Mohon tunggu...
Eny Rofiatul
Eny Rofiatul Mohon Tunggu... -

Writing by passion

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bali, Semoga dia Kem-Bali

4 Februari 2014   19:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Februari 2014, kondisi Jakarta semakin tidak menentu, kadang cerah, namun terkadang hujan terus-terusan yang membuat Jakarta banjir, kelebihan debit air. Itu bacaan penting, karena jadwalmu akan amburadul jika tak pandai membaca situasi. Mungkin aku termasuk salah satu bagian yang keterlaluan membaca Jakarta, hingga aku ceroboh memilih taksi yang mempersulit akses ke Bandara. Untungnya tidak sampai membuatku terlambat. Jadwal keberangkatanku ke Bali jam 13.40 dan aku sudah tiba di bandara jam 11.45. Cukup awal untuk mengamati sekitar terminal 3 yang baru jadi.

Kondisinya bersih, bangunannya rapi, namun ukurannya lebih kecil dengan 2 pintu masuk. Sebelum pintu masuk, sudah ada mesin check-in otomatis, kita tidak perlu antri di loket manual jika bagasi yang kita bawa hanya seukuran kabin, efektif dan lebih cepat dari biasanya. Beranjak ke dalam bandara, aku melihat antrean panjang manusia yang antri check-in, kebiasaan orang gagap dengan hal baru, lebih suka manual dan antrian panjang. Seorang Ibu berjilbab pink, dengan bayi dalam gendongannya memutuskan mundur dari antrian dan memilih check-in di mesin otomatis. Dia berjalan pelan, tangan kanannya menarik koper berwarna ungu menyala dan tangan kirinya memegangi bayi yang ada dia gendong. Aku tak melihat dia bersama suaminya, sepertinya dia sendirian. Cukup takjub dengan kemandiriannya, apalagi dengan bayinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda rewel. Beruntung sekali Ibu itu.

Begitu masuk, gerai Bakmi GM, Kopitiam, Burger, Starbucks, dan gerai makanan cepat saji yang lain menyambut seluruh penumpang yang perutnya melilit lapar, jam makan siang sedang menunggu. Burger dan fried chicken membuatku bergeming dan aku lebih tertarik membeli Bakmie GM, aku menunggu antrian panjang pembeli. Ini benar-benar heboh, antrian beli makan sudah seperti antrian check-in pesawat.

“Makan disini Mba?”

“Enggak, bungkus aja”

Aku membayar Rp. 40.000 dan menunggu makanan jadi. Rupanya, aku tergoda untuk makan di tempat saat mencium bau nasi ayam cah jamur pesananku, menggoda sekali. Sepertinya makan di ruang tunggu akan lebih ribet, jadi aku memutuskan makan di gerai Bakmie GM. Dalam keadaan lapar, makanan bersuhu panas itu ludes dengan cepat.

Begitulah, aku melanjutkan perjalanan menuju tempat boarding. Di sebelah kiriku, ada gerai Starbucks yang masih terlihat sepi. Aku berhenti sejenak memperhatikan toko kopi yang sudah mendunia itu.

Beli gak ya?”

“Kalau beli, bentar lagi pesawat udah datang, kalau gak beli, udah lama gak ngicipin kopi-nya Starbucks”. Apa boleh buat....

“24.000 Mba”

Itu adalah harga kopi Americano ukuran small, aku sudah berdiri menunggu pesananku jadi. Kopi Americano plus sirup-nya kunikmati di pojokan Starbucks hingga menunggu waktu boarding.

Jam 13.00 WIB, aku sudah berada di ruang tunggu Air Asia. Pesawat yang seharusnya berangkat jam 13.40 molor, sekitar jam 14.00 baru berangkat. Akibatnya penumpang penuh di ruang tunggunya. Kursi-ku bernomor 15 D, di samping kananku duduk sepasang warga Arab Saudi yang kuketahui dari cara berbusana dan bertutur mereka. Di sebelah kiriku yang terpisah oleh lorong, Ibu berjilbab pink dengan bayinya duduk.

“Oh, dia mau pergi ke Bali rupanya” aku berbisik kecil.

Sepanjang perjalanan, aku melihat bayi yang digendong Ibu disamping kiriku terus tertidur lelap. Beruntung sekali Ibu ini, gumanku sekali lagi. Bayinya tidak rewel sama sekali. Bahkan saat pesawat sempat masuk kondisi tidak stabil dan melayang, yang rasanya seperti naik Halilintar di Dufan, saat bagian kita dilontarkan ke atas dan dibiarkan terjun bebas, bayinya tetap tertidur pulas. Semua orang yang terkantuk-kantuk terbangun seketika, menjerit kaget. Syukurlah, pesawat bisa melandai di Denpasar dengan selamat.

Tim penjemputan rupanya sudah menunggu rombongan peserta training, aku tidak tahu mereka sudah ada di lokasi. Sambil menunggu, aku berjalan ke luar, melihat situasi Bandara. Jika di Jakarta kita kesulitan mendapatkan taksi, jangan tanya di Bandara Ngurah Rai ini. Jejeran tukang taksi harus dijawab satu persatu dengan sabar.

“Makasih pak, saya sudah dijemput”

Aku mengucapkanya ke setiap sopir taksi yang menghampiriku, mereka menggangguku menikmati Roti Boy di dekat tiang besar yang membelah teras bandara. Padahal aku sengaja memilih posisi di dekat tiang agar tidak terlihat supir-supir taksi itu.

Selanjutnya, tim penjemput mengabari posisi mereka ada di dekat pintu kedatangan. Aku berbalik arah ke tempat kedatangan melewati sopir-sopir taksi, dan seperti biasa, mereka masih menawariku.

Taksi Mba, mari, gak dijemput kan?”

“Saya kan udah bilang, saya djijemput. Masih aja nanya”

“Habis, Mba-nya mondar-mandir aja dari tadi”

“Suka-suka saya dong Pak”

Akhirnya aku bertemu dengan Pak Agung, tim penjemput peserta training ini. Pak Agug mengajakku bertemu dengan peserta lain yang sudah datang. Saat melihat peserta yang lain, mata kami saling bertatapan jenaka. Kita sudah saling bertemu dan bersapa mata sebelumnya! Ibu Hanifah, rupanya Ibu berjilbab pink yang membawa bayi dan ber-koper ungu adalah peserta training juga.

Kami berempat, Ibu Myra, narasumber training; Fajri dari LBH Padang, Bu Hanifah dari AMAN Indonesia, dan aku dari LBH Jakarta, bertolak ke tempat training dengan mobil penjemputan yang dikoorinasi oleh Pak Agung. Dari chit chat di dalam mobil, Bu Hanifah banyak menceritakan masa mudanya.

“Suamiku melamarku di Bali sini En”

“Oh ya? Keren dong Bu!”

“Sayangnya setelah perkawinan kami, tidak pernah sekalipun kami ke Bali sama-sama. Mudah-mudahan nanti kami bisa kesini lengkap bersama 5 anak kami”.

Bu Hanifah punya 5 anak sejak 10 tahun perkawinannnya. Bali menjadi tempat manis memulai hidup barunya. Dengan doanya yang tulus, dia ingin kembali kesini bersama keluarganya. Awalnya di Bali sini, semoga mereka bisa kem-Bali lagi, menostalgia masa indah untuk memperkuat kebahagiaan keluarganya. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun