Salah satu upaya untuk percepatan swasembada pangan adalah dengan melibatkan generasi millennial di dalam sektor pertanian. Saat ini, sektor pertanian mengalami defisit tenaga kerja, terutama yang produktif. Jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 27,7 juta petani sedangkan separuhnya sebanyak 17,2 juta adalah petani gurem. Petani gurem adalah petani yang mengusahakan tanaman semusim, atau tanaman tahunan, atau mengusahakan/memelihara ternak dengan tujuan pemeliharaan ternak tertentu dan menggunakan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Dari jumlah petani tersebut, 42,39% didominasi oleh generasi X yang lahir tahun 1965-1980. Sekitar 70% dari total petani di Indonesia berusia di atas 40-45 tahun. Angka-angka ini menunjukkan bahwa tenaga kerja di sektor pertanian semakin hari semakin berkurang, yang tersisa hanyalah para "kakek-nenek" yang memang sudah tidak memiliki pilihan selain meneruskan usaha pertaniannya. Nilai ini juga menggambarkan bahwa tenaga kerja pertanian yang ada justru menjadi beban, bukan menjadi potensi yang dapat digerakkan.
Dalam pandangan teori fungsionalisme, petani tua adalah penjaga tradisi agraris dan simbol stabilitas dalam komunitas agraris, dimana keberadaan mereka memastikan adanya kontinuitas sejarah dan budaya. Dari sisi antropologi, petani tua dipandang sebagai penjaga kearifan lokal. Mereka memiliki pengetahan mendalam tentang teknik bercocok tanam tradisional, jenis tanaman lokal, pola cuaca dan metode ramah lingkungan. Petani tua juga mempraktikkan pertanian yang berbasis keberlanjutan ekologis. Meskipun metode yang digunakan tampak kuno, sejatinya justru lebih harmonis dengan alam dibandingkan praktik pertanian konvensional. Dalam kaitannya dengan transmisi budaya, petani tua berperan untuk mentransfer nilai dan praktik agraris kepada generasi muda. Namun, banyaknya generasi muda yang beralih ke pekerjaan non agraris, transmisi ini seringkali terputus.
Dalam hubungannya dengan program pertanian dari pemerintah, para petani tua tersebut tidak mungkin dibebankan untuk menanggung besarnya target swasembada pangan. Terlalu dramatis jika petani tua dipaksa untuk terus produktif sementara secara alamiah kemampuan daya tenaga semakin berkurang. Selain itu, petani tua sudah tidak kompatibel dengan teknologi informasi yang semakin berkembang. Apa lagi dunia pemasaran produk saat ini sudah melintasi batas negara dan benua. Kehidupan petani tua saat ini dijalankan demi keberlangsungan hidupnya saja. Tekanan modernisasi seperti mekanisasi dan perubahan pasar global yang mengutamakan efisiensi dan skala besar, tidak lagi menjadi orientasi usaha bagi petani tua. Jangankan itu, dari sisi luasan lahan, kepemilikan lahan sawah petani tua sudah dibagi-bagi dengan anak cucu mereka. Sangat kecil, rata-rata 0,25 hektar. Akibatnya, hasil panen hanya untuk memenuhi lumbung pangan sendiri.
Melihat realitas di atas, upaya regenerasi petani bukan lagi sebagai isu yang "penting" tetapi juga "genting" untuk dilakukan. Petani muda adalah harapan bangsa, yang saat ini masih amat bergantung pada sektor pertanian untuk perekonomian nasional yang stabil. Namun, harapan pada generasi muda dalam pengelolaan sektor pertanian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di tengah persaingan tenaga kerja, generasi muda memiliki pandangan sendiri terhadap "profesi". Generasi muda, terutama gen Z, paling tidak menginginkan suatu profesi yang prestise atau terhormat.
Sektor pertanian menurut generasi muda dianggap kurang menjanjikan bagi masa depan. Generasi muda menganggap pertanian di Indonesia masih amat tradisional, hanya mengandalkan tenaga kerja manusia dan hewan yang minim mekanisasi. Peralatan yang modern dan praktis dianggap lebih efisien. Di lain sisi, generasi muda tidak memiliki kompetensi dalam usaha budidaya pertanian secara teknis. Sangat amat jarang generasi muda yang bersentuhan langsung dengan dunia pertanian. Jangankan yang bukan anak petani, yang anak petani saja kadangkala justru dilarang orangtuanya untuk membantu di sawah. Orangtua petani berharap, anak-anak mereka kelak tidak sama seperti mereka (menjadi petani), karena pekerjaan ini penuh risiko tinggi dan pendapatan yang diperoleh tidak memadai. Belum lagi, tidak adanya "warisan" lahan sawah bagi generasi muda dari orangtuanya. Rasa-rasanya semakin berat bagi generasi muda untuk memantapkan hati bekerja di sektor pertanian ini.
Dilihat dari aspek pasar, generasi muda melihat bahwa produk-produk pertanian sulit untuk dipasarkan. Produk pertanian memiliki karakter yang mudah cepat rusak, butuh tempat banyak, dan harganya tidak stabil. Mereka juga tidak memiliki jaringan pasar yang luas. Selain itu, usaha pertanian dianggap lama dalam memberikan keuntungan besar. Pemerintah juga dianggap kurang berpihak pada petani, terutama dalam kebijakan harga, sehingga penanggungan risiko petani cukup tinggi. Kalau sudah begini, kemana kaki harus melangkah? Upaya apa yang harus dilakukan pemerintah dalam menjembatani persoalan ini?
Usaha di sektor pertanian tidak seperti usaha di sektor lainnya. Obyek yang dihadapi adalah makhluk hidup dan alam, yang secara alami memiliki mekanisasi kehidupan sendiri. Petani hanya mencoba untuk mencari celah, bagaimana supaya biodiversity tersebut memberikan keuntungan bagi kehidupan petani dan manusia secara umum. Artinya, usaha di sektor pertanian adalah panggilan hati. Barangsiapa yang tidak ulet dan teguh dalam usahanya, tentu tidak akan memberikan impact yang menguntungkan. Oleh karena itu, usaha di sektor pertanian harus menjadi habbit. Terutama bagi generasi muda. Habbit ini perlu dibiasakan sejak kecil. Pemerintah perlu memasukkan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan, paling tidak pelajar tidak asing dengan dunia pertanian. Mengingat negara kita, besar karena sektor pertaniannya. Sebagaimana kewirausahaan juga harus diperkenalkan sejak dini kepada masyarakat. Tidak menunggu selesai sarjana baru memutuskan akan menjadi wirausahawan atau bukan.
Pendampingan program kepada generasi millennial juga perlu digalakkan. Program ini bisa diberikan sejak setingkat SMA/SMK hingga mahasiswa. Pemerintah memberikan pelatihan-pelatihan kepada generasi millennial untuk peningkatan kualitas petani muda. Program harus didesain sedemikian rupa yang dapat diikuti oleh generasi millennial tanpa mengganggu aktivitas belajar mereka. Program dapat berupa agricultural training program, agribusiness mentoring program, improving market nerworks, digital marketing serta dana insentif bagi generasi muda dan wirausaha muda pertanian. Sosialisasi ini harus merata sampai menyentuh sekolah-sekolah di pedesaan. Mengingat pengembangan daerah pertanian justru berada di wilayah pedesaan.
Pendirian sekolah-sekolah berbasis pertanian perlu diperbanyak. Hal ini agar generasi muda memiliki pilihan untuk meneruskan jenjang pendidikan yang sesuai dengan potensi pengembangan wilayahnya (terutama di pedesaan). Sekolah kejuruan di bidang pertanian harus mendapat dukungan dan perhatian penuh. Tidak hanya kurikulum yang harus didesain untuk pengembangan sektor pertanian, tetapi juga jaringan kerjasama dengan sektor-sektor industri harus diperluas. Dengan demikian, pelajar akan memperoleh kesempatan belajar di luar kelas lebih besar sehingga pengalaman belajar ini memantik motivasi untuk terjun ke sektor pertanian.
Keberhasilan peningkatan minat generasi muda pada sektor pertanian dapat dilihat dari penambahan jumlah generasi muda yang bekerja di sektor pertanian. Upaya ini mustahil berhasil, jika tidak ada kesungguhan dalam mendesain rencana realisasinya. Peran pemerintah penting untuk keberhasilan program ini. Tentu dukungan dari berbagai pihak juga dibutuhkan. Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan sektor pertanian harus mengakar kuat di seluruh elemen masyarakat. Dengan begitu, regenerasi muda di sektor pertanian dapat tercapai dengan cepat. Jadi, apakah Anda tertarik untuk menjadi bagian pelaku usaha pertanian??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H