Mohon tunggu...
Elvan De Porres
Elvan De Porres Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Terlahir di Maumere, Flores, NTT. Sejak kecil, memiliki hobi membaca, menulis, dan bermain futsal. Sekarang belajar di STFK Ledalero, Maumere. Alamat email Elvan_porres@yahoo.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politikus “Mulut Manis”

13 Maret 2015   06:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:44 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertama-tama, patut digarisbawahi bahwa ujaran judul di atas bukanlah sebuah cap konvensional kepada para politikus. Itu tentu menimbulkan diskusi berkepanjangan dan juga tak kenal lelah. Yang ingin ditekankan dalam risalah ini ialah pandangan terhadap politikus yang suka mengumbar janji tetapi minimoperasionalisasi. Mereka lugas berbicara dengan kata-kata mentereng nan mempesona. Namun, selanjutnya bobrok dalam tahap pelaksanaan. Jenis ini memiliki gagasan canggih yang tentunya menimbulkan decak kagum. Biasanya, mereka beraksi saat musim Pemilihan Umum. Di situ, rakyat seringkali menjadi korban. Rakyat sebagai pemilih di-“cuci otak”-nya melalui tawaran-tawaran menggiurkan. Momen kampanye dimanfaatkan secara sungguh untuk menarik simpat. Kelompok tersebut bernama politikus “mulut manis”.

Lebih lanjut, pengujaran “mulut manis” dalam tataran ini perlu mendapat batasan eksplanasinya. “Mulut manis” merupakan ungkapan yang menandaskan makna rayuan, menarik hati dengan kata-kata. Akan tetapi, sebelum berbicara lebih jauh, setidaknya ada beberapa ungkapan pula yang berkenaan dengan “mulut” itu. “Tutup mulut” berarti diam; “mulut besar” sebagai arti suka membual; “cepat mulut” itu cerewet; “mulut harimau” sebagai pernyataan yang menyakitkan; “ringan mulut” yang berarti suka usil; “cuci mulut” merujuk pada makan buah sesudah sarapan; dan juga “banyak mulut” yang mengartikan banyaknya orang. Dalam konteks ini, “mulut manis”-nya politikus itu bukan sekadar tampil dengan guratan kata-kata berestetika high class, melainkan dianalisis lebih jauh pada level aktusnya. Mungkin, pada titik ini, ungkapan “mulut besar” lebih tepat sasar serentak mengafirmasi deskripsi awal tulisan ini. Namun, pada hematnya, “mulut besar” itu terlalu menohok ke jantung persoalan alih-alih “mulut manis” yang hanya seputar rayuan belaka. Namun, supaya kesannya lebih estetis, ujaran “mulut manis” lebih sedap ditujukan bagi mereka yang lihai mengumbar janji kepada rakyat tetapi tidak pernah merealisasikan janji-janji tersebut.

Jika dikonfrontasikan dengan perbincangan tentang sastra, mereka itu layaknya pujangga berkelas, penyair ampuh dengan sejuta daya hipnotisnya. Kelihaian mereka mengolah kata tak perlu diragukan lagi. Ada propaganda di sana. Namun, bukannya mau membawa alur risalah ini keluar dari konteks judul, sebenarnya ada keterkaitan antara sastra dan politik itu. Apabila ditelisik ke belakang, sejarah tentu mengatakan bahwa kehidupan politik dahulu tak lepas dari kesustraan termaksud. Pada masa kerajaan dulu, eksistensi seorang sastrawan dibutuhkan oleh raja untuk melegitimasi kekuasaannya. Salah satu yang terkenal ialah Empu Prapanca pada masa Raja Hayam Wuruk. Beliau hidup pada abad ke-14 M dan menghasilkan salah satu karya termashyur, Kakawin Nāgaraktâgama, yang berbicara tentang kekuasaan kerajaan Majapahit. Adapun kitab-kitab lainnya yang juga bisa dikategorisasikan sebagai karya sastra, seperti Kitab Mahabharata dikarang oleh Resi Wiyasa, Kitab Ramayana dikarang oleh Empu Walmiki, Kitab Arjuna Wiwaha dikarang oleh Empu Kanwa, Kitab Smaradahana dikarang oleh Empu Darmaja, Kitab Bharatayuda dikarang oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh, dan juga Kitab Sutasoma dikarang oleh Empu Tantular. Para pengarang itu hidup dalam ruang lingkup dan konteks sosial-politik tertentu.

Satu hal yang patut ditegaskan, para pengarang/penyair yang hidup pada masa kerajaan itu sungghu dihargai oleh kaum penguasa dan rakyat kebanyakan. Karya-karya mereka memberikan sumbangsih positif sehingga meskipun terlibat dalam dunia politik kerajaan, mereka tetap mendapatkan respek dari mata rakyat. Ini jelas berbeda dengan penyair gadungan “politikus mulut manis” yang muncul sesuai musim-musim tertentu. Jelas bahwa esensi mereka berbeda.

Sastra in se itu berbeda dengan politik. Akan tetapi, sastra bisa sangkil ke gardu politik untuk memberikan awasan dan kawalan. Politik pun bisa merembes ke ranah sastra asalkan politikusnya rela “melulu-lantahkan” konfigurasi-konfigurasi politiknya. Ini karena apabila sastra dipolitisasi, maknanya akan berubah menjadi sebuah heresi. Ketika politikus memanfaatkan sastra sebagai kuda pacuan untuk kepentingaan politik pribadinya, makna sastra sungguh didistosi habis-habisan. Tentu, hal ini tidak diinginkan oleh semua pihak. Nah, karena pembicaraan kita sudah digiring sedemikan rupa pada perbincangan seputar sastra(wan) dan politik(us), sejatinya politikus “mulut manis” itu bukanlah mereka yang lihai dan memiliki kapabilitas dalam dunia sastra. Mereka akan menjadi “sastrawan” apabila musim kampanye tiba. Mereka akan memakai topeng berbagai macam karya sastra guna menarik perhatian rakyat. Rakyat terpanah dan terperangkap dalam lolongan janji-janji palsu. Sungguh miris melihat fenomena sastrawan dadakan semacam ini.

Akhirukalam, untuk rakyat Indonesia sekalian, jangan terlalu cepat percaya kepada para politikus “mulut manis” yang suka tebar pesona. Namun, harus disitat bahwa galeri “mulut manis”-nya para politikus itu bukanlah hasil rekayasa genetika ataupun teori turunan dari para pujangga zaman dulu. Mereka yang “mulut manis” itu datang dari ketamakan dan kepicikan subjektif. Tentunya, memang tidak semua yang seperti itu. Namun, sebagai warga negara yang cerdas, kita perlu berwaspada. Lalu, ketika kita sekarang semakin kritis membaca realita perpolitikan bangsa, patutlah juga kita menyesali keberadaan para “mulut manis” yang sekarang sudah terlanjur duduk di menara gading penguasa. Di situ, kadang saya merasa iri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun