RM Ali Amin Menurut Djohan Hanafiah
(Mengenang Setahun Meninggalnya Djohan Hanafiah)
oleh: Rois Leonard Arios
[caption id="attachment_103884" align="alignleft" width="86" caption="Djohan Hanafiah"] [/caption] RM Ali Amin adalah tokoh penting bagi Sumatera Selatan, sebagai mantan walikota Palembang, mantan sekretaris gubernur militer Sumatera Selatan, mantan Gubernur Bengkulu, dan berbagai penghargaan lainnya. Tulisan ini merupakan bagian dari draft buku Biografi Djohan Hanafiah yang ditulis dengan mengutip sumber Buku Kesan RM Ali Amin karya Djohan Hanafiah dan penuturan langsung Djohan Hanafiah semasa hidup beliau pada 3 November 2009.
Raden Mohamad Amin (alias Cek Asan) berasal dari Kampung Kebon Duku 24 Ilir Palembang, kawin dengan Raden Ayu Zainah (alias Cek Ena) binti R.M. Rais dari Kampung Sungai Tawar 28 Ilir, pada tanggal 24 April 1907. Dalam tuturan adat Palembang kedua orang ini disebut atau dipanggil ‘yai’ (kakek) dan ‘nyai’ (nenek) oleh cucunya. Sesuai dengan adat istiadat Palembang dalam sistim perkawinannya berdasarkan matrilokal, maka R.M. Amin pindah ke rumah isteri, bertempat tinggal di rumah limaskampung Sungai Tawar 28 Ilir yang terletak dipinggir Sungai Musi. Rumah peninggalan dari keluarga besar nyai,Demang Polisi Kota Palembang R.M. Ali. Dirumah Limas inilah Raden Mohamad Ali Amin lahir pada tanggal 20 Oktober 1915. R.M.Ali Amin aranannya adalah Cek Ali, bapak atau ayah, dalam tutur adat dipanggil ‘rama/romo’ dari Djohan Hanafiah. Pada saat ini panggilan ‘rama/romo’, sering hanya disebut ‘Ma/Mo’ sudah jarang sekali dipakai. Apalagi pemakaian sebutan ini hanya dari kalangan keluarga tertentu.
Rumah Limas keluarga buyut Djohan Hanafiah merupakan salah satu dari rumah-rumah 3 serangkai pejabat tinggi Pemerintah Belanda dari golongan pribumi di Kota Palembang pada waktu itu, yaitu rumah Demang Polisi di Sungai Tawar 28 Ilir tersebut, rumah Pangeran Jaksa, R. Arpah Item di Kepandean 18 Ilir dan rumah Pangeran Penghulu Kartamanggala Nataagama Mustofa di Kapuran, 19 Ilir. Sayangnya bahwa rumah-rumah limas peninggalan sejarah tersebut tidak terpelihara dengan baik, sehingga mengalami kerusakan, malahan rumah limas buyut Djohan Hanafiah di Sungai Tawar 28 Ilir tersebut roboh pada tahun 1990 karena diterjang oleh arus Sungai Musi.
Sebagai Pegawai Negeri, yai Cek Hasanselalu berpindah-pindah tempat kedudukan jabatannya, dalam hal ini keluarganya termasuk juga Ali Amin ikut serta, yang membawa banyak suka dan dukanya. Ali Amin masih ingat sewaktu mengikuti ayahandanya bertugas sebagai Mantri Polisi di Bayung Lincir tempat yang terpencil antara Palembang dan Jambi, tempat pemandiannya adalah di sungai yang diberi pagar bambu untuk menjaga keselamatan terhadap serangan buaya. Kemudian ayahanda Ali Amin menjabat sebagai Asisten Demang di Bungamas, yang terletak antara Lahat dan Tebing Tinggi. Kemudian pindah ke Pagar Gunung di daerah Pasemah, yang hanya dapat dicapai dengan mobil sampai ke Terkul antara Lahat dan Pagar Alam, untuk seterusnya harus berjalan kaki atau naik gerobak. Jabatan sebagai petugas Pamong Praja waktu dahulu cukup berat yaitu sebagai Kepala onderdistrik yang membawahi beberapa marga, sekalian sebagai koordinator dan penanggung jawab dari berbagai dinas pemerintahan, seperti pajak, pekerjaan umum, khusus jalan dan jembatan, pertanian dan keamanan. Dalam menjalankan tugas ini, ayahanda Ali Amin (Cek Asan) terpaksa selalu meninggalkan keluarganya.
Keadaan orang tua Ali Amin baru mengalami kehidupan yang tenang sejak ayahanda Ali Amin dalam tahun 1927 pindah ke Palembang untuk menjabat sebagai Adjunct Hoofddjaksa dan sekalian menempati rumah sendiri di Kampung Kebon Duku 24 Ilir. Namun ketika berhenti dari jabatan tersebut pada tahun 1934, karena penghematan, kembali dipekerjakan sebagai Asisten Demang di Tanjung Raja sampai tahun 1935 dan kembali ke Palembang sebagai pensiunan.
Keluarga orang tua Ali Amin sangat taat beragama. Oleh sebab itu ayahanda Ali Amin lebih memilih bekerja dan atau bertempat tinggal di Palembang untuk mendapatkan ketenangan dalam menjalankan ibadah. Dalam mematuhi syariat agama, khusus sembahyang Jum’at pernah ayahanda Ali Amin bentrok dengan atasannya, Controleur Kota Palembang Mussert, karena terlalu pagi meninggalkan kantor untuk sembahyang Jum’at. Tetapi ayahanda Ali Amin berpendirian, bahwa sembahyang Jum’at adalah wajib, dan jika harus pilih antara sembahyang Jum’at dan melakukan tugas pekerjaan, lebih baik berhenti bekerja.
Pada hari-hari libur ayahanda Ali Amin mengikuti pengajian di rumah ulama Kyai Kms. H. Umar di 19 Ilir Palembang dan Ali Amin selalu diajak serta. Selain itu ayahanda Ali Amin juga mengadakan sendiri cawisan (majelis taklim) di rumahnya sekali seminggu dengan mendatangkan ulama Kyai Kgs. H. Azahari dari kampung Soakbato 26 Ilir. Untuk ini Kyai tersebut dijemput oleh Ali Amin dengan perahu melalui Sungai Sekanak dan Sungai Kebon Duku (sekarang sungai terakhir ini sudah buntu). Dengan demikian pada diri Ali Amin sejak masih kecil sudah tertanam jiwa keagamaan. Ada sikap ayahanda Ali Amin yang menurun dalam kehidupan Ali Amin dalam berkarya. Sewaktu ayahanda Ali Amin bertugas sebagai Asisten Demang di Tanjung Raja, Ibu Kota onderafdeeling Ogan Ilir, tidak banyak lingkungan pergaulannya selain dari pada kelompok sesama pegawai-pegawai yang jumlahnya tidak begitu banyak. Ayahanda M. Ali Amin tidak ikut serta dalam kegiatan tersebut seperti olah raga tennis. Ali Amin pernah menanyakan hal tersebut dan secara lugas saja ayahanda Ali Amin menjawab, apakah Ali Amin menganjurkan dia memungut bola tennis untuk tuan kontrolir pejabat Belanda tertinggi setempat. Dari situ tergambar perilaku ayahanda Ali Amin yang tidak suka mencari muka.
Ramanda Ali Amin sudah masuk sekolah desa sejak umur 5 tahun di Bungamas. Yang teringat oleh ramanda pada waktu itu adalah adat kebiasaan masyarakat membawa senjata tajam, termasuk anak-anaksekolah. Pada waktu jam belajar senjata tersebut dikumpulkan oleh guru dan setelah jam pulang, senjata diberikan kembali kepada anak-anak.
Pada waktu yai pindah ke Pagargunung, rama telah berumur 6 tahun dan berpisah dengan keluarga, karena dia harus bersekolah di Palembang. Ternyata keinginannya untuk masuk sekolah HIS (sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda) ditolak karena dianggap belum cukup umur. Pada tahun 1921, sewaktu berumur 6 tahun, rama kembali mendaftar di HIS, dan kembali ditolak dengan alasan sewaktu tangannya diukur, maksudnya tangan harus melingkari kepala dan menyentuh telinga, ternyata tangan rama tidak sampai menyentuh telinga. Sementara belum dapat diterima di HIS, rama bersekolah di sekolah Melayu di 29 ilir.Pada tahun 1922 kembali rama mendaftar di HIS, ternyata tetap ditolak dengan alasan yang sama. Rama pindah ke sekolah Melayu di 24 ilir Kebon Duku. Dengan kegigihannya rama pada tahun 1923 sekali lagi mendaftar di HIS, dan kali ini tidak ada alasan untuk menolaknya. Dia belajar baru pada umur 8 tahun. Dia bersekolah di HIS di Kebon Duku pada pagi harinya, pada waktu sore dia belajar sekolah agama di Qur’aniah di 13 ilir.
Cukup lama rama harus berpisah dengan yai. Baru pada tahun 1927, yai kembali ke Palembang. Selama rama di Palembang tinggal dengan keluarga di 24 ilir. Rama ternyata anak yang cerdas, karena pada waktu berada di kelas 7 HIS, dia diusulkan untuk langsung saja ke kelas 1 MULO (setingkat SMP pada masa kolonial Belanda), jadi tidak perlu mengikuti voorklass. Demikian juga sekolah agamanya, karena cerdasnya dia diminta untuk melanjutkan sekolah agama Jamiatul Chair di Tanah Abang Jakarta. Rama harus memilih, apakah dia harus meneruskan di MULO atau sekolah agama. Yai sangat senang jika rama dapat menjadi seorang uztad, ternyata rama punya keinginan dan cita-cita menjadi seorang dokter. Untuk itulah setamat dari MULO di Palembang, rama meneruskan pendidikannya ke AMS B di Jakarta. Sebetulnya rama dapat juga meneruskan ke MOSVIA (sekolah menengah pamongpraja pribumi), yang tamatannya menjadi ambtenaar (pegawai pemerintah). Di Jakarta meski biayanya tidak sebesar seperti sekarang, rama harus prihatin, karena biaya yang dikirim dari Palembangpas-pasan saja. Untuk membiayai sekolah rama ini maka salah seorang adik rama harus berkorban untuk tidak melanjutkan sekolahnya.
Sebagai pemuda yang idealis, rama terlibat dengan gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia (pramuka). Juga menjadi anggota pergerakan pemuda untuk kemerdekaan, yaitu Indonesia Muda. Sebagai pemuda yang aktif dalam gerakan ini, sering rama harus berurusan dengan PID (polisi rahasia).
Setamat dari AMS, rama tidak dapat melanjutkan cita-citanya menjadi mahasiswa kedokteran, karena yai sudah memasuki masa pensiun, praktis tidak dapat lagi membiayai rama untuk melanjutkan studinya. Pada tahun 1936, dengan ijazah AMS rama kembali ke Palembang. Dengan berbekal ijazah tersebut rama diterima di kantor Residen Palembang sebagai klerk.
Setelah merasa cukup kemampuan untuk berumah-tangga, maka rama menyatakan kepada yai bahwa dia berniat untuk kawin. Keluarga yai mencarikan pasangannya dengan pertimbangan babad, bibit dan bobot untuk pasangan anaknya. Inilah yang disebut ‘rasan tuo’, dalam adat perkawinan Palembang. Calon penganten pria tidak tahu dan tidak kenal dengan calon pengantin perempuan. Demikian juga proses dan prosesi adat, si calon pengantin hanya menerima apa adanya. Didalam perkawinan masa itu cinta datangnya belakangan, dan terbukti pula bahwa perkawinan masa lalu lebih langgeng dari masa sekarang. Perceraian masa lalu itu merupakan aib bagi keluarga.
Akad Nikah yang dilakukan di rumah yai di 24 ilir. Dalam adat perkawinan Palembang akad nikah dilakukan di rumah pihak pria, tanpa menghadirkan calon pengantin wanita. Peristiwa itu berlangsung pada 3 Juli 1938.Bertindak sebagai wali nikah adalah Raden Ali Hasan, ayah dari Raden Ayu Ning Fatimah (cek Ning). Dari rahim perempuan inilah Djohan Hanafiah lahir, dan Cek Ning dalam penggilan mesra anak-anaknya adalah embuk (ibu). Pelaksanaan perkawinan rama dan embuk ini sepenuhnya dilakukan dalam adat perkawinan Palembang. Proses dan prosesinya memakan waktu satu minggu. Puncak acaranya adalah munggah yaitu mengarak pengantin pria menuju rumah pengantin perempuan. Pesta besar dilakukan dirumah pengantin perempuan di Kampung Duku 8 ilir, di rumah yai Duku (R.Ali Hasan). Beberapa hari kemudian rentetan acara ini ditutup dengan ‘mandi simburan’, yaitu selain kedua mempelai dimandikan, juga para besan dan tamu saling menyiram air, sehingga kadangkala mereka basah kuyup. Kemudian baru diadakan ‘beratip’, memohon Allah Subhanawata’alah memberikan perlindungan, dan berkah bagi kedua mempelai.
Setelah upacara perkawinan selesai, rama harus pindah ke rumah keluarga embuk. Rama harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan rumah tangga yai Duku. Ini adalah bentuk matrilokal dalam adat perkawinan Palembang. Rama pada waktu itu tentulah ikut membersihkan rumah dan pekarangan yai Duku.
Setelah hampir satu tahun perkawinan rama dan embuk, lahirlah Djohan Hanafiah pada tanggal 5 Juni 1939. Dari kandungan seorang perempuan yang muda, waktu itu embuk baru berumur 17 tahun, putera pertamanya dalam keadaan sehat. Tidak banyak diketahui cerita Djohan masa balita. Hanya Siti Rahmah, nenek Djohan dari pihak ibu, yang dipanggil sebagai mak tuo, sering mengatakan bahwa dialah lebih banyak mengasuh Djohan, karena embuk masih terlalu muda pada waktu itu, tambahan pula hampir setiap tahun dia melahirkan. Walaupun tinggal di Duku, rama dan embuk seringkali juga berkunjung dan menginap di rumah yai Kebon Duku. Nenek yang di Kebon Duku, yaitu ibunda rama dipanggil oleh cucunya embuk tuo. Djohan sangat dimanjakan oleh embuk tuo, sebaliknya yai Kebun Duku sangat disiplin mengawasi cucu-cucunya, terutama masalah tugas-tugas agama, seperti mengaji dan sembahyang.
Semasa berumur masih balita, Djohan tumbuh dalam suasana peperangan Pada saat itu pasukan Jepang memporak porandakan kilang minyak Belanda dan Amerika di Sungai Gerong dan Plaju, melalui serbuan udara pada tanggal 14 Februari 1942. Djohan baru berumur 3 ½ tahun pada saat itu. Suatu pertumbuhan kebatinan yang kurang menguntungkan bagi Djohan kecil. Masa pendudukan Jepang adalah masa yang paling menyedihkan bagi rakyat Indonesia. Selain kejiwaan yang terhinakan, juga yang paling parah adalah masalah makanan. Makanan rakyat yang berupa hasil perkebunan dan peternakan dijarah oleh pasukan Jepang. Untung saja pada masa itu keluarga Djohan dari fihak ibunya mempunyai lahan yang cukup untuk bercocok tanaman, seperti ubi, jagung dan sayur-sayuran. Disamping itu ada ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi. Lahan yang luasnya 2,5 ha, adalah hasil jerih payah R.M.Ali Hasan, yai Djohan yang dikumpulkannya semasa dia menjabat sebagai ambtenaar masa kolonial Belanda. Dia telah menduduki jabatannya mulai dari juru tulis, klerk hingga Assisten Demang yang ditempatkan hampir di semua pos di Keresidenan Palembang. Hasilnya hampir semua paman dan bibi Djohan dilahirkan di tempat-tempat dia bertugas, biasanya di ibukota Marga. Embuk juga lahir di Talang Betutu, sebuah marga yang kaya dengan penghasilannya. Wilayah Marga ini sekarang menjadi lahan Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II, yang dulunya dikenal sebagai Bandara Talang Betutu. Bahkan nenek Djohan adalah perempuan cantik, bunga dari Marga Semendo Darat, keluarga dari Pasirah (kepala daerah) di Marga Semendo Darat yang tinggal di Pulaupanggung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H