Mohon tunggu...
pepy lazuardy
pepy lazuardy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

master student

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di balik Polemik Indonesia Singapura

13 Februari 2014   19:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Eskalasi menghangatnya hubungan Indonesia dan Singapora dengan pemicu penamaan KRI baru Usman Harun telah menjadi beberapa headline media massa saat ini. Dilema penamaan ini dibarengi dengan pembatalan undangan para pejabat militer Indonesia atas kehadiran pada acara Singapore Air Show 2014 dan  kajian pelarangan Kapal Laut ini diperairan Singapura.

Setidaknya ada dua hal yang mungkin lebih mencuat daripada sekedar penamaan salah satu armada kelautan bagi masyarakat Indonesia. Yang pertama adalah masyarakat mulai mengenal siapakah sosok Usman dan Harun. Bagi generasi saat ini mungkin nama nama pahlawan terasa sangat jauh dari ingatan. Cerita perjuangan juga jarang diperdengarkan dalam lingkungan sekitar. Penghargaan terhadap pahlawan mungkin masih teringat sebatas nama jalan raya yang menggunakan nama mereka. Meski masih banyak sekali pejuang Indonesia yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk memberikan kemerdekaan kepada anak cucunya, tanpa pernah mendapatkan penghargaan bahkan untuk sekedar sebuah sebutan Pahlawan.

Sertu KKO AnumertaUsman dan Kopko Anumerta Harun merupakan contoh dari banyaknya pejuang yang jarang terdengar di negara kita sampai terjadinya peristiwa ini. Setelah peristiwa ini masyarakat mulai terhentak dan nasionalisme kembali mencuat secara bersamaan, ada yang pro dan kontra, dimana sebagian besar menyarankan untuk terus menggunakan penaamaan Usman Harun. Tanpa harus memilah mana yang terbaik, tetapi momentum ini sangat baik bagi masyarakat untk kembali membuka buku sejarah dan megoggle nama mereka untuk melihat kronologi sejarah dan mulai menyadari bahwa posisi kita saat ini bukanlah hal yang gratis, tetapi dengan pertumpahan darah.

Diharapkan dengan ini masyarakat lebih menghargai sejarah pahlawan kita.

Yang menarik lainnya adalah ketika menelaah dampak yang terjadi akibat hubungan ini adalah apabila terjadi permasalahan hubungan Indonesia dan Singapura maka salah satu yang terdampak adalah ketimpangan energy di dalam negeri. Masyarakat mulai sadar bahwa negara kita memang benar benar pengimpor minyak. selama ini kita selalu ingat mengenai negara kita yang kaya raya, sumber daya alam termasuk minyak didalamnya dan ini semua harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata dengan murahnya harga minyak di negeri ini. APBN habis tersedot hanya untuk subsidi minyak konsumsi yang mungkin hanya digunakan hanya untuk sebagian orang dan mungkin sebagian lainya diselundupkan.

Masyarakat mungkin banyak tidak sadar sejak tahun 2008, Indonesia telah keluar dari OPEC dengan kategori net oilimported. Defisit penggunaan minyak bumi akan bertambah besar seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, industri dan tekhnologi. Harga minyak yang sangat murah membuat fleksiblelitas penggunaan anggaran negara untuk keperluan lain yang bersifat lebih communal (pendidikan dan kesehatan )menjadi terbatas. Sekadar memberi gambaran negara lain, Rusia sebagai salah satu negara terbesar dalam kepemilkan cadangan minyak dunia memiliki harga minyak yang tidak murah, Di Indonesia minyak bahan bakar dihargaiRp 6500 (0,5 USD) tetapi di Rusia harga untuk satu liter minyak dihargai sekitar 30-34 rubel ( kurang lebih 1 USD) mengikuti harga perkembangan minyak dunia. Penggunaan transportasi masal digerakkan, keseimbangan harga dengan impor minyak mereka meminimilkan pengiriman illegal ke negara lain.

Kita mengingat kembali ironi permasalahan energy di dalam negeri karena polemik Indonesia Singapura ini, bagaimana mungkin kita harus mengimpor dari negara yang bahkan tidak memiliki satu sumur minyak pun. Faktanya bahwa sejak lama Singapura menjadi penopang Indonesia dalam hal penyediaan minyak tidak dapat dipungkiri.

Sejak terbitnya Undang Undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing merupakan awal terbukanya keran pengelolaan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing. Tidak usah disebutkan sudah beberapa ratus perusahaan modal asing yang telah mengelola cabang-cabang produksi yang mengusai hajat hidup orang banyak dan yang sangat disayangkan adalah dimana hasil bumi tersebut dikeruk dan dibawa keluar negeri ini.

Dari sekian triliyun triliyun nilai sumber daya tersebut apakah tidak mungkin disisihkan sebagian kecil untuk memproduksi sendiri minyak bumi untuk penggunaan dalam negeri. Kalaupun kita harus mengimpor minyak dari luar apakah memungkinan impor langsung dari pihak satu ke pihak lain. Sedemikian bobrokkah birokrasi negara kita sampai kita harus menggunakan broker untuk kepentingan dalam negeri yang mengusai hajat hidup orang banyak.

Keterbukaan masalah ini secara lebih luas dengan pemicu polemik Usman Harun diharapkan membuka juga kesadaran kita semua mengenai ketergantungan energi dari negara tetangga. Kemandirian sangat diharapkan, meski cadangan minyak kita semakin menipis tetapi usaha untuk membuat energi mandiri bisa diciptakan melalui pemanfaatan tehnologi eksplorasi minyak yang lebih akurat, peningkatan renewable energy termasuk penggunan bioenergy. Usaha lainnya adalah melakukan pengadaan minyak langsung dari produsen bahkan apabila memungkinkan untuk pembangunan pembuatan minyak konsumsi di dalam negeri, meski ini tidak mudah pelaksanaannya.Ini bukan mimpi, dengan wilayah yang mungkin berkali kali lipat dari Singapura, Indonesia hanya butuh sedikit perbaikan sumber daya manusia secara birokrasi dan morality untuk jauh dari korupsi.

Polemik penamaan KRI Usman Harun bukan hal yang harusnya menganggu hubungan bertetangga, masih banyak yang lebih besar dari itu. GDP, kemudahan Investasi dan peningkatan kesejateraan masyarakat yang jauh tertinggal harusnya merupakan masalah yang lebih besar Indonesia dalam menghadapi Singapura. Hanya butuh sedikit usaha, tapi harus semuanya( Masyarakat Indonesia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun