PROLOG
Sepenggal cerita disuatu masa, disalah satu perkampungan kota Jakarta
Jalan kecil yang dibatasi dengan perempatan jalan Fatahilah disebelah timur, dan dibatasi perempatan jalan Persima disebelah barat, disebut GANG CINCAU. Orang menyebutnya begitu, karena sepanjang jalan ini banyak ditumbuhi pohon cincau hijau. Dan saat itu banyak pendatang yang mengadu nasib dengan berjualan cincau hijau, membuat sendiri cincau hijau dengan bahan daun pohon cincau hijau yang  tumbuh subur di sekitar jalan, kemudian menjajakannya dari kampung ke kampung.
Saya sendiri sebelumnya tidak tahu orang menyebut jalan rumah saya adalah Gang Cincau, sampai pada suatu ketika setelah sekian lama keluar dan pindah dari rumah itu, seseorang mengenali saya dengan sebutan
"Yang dulu tinggal di gang Cincau ya?"
Okelah saya anak Gang Cincau, dan dari situlah cerita bermula.
***
Anak-anak Gang Cincau sebenarnya bertanya-tanya,Â
"Nih Pak Kumis solatnya kapan sih?, kok selalu ngawasin anak-anak yang pada becanda diwaktu solat?". Â
Dengan membawa sebilah rotan Pak Kumis berkeliling memperhatikan shaft-shaft terutama yang ditempati anak-anak.
Bagaimana anak-anak tahu Pak Kumis berkeliling? Ya namanya anak-anak, solat ya solat tapi matanya waspada pada keberadaan Pak Kumis dan rotannya.
Setiap kali Ramadhan serombongan anak-anak Gang Cincau selalu berangkat teraweh sama-sama. Mereka ada sekitar 8 anak, sering berpindah-pindah masjid, keliling dari kampung ke kampung. Pak Kumis ini ada di salah satu masjid yang yang sering dikunjungi anak-anak Gang Cincau.
Bukan sekali dua kali Danisa dan Upik kena hardik pak Kumis karena ngobrol diwaktu yang lain solat teraweh. Bagi Danisa dan anak-anak Gang Cincau lainnya, selagi rotan tidak melayang kearahnya, masih amanlah.
Suatu ketika mbak Suri kakak sepupu Danisa melihat Danisa dihardik Pak Kumis karena makan Cilor di dalam masjid, disaat yang lain teraweh.
"Bulek, tadi dek Dani nggak solat, cuma jajan didepan masjid"