[caption id="attachment_384686" align="aligncenter" width="286" caption="Rene Descartes (dok. theguardian.com)"][/caption]
Tulisan ini merupakan sebuah ulasan pribadi berdasarkan pergumulan penulis sendiri. Pergumulan itu berkenaan dengan inaugurasi Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern. Penulis sendiri sebagai orang yang baru belajar filsafat tentu memiliki rasa kuriositas tinggi atas penggelaran Descartes semacam itu. Namun, setidaknya ada beberapa poin yang bisa memberikan secercah pencerahan.
Sejatinya, ada dua filsuf yang seringkali disebut Bapak Filsafat Modern, yakni Francis Bacon dan Rene Descartes. Namun, Descartes lebih santer mendapat sebutan tersebut dibandingkan Bacon. Terlepas dari itu, pada hematnya, Descartes (juga Bacon) menampilkan horizon pemikiran (baca:filsafat) baru yang lebih ilmiah dan dapat dibuktikan kebenarannya secara rasional. Di sini, ia mengkritik filsafat dan pemikiran tradisional yang landasan argumentasinya sangat metafisis, tidak rasional, tidak logis, dan tentu tidak ilmiah. Pengetahuan tradisional menarik kesimpulan kebenaran secara sederhana, tidak berdasarkan prinsip-prinsip metodis dan sistematis. Hal tersebut menjadikan Allah sebagai pengada yang mutlak menjadi dasar argumentasi untuk kebenaran empiris-rasional. Descartes bertolak belakang. Filsuf kelahiran 30 Maret 1596 ini menekankan aspek rasionalitas manusia sebagai sumber pengetahuan dan filsafat. Dapat dikatakan bahwa ia memiliki kemampuan filosofis tinggi yang mampu membongkar sekat-sekat pemikiran tradisional. Singkatnya, Descartes mengabaikan metafisika sebagai patokan kebenaran umum. Harus ada metode-metode pragmatis untuk menggali suatu kebenaran, tidak secara gamblang menilik secara metafisis dan menarik kesimpulan.
Tak dapat dimungkiri, pandangannya sangat dipengaruhi fisika yang merupakan ilmu pasti dan astronomi baru. Di sini, ia melakukan konfrontasi atas fisika (matematika) dan metafisika dengan metodenya. Filsafat baginya dianalogikan dengan sebatang pohon. Akar-akarnya ialah metafisika, batangnya fisika, dan cabang-cabangnya disiplin-disiplin ilmu lainnya. Ia pun melayangkan kritik terbuka atas filsafat dan matematika tradisional. Inilah letak kejeniusan dan sikap kritis, rasional-ilmiah dari filsuf Prancis ini. Orang terlalu mudah mengamini suatu kebenaran tertentu tanpa meyelidikinya terlebih dahulu. Kemapanan para filsuf terdahulu dibongkar habis-habisan. Ujarannya Cogito ergo sum, atau Je pense, donc je suis dalam bahasa Prancis, yang berarti Saya berpikir, maka saya ada pun menjadi masyhur. Bahwasannya, manusia mesti berpikir, di dalamnya juga terdapat aspek meragukan segala sesuatu, untuk menunjukkan bahwa ia sungguh ada. Keraguan termaksud bukanlah sealiran kaum skeptis yang memang tak memiliki usaha apa-apa untuk mencari kebenaran. Keraguan ala Descartes bersifat metodis. Makanya, Descartes pun menyajikan metode-metode guna mengambil keputusan yang tepat sebagai bagian dari keraguan metodis itu. Inilah gebrakan itu dan menjadikannya ia sebagai perintis filsafat modern.
Filsafat modern rintisan Descartes menekankan aspek subjek (manusia) beserta kesadaran rasionalnya untuk pembuktian pengetahuan. Hakikat manusia yang berkesadaran (res cogitans) harus diupayakan sedemikian hingga guna menyingkapkan kebenaran-kebenaran yang selama ini bersemayam di atas menara gading pemikiran tradisional. Akhirnya, penulis pun mengerti alasan Descartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Descartes mengharuskan segala pengetahuan mesti ditiliki dari aspek akal sehat manusia, bukan penyimpulan sempit atas tafsiran metafisika. Metafisika memiliki cara kerjanya sendiri yang tidak mungkin didasarkan untuk menempuh semua pengetahuan (baca: kebenaran). Akal budi manusia merupakan pendasar dan juga penyelidik yang tak perlu diragukan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H