Mohon tunggu...
Eny Ivans
Eny Ivans Mohon Tunggu... Dosen - I am who am

Learner Everywhere

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Cerita Menyapih Bayi 18 Bulan, Alasannya?

27 November 2024   10:53 Diperbarui: 27 November 2024   11:07 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Bukan hal yang mudah bagi seorang ibu ketika memasuki fase menyapih buah hati. Begitupun seperti yang sekarang saya alami. Anak kedua saya bulan ini genap berumur 18 bulan. Sebetulnya, belum waktunya untuk disapih. Dari awal kehamilan saya berkomitmen untuk menyapih ketika usianya genap dua tahun. Namun, qodarullah saya diberikan rezeki untuk hamil yang ketiga kalinya. Saat ini, usia kandungan saya memasuki usia 18 minggu sekitar 4 bulan lebih. Pada awal kehamilan ketiga ini, saya masih berkomitmen untuk terus menyusui anak saya yang nomor dua. Saat saya konsultasikan ke bidan, katanya tidak mengapa asalkan saya tidak merasakan kontraksi. Memasuki usia kandungan 4 bulan, disitulah mulai terasa perubahan. Saya merasa perut sering merasa kencang ketika anak saya sedang menyusu. Barangkali tidak masalah, hanya saja ada kekhawatiran terhadap janin yang ada dalam perut.

Persoalannya, bukan hanya soal kontraksi di dalam perut. Usia kehamilan 4 bulan ini, saya mulai merasa banyak perubahan. Di trimester pertama, bisa dibilang saya mabok dan teller (ngidam). Tetapi belum merasakan kontraksi apapun saat saya menyusui anak. Namun, masuk trimester kedua, selain kontraksi, saya juga merasa sering kehilangan daya kekuatan terutama pada kaki di bagian lutut. Barangkali karena saya kecapean, karena saya juga ibu pekerja. Saya jadi teringat, kalau ibu hamil harus membagi kalsiumnya kepada anak yang disusui atau yang ada di kandungan. Di saat kondisi saya hamil dan menyusui ini, artinya saya harus berbagi kalsium kepada mereka. Sementara asupan kalsium tidak banyak. Saya tidak minum susu hamil, jarang minum air putih, dan tidak banyak makan sayuran hijau.

Dan tepat hari ini saya menyapih anak saya dengan mengolesi payudara menggunakan brotowali. Sebenarnya saya ingin menyapih secara bertahap. Selama ini, jika saya bekerja anak saya sudah tidak disanding dengan ASI pumping. Saya sudah berhenti pumping ASI sejak usia anak 14 bulan. Saat saya bekerja dari pagi sampai sore, anak hanya minum air putih. Alhamdulillahnya untuk makanan anak saya tidak pilah-pilah. Sangat suka makan dan lahap. Namun, alasan lain yang membuat saya kenapa harus menyapih di usianya yang sekarang, karena durasi dan frekuensi anak saya dalam menyusu semakin lama dan sering. Terutama di malam hari, hampir sepanjang malam saya harus tidur sambil menyusui. Sebetulnya dari sisi volume sudah berkurang, hanya saja mungkin anak saya merasa lebih nyaman dan nyenyak tidurnya ketika sambil menyusu. Sementara pada diri saya, saya jadi kurang istirahat. Istirahat saya tidak berkualitas, tidak nyenyak, badan pegal karena harus selalu miring sambil menyusui, dan kadangkala kalau pagi sebangun tidur leher dan pundak jadi terasa tegang dan keram. Di sisi lain, emosi saya menjadi tidak stabil. Mungkin karena pengaruh kurang istirahat. Apalagi sepanjang siang-sore saya harus bekerja, dan kadangkala pekerjaan saya tidak selesai di tempat kerja sehingga harus dituntaskan di rumah.

Sebelumnya, saya sudah mensounding anak saya. Saya katakan padanya, "adek, adek sudah 18 bulan. Sebentar lagi adek berhenti ya nenen susu umi. Gigi adek sudah banyak tumbuh, kurangi nenennya dan perbanyak makan nasi dan sayur. Di dalam perut umi ada adek bayi, jadi umi berbagi ya nutrisinya dengan adek bayi. Adek nanti minumnya pakek gelas aja, umi sudah belikan gelas yang ada sedotannya. Adek nanti banyakin minum air putih. Oke??". Biasanya, setiap kali saya sounding begitu anak saya hanya geleng-geleng kepala, karena memang belum bisa bicara. Tapi seolah ia mengerti bahwa ia harus berhenti minum susu umi, membuat ia menolak permintaan tersebut.

Reaksi anak saya ketika saya susui yang sudah diolesin brotowali, seperti mengecap-ngecapkan lidahnya. Barangkali ada perubahan rasa sehingga ia tampak mengernyitkan dahi. Ketika dicoba lagi, reaksinya sama juga. Sambil saya katakan, "susu umi sudah berubah rasanya ya jadi pahit? Adek minum air putih ya pakek gelas". Awalnya ia sempat nangis, tapi tidak lama. Saya alihkan perhatiannya untuk tidak minta ASI. Kebetulan, kondisi anak saya pada posisi mengantuk karena sudah waktunya tidur. Jadi saya minta tolong kepada mba untuk menggendong anak saya dan membawanya pergi supaya bisa tidur dan teralihkan perhatiannya dari menyusu.

Begitulah bunda-bunda cerita saya dalam menyapih anak di usianya yang 18 bulan. Saya lakukan ini karena posisi saya yang sedang hamil. Kalau tidak hamil, saya pasti akan menuntaskan sampai usia dua tahun untuk menyapihnya. Adapun kepada bunda-bunda saya tidak menyarankan untuk menyapih dengan waktu dan cara yang sama seperti saya. Setiap bunda pasti memiliki penilaian, kondisi dan keadaan, keyakinan, pandangan dan pilihan sendiri terhadap metode penyapihan. Namun, melihat kondisi saya yang tidak tergambarkan secara lebih detail dalam tulisan ini, saya melihat metode dengan memberikan brotowali lebih tepat untuk saya dan anak. Karena baru hari pertama, jadi saya belum tau reaksi anak saya nanti malam atau seterusnya. Saya berharap semoga anak saya tidak rewel. Komitmen saya, saya harus tetap ada di sampingnya. Dalam arti, kedekatan emosional harus tetap saya bangun dengannya. Perhatian-perhatian kecil melalui pelukan, belaian, komunikasi, dan bermain bersama harus terus saya upayakan selama proses penyapihan ini. Dengan demikian, ikatan antara saya dan anak secara emosional akan tetap terjalin dengan baik dan anak merasa nyaman dengan perubahan baru yang terjadi. Saya juga berharap, tidak mengalami kondisi post weaning depression. Post weaning depression adalah kondisi perubahan suasana hati pada ibu setelah berhenti menyusui anak. Kondisi ini dapat menyebabkan ibu merasa sedih, putus asa, jalinan ikatan yang kurang baik pada anak, hingga menjadi lebih mudah marah (sebetulnya ini yang saya takutkan ketika memasuki fase menyapih). Saya juga berharap semoga tidak terjadi pembengkakan pada payudara sehingga tidak menimbulkan terjadinya mastitis.

Seorang ibu adalah tempat ternyaman untuk anak. Ibu adalah dunia dan alam semesta bagi anak. Namun, adakalanya ibu harus tega dan berani dalam mengambil keputusan untuk hal dan kondisi terbaik bagi ibu dan anak seperti fase menyapih. Jadi, untuk para ibu tetap semangat dan kuat ya! Semoga lelah kita menjadi jalan keberkahan dan kesuksesan untuk anak-anak kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun