Mohon tunggu...
Eny Ivans
Eny Ivans Mohon Tunggu... Dosen - I am who am

Learner Everywhere

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Program Brigade Pangan Mampukah Wujudkan Swasembada Pangan Nasional?

22 November 2024   20:07 Diperbarui: 22 November 2024   20:37 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Swasembada pangan adalah kondisi dimana suatu negara mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya secara mandiri tanpa harus bergantung pada impor dari luar negeri. Swasembada pangan  seharusnya menitikberatkan pada potensi sumberdaya alam lokal dan juga petani lokal sebagai pilar utama dalam pembangunan sektor pertanian. 

Salah satu program pembangunan pertanian yang diinisiasi dalam Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto adalah terwujudnya swasembada pangan setidaknya tiga tahun ke depan.  Upaya ini dilakukan dengan pencanangan Program Brigade Pangan. Program Brigade Pangan ditujukan untuk pengelolaan pada lahan rawa (OPLAH) dengan melibatkan kaum millennial atau generasi muda seperti mahasiswa.  Program ini akan dilaksanakan di 12 provinsi di Indonesia pada luasan lahan kurang lebih sekita 1,3 juta hektar. Pada program ini pula akan dibentuk para brigade pangan yang satu kelompoknya terdiri dari 15 orang dengan luasan lahan yang didampingi sebesar 200 hektar.

Program Brigade pangan memiliki dua tujuan utama yaitu mengelola usahatani secara terstruktur dengan infrastruktur modern untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Tujuan kedua yaitu mewujudkan agribisnis pertanian modern yang melibatkan generasi muda guna mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif. Namun, program Brigade Pangan seharusnya tidak hanya dalam rangka swasembada pangan. Hal ini karena swasembada pangan belum tentu menjadikan Indonesia sebagai negara yang tahan pangan.

Konsep swasembada pangan dan ketahanan pangan adalah konsep yang saling terkait tetapi memiliki perbedaan yang penting. Swasembada pangan hanya menitikberatkan pada upaya pencapaian produksi dan kemandirian pangan. Di masa lalu, swasembada pangan sudah pernah tercapai yakni pada tahun 1984. Saat itu, pemerintahan orde baru mampu mencapai swasembada pangan beras hingga memperoleh penghargaan FAO (tahun 1985). 

Namun, kenyataan tersebut tidak kemudian membawa keuntungan jangka panjang pada keadaan pangan nasional. Euphoria swasembada yang hanya beberapa tahun saja nyatanya berimplikasi pada kerusakan lingkungan dan resistensi lahan sawah. Staganasi produksi beras mengakibatkan jarum jam berbalik arah, ketergantungan terhadap impor beras terjadi pada awal 1990-an. Oleh karena itu,  selaiknya kebijakan pangan tidak hanya mampu mencapai swasembada pangan tetapi juga harus meningkat pada level ketahanan pangan.

Berdasarkan UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau. Artinya, ketahanan pangan tidak hanya mencakup ketersediaan tetapi juga kemudahan akses terhadap pangan, pemanfaatan pangan, dan stabilitas pangan.

Teknis pelaksanaan dari Program Brigade Pangan pada dasarnya sama dengan penyaluran sarana produksi yang disubsidi. Hanya saja, ada pendampingan oleh generasi muda. Generasi muda dipandang masih memiliki motivasi yang tinggi, tenaga dan waktu yang memadai, melek teknologi dan informasi, dan memiliki beragam serta mudah menerima inovasi. Namun demikian, program ini tidak hanya harus dijalankan dengan bersandar pada besaran output yang ditargetkan. Tetapi juga harus dijalankan dengan melihat pada sisi sosial budaya.

Pelaksanaan Program Brigade Pangan di 12 provinsi yang ada di Indonesia, harus mengedepankan aspek sosial budaya juga. Pertama, setiap daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda. Mengintegrasikan program pembangunan nasional dengan tradisi lokal terbukti lebih efektif bagi keberhasilannya. Sebagaimana pengelolaan lahan sawah berkelanjutan di Bali yang menggunakan sistem subak. Kedua, partisipasi dari komunitas lokal juga perlu dilibatkan. Sebagaimana tokoh adat atau tokoh agama di daerah setempat. 

Mereka memiliki pengaruh besar dalam membangun dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap program ini. Ketiga, salah satu ciri khas kelembagaan pertanian di Indonesia adalah adanya sistem gotong royong bagi masyarakat petani. Gotong royong dapat dijadikan dasar pelaksanaan program seperti dalam hal perbaikan infrastruktur pangan. 

Keempat, dalam membangun interaksi antara warga lokal dan pendamping Program Brigade Pangan perlu dilakukan dengan pendekatan komunikasi yang sesuai dengan karakter masyarakat setempat. Upaya sosialisasi Program Brigade Pangan atau launching program di daerah tersebut dapat dilakukan dengan mengkolaborasikan kesenian tradisional seperti wayang atau tarian daerah. Kelima, peran perempuan tani di dalam pembangunan pertanian juga tidak boleh ditinggalkan. 

Perempuan memiliki keterlibatan yang cukup besar dalam aktivitas pertanian. Perempuan dalam kegiatan pertanian banyak terlibat aktif dalam aktivitas produksi, pengolahan hasil, serta aktivitas pemasaran dan distribusi. Sebagaimana dalam pidato yang disampaikan oleh Presiden Soeharto saat menerima penghargaan atas keberhasilan swasembada pangan oleh FAO. Dalam pidatonya, perempuan dikatakan berperan dalam usaha intensifikasi pertanian maupun dalam usaha meningkatkan kesejahteraan keluarga petani dengan adanya PKK di setiap desa. Keenam, solidaritas antarkomunitas atau kelompok sosial di setiap daerah akan membantu program tersebut berjalan lebih efektif. Kelompok-kelompok sosial di pedesaan memainkan peran penting dalam menjaga harmoni, memecahkan masalah, dan mendukung kehidupan sehari-hari masyarakat. Kelompok-kelompok ini sering menjadi kekuatan utama dalam pembangunan desa.

Dengan memperhatikan aspek sosial budaya Program Brigade Pangan diharapkan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan pemerintah. Hal ini karena program tidak hanya dilaksanakan berorientasi output tetapi juga memperhatikan benefit lainnya. Upaya perwujudan swasembada pangan memang penting untuk digapai. Akan tetapi, swasembada pangan tanpa mempertimbangkan unsur-unsur di dalam ketahanan pangan dikhawatirkan justru menjadi sebuah ulangan sejarah seperti di masa lalu yang tidak mampu bertahan dalam jangka waktu lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun