Transformasi sistem pangan tengah menjadi perhatian besar di kalangan para pengamat ekonomi pangan dan akademisi. Sistem pangan dimaknai sebagai segala aktivitas yang terkait dengan pangan dari mulai pangan itu dihasilkan sampai tersedia di atas meja makan. Bahkan, sistem pangan tidak hanya melingkupi sejumlah pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi tetapi juga sebagian pangan yang harus terbuang atau tidak dibutuhkan. Artinya, sistem pangan berkaitan dengan banyak faktor dan sektor. Sistem pangan tidak hanya fokus di bagian hulu atau on farm tetapi juga sampai kepada keberlanjutan dari pangan itu sendiri yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.
    Adapun munculnya istilah transformasi sistem pangan diawali dengan adanya keresahan dari stagnasi pangan yang dihasilkan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, yang memiliki kewenangan dalam mengatur negara, selama ini "seolah-olah" dalam mendesain kebijakan terkait pangan seperti repetisi dari cerita sejarah di masa lalu. Kita terus terjebak pada keadaan mono-consumption yaitu beras. Padahal demikian banyak potensi sumberdaya yang bisa digali di negara kita.
    Manusia sebagai makhluk konsumsi selalu berupaya untuk memaksimalkan produksi dalam rangka bisa memenuhi kebutuhannya. Eksploitasi terhadap sumberdaya dilakukan asalkan kelangkaan produk dapat diatasi. Orientasi pada kuantitas output seharusnya mempertimbangkan sisi alamiah dari mekanisme kehidupan sumberdaya alam. Kita lupa bahwa kita berinteraksi dengan alam. Alam yang menyediakan segalanya untuk kebutuhan manusia. Tetapi, alam memiliki keteraturannya sendiri yang kompleks dan penuh ketidakpastian (uncertainty). Dan manusia mencoba menyederhanakan ketidakpastian dan kompleksitas alam. Hal ini menimbulkan bencana tersendiri.
    Diantara yang menjadi keresahan sehingga memerlukan transformasi pangan adalah terjadinya perubahan klim, adanya alih fungsi lahan, produktivitas pangan rendah, ketergantungan terhadap impor, sistem logistik yang tidak merata, SDM pertanian yang tidak produktif, kelembagaan pertanian tidak berjalan, sistem pemasaran yang tidak menguntungkan, harga produk yang berfluktuasi, keamanan pangan rendah serta kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung pelaku ekonomi utamanya petani. Banyaknya persoalan-persoalan di atas, merupakan gambaran kompleksitasnya permasalahan pangan dan pertanian di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan transformasi pangan sesegera mungkin.
    Proses transformasi sistem pangan adalah proses perubahan untuk menuju konsep pangan yang berkelanjutan, berkaitan dengan waktu, tantangan, pola dan governance. Lalu bagaimana kita mesti memulai transformasi pangan ini?
    Dalam perencanaan pembangunan, ada pendekatan yang disebut dengan pendekatan THIS (Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial). Pendekatan THIS adalah kerangka pembangunan yang menekankan pentingnya keterpaduan berbagai aspek dan sektor. THIS tidak hanya memprioritaskan satu sektor pembangunan, tetapi menekankan bahwa semua sektor terkait harus bekerja sama dan didasarkan pada kondisi geografis atau spasial yang spesifik.
    Tematik, artinya pembangunan harus fokus pada isu-isu yang tengah nyata adanya seperti isu ketahanan pangan. Dimana ketahanan pangan harus mampu meningkatkan produksi pangan, dapat diakses dengan mudah dan merata, pangan harus bernilai sehat dan bergizi, serta dalam jangka panjang keadaannya harus stabil dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan.  Holistik, artinya pembangunan harus terintegrasi dari berbagai dimensi di dalam perencanaannya. Seperti konsep green economy yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Integratif, artinya dalam pembangunan harus ada kolaborasi antarsektor dan pemangku kepentingan. Seperti kemitraan antara pemerintah, swasta dan pelibatan masyarakat sehingga partisipasi melibatkan banyak pihak terkait. Spasial, artinya dalam perencanaan harus didasarkan pada babsis data spasial untuk menentukan suatu kendala dan potensi keadaan suatu wilayah, khususnya dalam pengembangan pangan. Oleh karena itu pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) diperlukan dalam memetakan daerah rawan dan surplus pangan.
    Barangkali pernah mendengar istilah agroekologi. Agroekologi adalah pertanian yang bertumpu pada prinsip-prinsip ekologi yang berarti ramah terhadap lingkungan. Pertanian yang ramah lingkungan akan meningkatkan biodiversity. Agroekologi adalah pendekatan holistik terhadap pertanian yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tetapi juga pada hubungan sosial, ekonomi, dan budaya yang terkait dengan pertanian. Namun,a agroekologi disini tidak hanya dimaknai sebagai suatu konsep atau teori tanpa diikuti dengan gerakan dan tindakan nyata. Konsep ini harus diwujudkan dalam bentuk gerakan-gerakan sosial (social movement) yang menghasilkan sebuah teknik. Agroekologi sebagai suatu gerakan diwujudkan dalam praktik-praktik pertanian tradisional yang selama ini sudah diterapkan. Namun, sempat dipaksa untuk berubah karena adanya ambisi peningkatan produksi pangan. Praktik tradisional yang dimaksud adalah system tanam multiple cropping, adanya sistem bera, lokaliti, interconnedtedness, dan pemahaman ecological services. Agroekologi harus dilaksanakan oleh semua pelaku ekonomi tanpa terkecuali. Pelibatan pihak pemerintah, swasta dan masyarakat perlu didesain dengan rapih. Dalam pelaksanaannya juga harus berbasis ilmu pengetahuan dan data-data yang valid. Dengan demikian, transformasi pangan dapat dijalankan dengan baik tanpa adanya penyesalan di kemudian hari karena adanya anggapan sebagai "repetisi sejarah pangan" atas keputusan dari suatu kebijakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H