Sepak Bola yang Membebaskan (Catatan Lepas Jelang Perdelapanfinal Uefa Champions League 2014/2015)
Setiap kita tentu masih ingat drama final Liga Champions Eropa musim lalu. Real Madrid yang sempat kecolongan terlebih dahulu akhirnya mampu bangkit, menyamakan kedudukan dan menyumpal mulut tim sekotanya Atletico Madrid. Sebuah drama sepak bola yang luar biasa, mencengangkan serentak menyajikan eksotisme menarik. Kemenangan 4-1 itu menjadikan Los Merengues tampil sebagai kampiun dan mengukuhkan diri sebagai juara kesepuluh kalinya. Mari kita kita tinggalkan barang sejenak kisah musim lalu itu. Nah, sekarang pembicaraan berkisar perdelapanfinal Uefa Champions League 2014/2015 yang akan memulai perhelatannya pada Rabu, 18 Februari nanti.
Yang ingin ditampilkan dalam tataran ini bukan sebuah analisis taktis-teknis atas laga-laga perdelapanfinal dimaksud. Sebenarnya, ini lebih pada suatu sugesti bagi para pembaca supaya tidak lupa menyaksikan sajian partai seru pentas sepak bola tersohor Eropa itu. Babak enam belas besar Liga Champions akan mulai pamer kemolekan dengan laga saling jegal antara Paris Saint-Germain dan Chelsea FC pada 18 Februari. Keduanya terlibat ‘perang’ lebih dini tatkala musim lalu bentrok pada sesi perempatfinal. Partai seru juga bakal dikumandangkan FC Shaktar Donetsk menjamu raksasa Jerman FC Bayern Munchen. Sementara itu, pada 19 Februari, partai ulangan perdelapanfinal musim kemarin tersaji dalam pentas FC Schalke 04 menjamu juara bertahan Real Madrid CF. Tim asal Swiss Super League FC Basel 1893 juga menjamu FC Porto yang notabene sudah dua kali menjadi juara kompetisi ini.
Pekan depan, FC Barcelona berkunjung ke markas Manchester City FC. Duel pada 25 Februari itu juga merupakan parade partai ulangan perdelapanfinal musim lalu. Kala itu, El Barca sukses menang di kandang City 2-0 dan kembali unggul 2-1 di Camp Nou pada leg kedua. Perang menarik lainnya juga menghantar para penikmat bola dalam laga ‘nostalgia’ Juventus yang menjadi tuan rumah atas Borussia Dortmund, tim yang mengalahkan mereka dalam tajuk final Liga Champions 1996/1997. Keesokan harinya (26 Februari), Bayer 04 Leverkusen menantang Atletico De Madrid dan Arsenal FC siap bertempur melawan AS Monaco FC di Emirates Stadium. Yang menarik dari Arsenal vs Monaco adalah reuni arsitek Arsenal Arsene Wenger bersama Monaco, mantan klub yang pernah dibesutinya pada 1987-1994.
Tentunya, berbagai macam match analyisis, prediksi-prediksi berkelas telah tersaji dengan begitu apik dan menarik. Namun, ada satu hal lain yang ingin dibeberkan. Ini berkaitan dengan eksistensi sepak bola itu sendiri. Sepak bola tampil sebagai sesuatu yang membebaskan. Lalu, apa hubungannya dengan perdelapanfinal Liga Champions termaksud ?
Pada hematnya, duel-duel sengit perdelapanfinal Uefa Champions League 2014/2015 hendaknya memberikan sajian makna bagi kita. Harus dimafhumi, beragam persepsi, paradigma berpikir, bahkan konsep filosofis bisa menaruh pembedahan terhadap sepak bola. Sepak bola yang membebaskan merupakan sebuah ujaran filosofis-sugestif bagi kita untuk melepas penat dari kesibukan aktivitas, dari rutinitas sehari-hari, dan mungkin juga dari gunjang-ganjing permasalahan bangsa. Sepak bola, dalam konteks ini laga-laga perdelapanfinal Liga Champions, memang bukanlah ikon termutakhir dalam memberikan suntikan hiburan kepada kita. Namun, bukan juga sebuah kekeliruan bila membahas keberadaannya sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup manusia.
Sepak Bola yang Membebaskan
Hampir setiap kita mungkin terlalu banyak disibukkan dengan beragam hal seputar keseharian hidup ini. Mulai dari rutinitas sehari-hari dengan status dan peran sosial masing-masing, juga persoalan-persoalan yang lebih ekstensif seputar ranah hukum, politik, dan perekonomian bangsa. Kali ini, kita diperhadapkan pada perbincangan mengenai sepak bola. Sepak bola yang membebaskan. Patut diketahui, membebaskan dalam konteks ini bukan berarti memberikan keterlepasan diri begitu saja dari persoalan-persoalan dan rutinitas hidup, ataupun juga menyebabkan pelarian diri dari tanggung jawab kehidupan yang mesti diemban. Membebaskan itu merujuk pada suatu kesegaran baru, sebuah pelepasan energi negatif diri dan mendapatkan semangat yang menghidupkan. Ada kelegaan batin yang terkuak dari himpitan kebisingan permasalahan hidup dan rutinitas keseharian.
Che Guevarra, revolusioner Amerika Latin, mengatakan sepak bola sebagai sebuah senjata revolusi. Sepak bola menyuguhkan buaian permainan menarik yang menghipnotis setiap mata untuk ‘lupa’ sejenak akan setiap persoalan hidup. Ia memberikan kesegaran dan daya hidup baru bagi setiap insan dalam menata hidupnya. Sajian laga Liga Champions pasti menyebabkan aneka antusiasme dari para penikmat bola. Beribu-ribu kepala datang berjubel ke stadion-stadion, ada pula kelimun orang yang duduk manis di depan televisi menikmati tarian bola. Mereka dibuai oleh bola yang senantiasa bergerak erotis, meliuk sana-sini, menggelinding intim dari kaki ke kaki, melumat pasti setiap helaian rumput.
Mark Schelller mengatakan bahwa seni merupakan anak dari kebebasan. Sepak bola juga merupakan bagian dari seni itu. Dalam konteks ini, ia tampil sebagai pengejahwantahan atas kebebasan dimaksud. Namun, kebebasan itu bukan monopolitis, mengekang, ataupun kebebasan yang terlalu liar hingga mengeliminasi makna seni. Di dalam sepak bola, kebebasan selalu ditampilkan pada porsinya. Ada roh yang menggerakkan kebebasan berekspresi untuk mengolah si kulit bundar, roh idealisme yang partisipatif dalam setiap analisis, adu taktik, bahkan benturan persepsi setiap kita para penontonnya.
Catatan Praktis bagi Kita
Rabu, 18 Februari nanti, perdelapanfinal Uefa Champions League 2014/2015 akan mulai memainkan laga-laga serunya. Menyaksikan pertandingan tersebut tentu memberikan momen bermakna bagi kita sekalian. Kita belajar banyak hal dari sepak bola. Sepak bola itu bukan sekadar hiburan belaka. Ada beragam nilai praktis kehidupan yang bisa didapat. Memang patut diakui, kita bisa saja belajar banyak hal dari sepak bola tanpa harus menonton sajian perdelapanfinal Liga Champions. Akan tetapi, berhubung Liga Champions menjadi hal aktual sekarang, ajakan untuk menyaksikannya dapat mendapat pembenarannya.