Mohon tunggu...
Elvan De Porres
Elvan De Porres Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Terlahir di Maumere, Flores, NTT. Sejak kecil, memiliki hobi membaca, menulis, dan bermain futsal. Sekarang belajar di STFK Ledalero, Maumere. Alamat email Elvan_porres@yahoo.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Quo Vadis Revolusi Mental?

11 Mei 2015   08:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap anak bangsa tentu mengetahui jargon santer Revolusi Mental. Ya, term ini marak merebak di kalangan masyarakat semenjak Pemilu kali lalu. Revolusi Mental menjadi propaganda politik bagi Joko Widodo, yang kala itu menjadi calon presiden usungan PDIP. Entah slogan ini merupakan refleksi personal beliau yang kini telah menjadi presiden ataupun hasil rumusan tim penyokongnya, revolusi mental dilihat sebagai sebuah terobosan inovatif. Di sini, revolusi mental memberikan harapan bagi perjalanan bangsa ke depan. Bahwasannya karakter bangsa mesti dibentuk secara baik. Tanpa adanya pembentukan karakter diri yang sesuai dengan cita-cita pendiri dan falsafah hidup bangsa, bangsa ini takkan bisa menjadi besar.

Quo Vadis Revolusi Mental?

Setahun lalu, pada 10 Mei 2014, Joko Widodo yang kala itu berstatuskan calon presiden PDIP menelurkan sebuah opini lugas dalam Harian Kompas berjudul Revolusi Mental. Jokowi menguraikannya dalam konteks perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Beliau mengatakan bahwa masyarakat Indonesia rupanya semakin resah dan galau dengan situasi bangsa meskipun telah enam belas tahun menjalankan reformasi. Revolusi mental pun tampil sebagai sebuah paradigma baru. Ada beragam poin yang diujarkan beliau. Salah satu hal menarik ialah pandangannya mengenai konsep reformasi yang selama ini baru menyentuh perombakan institusional, tidak pada aspek paradigma, mindset, ataupun budaya politik yang berkenaan dengan pembangunan bangsa. Beliau menulis, “Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.” (Kompas, 10 Mei 2014, hlm. 6, kol. 2-5). Di sini, dapat terlihat kejelian seorang Jokowi dalam melihat situasi bangsa. Semua orang yang membaca tulisan itu pasti terkagum-kagum dan tersihir oleh daya kata magis beliau.

Satu tahun sudah ujaran Revolusi Mental itu dilontarkan ke hadapan publik. Publik negeri ini tentu menunggu aplikasi praktis dari Presidennya yang sudah dipilih secara demokratis itu. Yang diinginkan adalah pengaktualisasian Revolusi Mental tersebut, bukan membiarkannya menjadi jargon tanpa bentuk. Kurang lebih sudah tujuh bulan, Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia. Jika dilihat sekilas, rupanya ada beragam tantangan yang menghadangi masa awal pemerintahan Jokowi ini. Revolusi Mental pun belum menemukan konkretisasi terbaiknya. Ada banyak kritikan yang menghantui beliau. Jika dikonfrontasikan dengan poin awal tulisan ini, aspek rekrutmen pejabat publik menjadi aktus begal terhangat yang mereduksi makna revolusi mental termaksud. Yang paling garing adalah kontroversi pengajuan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi meskipun yang bersangkutan telah dijadikan tersangka oleh KPK. Pengajuan calon tunggal dalam waktu yang terlalu cepat dan tanpa melibatkan KPK maupun PPATK diduga memiliki afiliasi pada hubungan harmonis masa lalu antara BG dan Megawati, pemimpin PDIP. Budi merupakan bekas ajudan Megawati saat Megawati menjadi presiden dulu. Publik melihat Jokowi tampaknya tidak ingin melakukan pengkhianatan terhadap pemimpin PDIP, partai di dalamnya ia bersemayam tersebut. Jika Jokowi tidak jadi melantik BG, ia bisa dikatakan berkhianat. Namun jika melantik, ia hanya akan tampil tedeng aling-aling mengabaikan moralitas hukum. Akhirnya BG pun tidak jadi dilantik sebagai Kapolri. Namun kini BG justru duduk sebagai Wakapolri. Sungguh ini tetap sangat disayangkan. Sebab entah BG menjadi Kapolri ataupun Wakapolri, kredibilitasnya patut diselidiki lebih lanjut. Bapak Presiden mesti merefleksikan kembali apa yang pernah ia tuliskan, “…Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan….” Tak dapat dimungkiri, masih terdapat banyak persoalan lain yang menunjukkan adanya distorsi terhadap Revolusi Mental termaksud.

Keterlibatan Bersama

Setahun lebih ujaran Revolusi Mental bergema. Namun, gema revolusi mental masih kurang berdentum dan dipangkas berbagai macam permasalahan sosial. Pada level ini, harus ditegaskan bahwa Revolusi Mental itu bukanlah hanya berlaku bagi Presiden seorang, melainkan juga menuntut keterlibatan bersama. Artinya, kita bersama-sama membentuk jati diri bangsa ini. Bagi Pemerintah, setiap kebijakan yang diambil mesti mencerminkan asas kedaulatan rakyat. Jangan sampai hanya karena kepentingan parsial, rakyat menjadi korban. Berbagai kisruh yang terjadi dalam diri para elite akhir-akhir ini harus diselesaikan secara bijaksana dan sesuai dengan prosedur hukum yang jelas. Rakyat Indonesia pun terlibat dalam mengawal setiap kebijakan pemerintah dengan memberikan kritik dan saran konstruktif. Makanya, dalam konteks ini, revolusi mental dapat juga diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk partisipasi rakyat. Tentang ini, Canter (dalam Arimbi, 1993:1) mendefinisikan partisipasi sebagai feed-forward information and feedback information. Dengan definisi ini, partisipasi rakyat dilihat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus antara pihak pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai pihak yang merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut. Masyarakat dapat memberikan respon positif dalam artian mendukung atau memberikan masukan terhadap program atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah, namun dapat juga menolak kebijakan.

Pada akhirnya, ketika kita bertanya tentang ke manakah Revolusi Mental pergi, sebenarnya ia ada di dalam hati dan pikiran kita masing-masing. Mengejahwantahkannya dalam ranah praksis merupakan keutamaan dan menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, bangsa ini tidak mungkin menjadi bangsa besar kalau para anak bangsa hanya duduk menyaksikan setiap kekisruhan tanpa adanya aktus turun tangan terhadapanya. Dan, semoga Bapak Presiden juga tidak lupa bahwa setahun lalu ia pernah menulis sebuah opini berjudul Revolusi Mental tersebut. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun