Mohon tunggu...
Eny Rofiatul
Eny Rofiatul Mohon Tunggu... -

Writing by passion

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bukan Karena Harta, Status Sosial, dan "Iman"

15 Januari 2014   02:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia menghentikan mobil di sebuah restoran bercorak Jawa di daerah Surabaya. Begitu masuk, lalu lalang pelayan berdialog dengan bahasa Jawa halus dan berpakaian batik. Pengunjung juga diiringi gending-gending dan gamelan khas lagu-lagu wayang dan perabotan restoran seperti piring, tempt cuci tangan, meja, dan kursi, mengingatkanku pada Keraton Jogjakarta. Kita berdua memilih tempat di dekat jendela yang berteralis kayu, berhadap-hadapan dan saling merekomendasikan menu yang tepat untuk disantap malam. Aku memilih mie goreng jawa, sedangkan kau lebih suka soto kambing. Setelah makanan disepakati dan dipesan, kita melanjutkan obrolan-obrolan kecil yang merenyahkan suasana.

“Menjadi janda di masyarakat kita adalah kesalahan Mba, tekanan sosial yang dirasakan sangat menyakitkan. Seolah-olah segala kesalahan dilakukan oleh perempuan, yang membuatnya layak dilecehkan dan disepelekan”, kataku

“Bener dek, aku udah merasakannya sendiri, sangat menyakitkan berada di posisi janda”

“Merasakan sendiri Mba?”, aku memastikan.

Di depanku adalah perempuan Jawa-Sunda berumur 27 tahun, yang pertama kali kukenal di London satu tahun yang lalu. Masih muda dan cantik. Di usianya yang sekarang dia sudah berhasil menempuh gelar S2-nya dari University College London.

Dia bercerita, bahwa Ayahnya memiliki calon suami untuknya. Seorang tokoh di lingkungan, hafal Al Qur’an, bekerja yang tenuritasnya terjamin, lebih tua, dan pastinya mapan secara sosial dan finansial. Orang tuanya tidak menyetujui hubungannya dengan laki-laki yang telah dipacarinya sejak SMA, mereka masih seumuran, demikian alasan utamanya. Padahal sang laki-laki ini sudah bersiap melamarnya seusai kuliah. Bekerja sebagai PNS yang baru saja diangkat, sekalipun di bawah Kementerian Keuangan belum membuat sang laki-laki ini menampakan kematangan finansialnya. Semakin cacat laki-laki ini dibandingkan dengan calon yang dijagokan ayahnya.

“Aku tidak mau menerimanya, karena masih ingin fokus S2 dek, namun mendadak ayahku sakit”, wajahnya sedikit sayu menjelaskan kisah masa lalunya.

Demikianlah, beban psikis seorang anak membuatnya menerima tawaran ayahnya. Terbebani rasa belas budi, kasih, dan hormat, di bulan Agustus proses melamar berjalan. Sesuai kesepakatan, September pernikahan mereka diselenggarakan. Sejak saat itu dia resmi menjadi seorang istri dari calon pilihan orang tuanya. Dia selalu berharap bisa menjadi istri yang tetap bisa berkarir dan berbakti kepada untuk keluarga, juga dikaruniai kebahagiaan dan keharmonisan.

“Akhir bulan Oktober, aku masuk UGD, luka-luka di tubuhku membuatku tidak bisa berjalan. Selama beberapa bulan aku harus menggunakan kursi roda” Dia mulai meneteskan air mata saat mengingat masa lalunya.

Lidahku kelu mendengar ceritanya…

Suamimu melakukan kekerasan ya Mba?”, pertanyaanku memecah sunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun