abidin, 2009. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Spiegelberg, Herbert. “Konflik Eksistensi Manusia Menurut Jean Paul Sartre”, dalam Zainal Abidin 2009. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumber Internet:
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5830-apakah-hati-nurani-itu
http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2009/08/11/filsafat-hati-nurani-bag-1/
http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2009/08/11/filsafat-hati-nurani-bag-1/
http://www.kompasiana.com/posts/type/opinion/
http://belajarpsikologi.com/pengertian-emosi/
http://belajarpsikologi.com/pengertian-emosi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Jiwa
http://fisip.unand.ac.id/sosiologi/index.php/diktat/diktat-sejarah-pemikiran-modern
[1] Lorenz Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Hal. 566 – 567.
[2] Ibid. Hal. 567
[3] Zainal Abidin, 2009. “Esensi Manusia Menurut Sejumlah Aliran Dalam Filsafat”, dalam Zainal Abidin 2009. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
[4]http://fisip.unand.ac.id/sosiologi/index.php/diktat/diktat-sejarah-pemikiran-modern
[5] Herbert Spiegelberg. “Konflik Eksistensi Manusia Menurut Jean Paul Sartre”, dalam Zainal Abidin 2009. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 206.
[6] Lorenz Bagus. 2005. Op.Cit. Hal. 1126.