Mohon tunggu...
Elvan De Porres
Elvan De Porres Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Terlahir di Maumere, Flores, NTT. Sejak kecil, memiliki hobi membaca, menulis, dan bermain futsal. Sekarang belajar di STFK Ledalero, Maumere. Alamat email Elvan_porres@yahoo.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Ujung Aspal Jalanan

28 Oktober 2014   18:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:26 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalau cinta memang buta, tunjukkanlah ke arah mana aku harus melangkah. Sebab ujung aspal sebelah sana telah menjadi saksi luapan amarah. Sebuah elegi gundah antara kita; aku, kamu, dan siapa saja yang tak perlu lagi kau ucapkan namanya. Ujung aspal jalanan jadi saksi perpisahan pilu, ditemani sesunggukan air mata, sebuah penyesalan bagi yang telah terlanjur larut dalam pusara cinta. Bertekuk di bawah kakinya dan dengan polos menjadi seperti anak bayi. Itulah kamu. Oh, Marta. Yang sejak dulu membuatku buta, lalu tak tahu melek lagi. Di ujung aspal , kisah ini coba kureka.

###

Aku tak tahu betapa bodohnya dirimu membuka semua aib masa lalumu. Padahal, aku sudah terlanjur jatuh.

“Dengan siapa saja engkau bercinta”, tanyaku penuh amarah.

“Hmmm, aku tidak pernah melakukannya”, polos jawabmu.

“Bohong, engkau penipu. Jangan coba-coba ganggu aku lagi”.

Air matamu jatuh. Sementara aku sudah tak tahan mengepalkan kedua tanganku dan hendak menggebuk wajah polosmu itu. Kutahan saja dulu, kudiamkan diri sejenak dan mulai bertanya padamu lagi.

“Aku hanya minta kejujuranmu. Ingat, kita sudah dewasa dan aku tak mau kita berdua saling munafik dan menutup-nutupi diri”. Kupandang wajahnya. Matanya yang bening berlinangan air mata seakan-akan ingin bercerita tentang kisah pilu anak gadis muda. Tangan yang terkepal tadi pun berubah luluh. Lalu, kuusapkan pada wajahnya. “Aku tidak ingin kamu menangis lagi. Sekarang, mari kita pulang. Biar kuhantar kamu ke rumahmu”. Situasi berubah menjadi tenang. Tak peduli lagi. Kami berdua bergegas meninggalkan jalanan sepi itu. Jalanan itu memang memiliki ujung sebab tak ada lagi sambungan aspal lanjutan. Yang tertinggal hanyalah kebuntuan. Di ujung aspal itulah, aku dan Marta sering bertemu, mengumbar romantisme khas anak muda. Semoga saja bukan di sini pula, kami harus berpisah berselimutkan kepedihan.

Semenjak pertemuan itu, kami berdua masing-masing menutup diri, mengurus kuliah kami dan semakin jarang bertemu. Marta memang belum memberikan jawaban, namun aku sudah tahu apa yang harus ia ucapkan. Aku ini anak lelaki baik-baik. Masa harus beristrikan seorang seperti dia. Tidak mungkin terjadi. Selama satu minggu penuh, kami tak saling kontak dan aku pun membiarkan hubungan ini berjalan begitu saja tanpa ada kepastian. Menyesal dan kecewa bukanlah harga mati. Yang terpenting ialah menikmatimasa muda bak merpati yang terbang bebas mengudara, mengayun sayapnya melihat dunia yang begitu luas.

Sebuah pesan singkat akhirnya muncul juga di handphoneku. Ia mengajakku bertemu di tempat biasa. Tepatnya, minggu sore itu, kami berdua bertemu. Semoga kami tidak melanjutkan pembahasan kali lalu yang memang hanya menyisahkan luka. “Kakak, saya mau cerita.”, ujarnya lembut. Di situlah, ukiran kepolosan wajahnya tampak bak malaikat kecil yang hendak mengumandangkan syair duka.

“Saya memang punya masa lalu yang buruk”. Ia terdiam, kemudian melanjutkan. “Dulu, setamat dari SMA, saya hanyalah seorang gadis lugu dan polos. Saya belum mengenal pacaran pada waktu itu. Padahal, teman-teman saya pergaulannya sudah lebih maju daripada saya. Mereka sering menceritakan pengalaman bersama kekasih-kekasih mereka. Mereka berbicara tentang kemesraan, rasa cemburu, amarah, bahkan sampai sakit hati. Saya malu menjadi seorang gadis muda yang sudah puber tapi tidak pernah mengalami hal-hal seperti itu. Akhirnya, saya berkenalan dengan seorang teman lama. Namaya Tono. Dan kami pun berpacaran. Dialah yang mengajarkan saya banyak hal dalam berpacaran.

Waktu itu kami sering jalan-jalan meskipun saya juga takut dengan sikap Bapak yang begitu keras dan suka mengekang. Dari dia jugalah saya merasakan kehangatan ciuman pertama seorang kekasih. Saya bahagia sebab bisa merasakan hal yang saya hanya sering dengar dari teman-teman.” Air mukaku memerah ketika ia berhenti pada hal itu. Ubun-ubun kepala sudah sumpek dengan gairah emosi. Seenaknya saja dia berbicara seperti itu. Marta melanjutkan, “Kami jalan bersama, pergi ke pantai, pergi belanja bersama. Waktu itu, saya masih terlalu lugu. Kenyamanan yang diberikan Toni sungguh benar-benar membuatku buta. Lalu, akhirnya,….”. “Akhirnya, dia tidur denganmu dan engkau berubah menjadi pelacur seperti sekarang ini”, aku memotong sebelum ia melanjutkan ceritanya.

“Dengar dulu kaka”, ia berusaha tenang.

“Tidak ada hal yang perlu kau ceritakan lagi. Silahkan cari Tono yang telah membuatmu hancur seperti itu.”

Aku sudah tak tahan untuk meluapkan amarah. Bayangan-bayangan kecil tentang kelanjutan cerita itu muncul dalam benak membuat semakin bertambah pekat beban pikiran ini. Tanganku kuacungkan dan ingin kutampar saja dirinya. Ketika hendak kuluapkan semua kesal itu, ia memelukku dari belakang sembari menangis trenyuh.Jalanan bisu hanya menatap dua sejoli yang dirundung dengki Jalan berujung ini menjadi saksi kejujuran tentang cinta yang terlalu putih hingga harus tersobek oleh perasaan emosional yang tak kenal komprominya.

###

Setahun berlalu begitu cepat, Marta menghilang begitu saja, pergi entah ke mana. Sehabis wisuda, aku melanjutkan kuliahku mengambil Program Master. Kesibukan dengan dunia perkuliahan membuatku lupa, bahkan tak lagi peduli dengan Marta. Lagian, akulah yang memutuskan hubungan kami. Mungkin sekarang Marta sedang bersama keluarga barunya, bersama pria yang telah menidurinya. Tono. Nama yang akan kukenang terus. Sosok yang telah menghancurkan Martaku. Sebenarnya, diri ini sungguh menyayangi Marta. Namun ketika kutahu kalau Marta sudah pernah tidur dengan begitu banyak laki-laki, perasaan ini lulu lantah dihempas ombak amukan bercampur asinnnya rasa malu. Apakah ukuran cinta dan kesetiaan itu ada pada sosok mungil di selangkangan ? Apakah ini hanyalah produk pikiran kuno yang sudah tak laku lagi sekarang ? Aku bingung. Akh….tak usah dipikirkan.

Ada dua hal yang selalu bersimpuh di kaki gita cinta. Pertama, kesetiaan. Dan, kedua, kejujuran Martha. Kesetiaan itu terlalu abstrak sehingga aku pun bingung untuk menyulamnya dalam lembar kisah cinta kami. Pertanyaan yang sama sudah kutanyakan pada ujung aspal jalanan. Ia membisu, sama seperti dirinya yang diam karena tak diperpanjang lagi. Mungkin kisah antara kami berdua sama seperti aspal jalanan ini yang punya ujungnya. Padahal, cinta adalah guratan keabadian. Cinta tak pernah berujung. Ujungnya itu pada kebahagiaan di Nirwana. Hmmm, ini hanyalah konspirasi ajaran agama supaya semua orang tetap saling setia satu sama lain. Omong kosong. Kejujuran Martha. Apakah Martha pernah jujur ? Dia tidak pernah bialng kalau dia sudah pernah tidur dengan laki-laki. Kalau kupikir-pikir lagi, sebenarnya Martha belum tiba pada titik jujur. Ia hanya hendak jujur tetapi lampiasan amarahku segera menyergapnya, melumat kata-kata yang belum sempat diucapkanya. Ya, apakah Martha masih perawan ? Aku tunduk dan memanjatkan doa. Semoga kelak aku bisa bertemunya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun