Mohon tunggu...
Envi Sandarina Alifa
Envi Sandarina Alifa Mohon Tunggu... -

Kota asal Situbondo, Single dan Bekerja di salah satu perusahaan swasta di pasuruan jawa timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Disaat Kebenarannya dipertanyakan

20 Maret 2014   02:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jatuh cinta tidak pernah salah... kepada siapapun itu. Tapi pantaskah dia dicintai??

***

Hari ini matahari bersembunyi dibalik awan tebal. Enggan menampakkan sinarnya. Alika tersenyum memandang tanpa batas ke langit siang itu. Seakan menikmati dan mensyukuri suasana menyejukkan dengan terpaan angin yang membuat matanya perlahan-lahan terpejam. Senyum yang begitu tulus dari lubuk hatinya. Setelah beberapa waktu senyumnya harus hilang dari bibir merahnya. Alika kembali membuka matanya. Rasa puas tergambar jelas di wajahnya.

“kita masuk ya?” ajak Dava, adik laki-lakinya. Alika mengangguk menyetujui. Dava mulai mendorong kursi roda alika kembali ke kamar rawatnya.

“sudah lama aku tidak merasakan suasana mendung seperti ini” ucap alika dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya.

“iya, 2 bulan” dava juga ikut tersenyum. “kakak jadi betah sekali tidur selama itu” kali ini dava tertawa. Alika juga ikut tersenyum samar. Tidak bermaksud melanjutkan candaan dava.

“selama 2 bulan ini, siapa saja yang datang menjengukku?” sambung alika lagi.

“teman-teman kantormu, SMAmu, teman-teman kuliahmu juga, dan tentu saja keluarga besar kita”. Alika tersenyum. Ternyata masih banyak orang yang peduli dengan kondisinya.

“kak Reza juga datang kok” lanjut dava. Alika tetap tersenyum. “dia malah sering menginap di rumah sakit untuk menemani aku dan mama. Saat papa sedang ada urusan kantor ke luar kota”.

dia begitu baik’ batin alika. ‘mama tidak pernah salah memilih orang’.

“selama aku tidur, apa...” alika tidak melanjutkan kata-katanya. Tidak ingin mengetahui kenyataan pahit lagi.

“tidak... dia tidak datang” seakan mengetahui apa yang kakak perempuannya itu tanyakan, dava langsung menjawabnya dengan tegas. “dia bahkan tidak menghubungi ponselmu sama sekali... dia juga tidak menanyakan kabarmu., begitu yang kak nayla katakan saat mengunjungi kakak beberapa saat sebelum kakak sadar”. Perlahan senyum di wajah alika memudar. Sesuai dugaannya, kenyataannya kembali pahit.

“apa mungkin dia tidak tahu ?” alika mencoba untuk meyakinkan hatinya bahwa pilihannya tidak pernah salah.

“aku rasa tidak mungkin kak, semua sahabat-sahabat dan beberapa teman SMAmu menyempatkan datang. Bahkan aku melihat kak riko disana. Tidak mungkin kalo kak riko tidak memberitahunya keadaanmu” .

Alika kembali tersenyum. Kali ini senyum pahit. Sepahit kenyataan dan sesakit hatinya.

“mama juga sempat menanyakan dia” lanjut dava. Laki-laki tujuh belas tahun ini menghela napas dan melanjutkan kata-katanya. “tapi mama sepertinya tidak tahu kalau kakak masih menyukainya.. mama mengira kakak sudah bisa menerima kak reza.”

Mereka akhirnya sampai di depan ruang rawat alika. Dava membantu alika untuk naik ke tempat tidurnya.

“kak aku tinggal bentar ya... mama minta jemput buat kesini. Kakak aku tinggal gak papa kan?” tanya dava setelah melihat sms di ponselnya.

Alika menganggukkan kepalanya.

Setelah dava menutup pintu ruang rawatnya, alika menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya mengembara entah kemana. ‘dia benar-benar tidak datang’ batinnya. ‘sebenarnya apa salahku padamu? Bahkan saat aku seperti ini kau tidak datang’. air mata itu kembali menetes. Untuk yang kesekian kalinya. Alika menangis.

CKLEK... pintu ruang rawat alika terbuka. Alika belum bergeming. Masih terpaku pada langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu.

“Alika” sapa orang itu. Alika tidak mendengarnya. “alika” sekali lagi orang itu memanggil. Alika mulai menggerakkan kepalanya. Melihat siapa yang datang.

“Vian? Alvian?” alika tersenyum bahagia melihat alvian yang berdiri disana. Orang yang dia tunggu-tunggu.

“alika, ini reza. Bukan alvian.” Alika tersadar. Benar itu bukan alvian. Perlahan senyum itu memudar. Berganti senyum kekecewaan.

Reza mendekati alika. “bagaimana keadaanmu?” reza menyembunyikan rasa kecewanya pula. Mencoba tidak memperdulikan sikap alika yang menyebutnya sebagai alvian barusan. ‘ternyata kamu masih belum bisa melupakannya’ batinnya.

“beginilah... harus menggunakan kursi roda kemana-mana. Kakiku masih kaku. Ototku belum bisa bekerja maksimal.”alika mulai kembali ke dunia nyata. Pikirannya sudah kembali menyatu. Dan kembali harus menghadapi kenyataan yang ada disampingnya saat ini reza bukan alvian.

“semua butuh proses alika... bersabarlah... salah sendiri suka sekali jadi putri tidur. Mungkin kamu perlu di cium pangeran berkuda putih dulu biar cepat membuka mata”reza mencoba mencairkan suasana.

“tapi tanpa pangeran berkuda putih buktinya sekarang aku udah bangun kan?”

“iya tapi lamaaaa sekali. Sampai rambutku mulai tumbuh uban” alika tertawa mendengar candaan reza.

“berarti kamu emang udah tua” sahut alika.

“waah bercanda apa? Aku gak diajak”. Nayla sahabat alika sejak SMA datang menjenguk. Nayla adalah satu-satunya orang yang mengerti kisah hidup alika. Bahkan sampai saat ini. Yang semua orang tidak tau, nayla pasti tau. Apapun itu. Entah bagaimana mereka bisa jadi sedekat itu. Orang-orang sering menjuluki mereka saudara kembar. Karena kemanapun alika pergi, disana juga ada nayla. Bahkan sekarang mereka diterima bekerja di perusahaan yang sama.

“apa kabar al?? Udah lebih baik kan?” tanya nayla setelah mendekati ranjang alika.

“iya.. jauh lebih baik kok”

“kamu udah lama disini za??” kali ini nayla bertanya pada reza

“enggak, baru aja kok. Bentar ya aku tinggal kedepan sebentar. Ponselku tertinggal di mobil.” Reza lalu meninggalkan nayla dan alika berdua.

“nay... apa bener alvian sama sekali gak ada kabar?” tanya alika, beberapa saat setelah reza menutup pintu ruang rawatnya.

Nayla menggeleng. “Kemarin saat aku bertemu dengannya, dia tidak menanyakan apapun. Ketika aku mulai membahas keadaanmu, dia mengalihkan pembicaraan dan seolah tidak ingin tau apapun.” Jelas nayla.

Alika kembali tersenyum pahit. ‘sekejam itukah?

“cobalah untuk menerima reza dengan ikhlas al.” Nayla menghela napas. Seakan banyak kata-katanya yang tercekat di tenggorokan. “sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Reza itu memang bukan pilihanmu. Dia pilihan mamamu. Tapi kamu sadar kan dengan kehadiran reza itu tidak akan membuat alvian semakin dekat sama kamu. Dengan kamu mengiyakan pilhan mamamu, maka saat itulah alvian akan semakin jauh. Saat dia meyakini bahwa kamu bisa bahagia dengan orang lain, makan dia akan pergi.” Nayla memandangjauh langit yang terlihat dari jendela ruang rawat alika. Seakan mencari jawaban disana. “ Aku tidak akan mengatakan selamanya, tapi dia akan pergi untuk waktu yang lama.”

“iya aku sadar. Aku sempat berpikir dengan kehadiran reza, semua masalah yang aku hadapi akan lebih mudah.Rasaku untuk alvian. Dan semua yang menyangkut alvian, akan berhenti sampai disini. Tapi kenapa setiap aku melihat perlakuan baik reza, aku selalu ingin alvian yang melakukan itu buat aku.”

“al, aku punya satu pertanyaan buat kamu.” Nayla membenahi letak kacamatanya yang sebenarnya baik-baik saja. Mungkin hanya untuk meyakinkan bahwa dia sedang serius. “Mungkin rasa kamu pada alvian gak akan mudah hilang dalam satu atau dua tahun ini, tapi apakah alvian pantas untuk menerima rasa cintamu yang seperti ini? Apakah dia pantas untuk kamu cintai?”

Alika terkesiap mendengar pertanyaan nayla yang seperti menusuknya itu. Tepat sasaran. Pertanyaan nayla tepat pada intinya. Alika terdiam beberapa saat sampai akhirnya dia kembali mengeluarkan pembelaan. “apa maksut pertanyaanmu?” pura-pura tak mengerti, alika kembali terdiam. Memikirkan semuanya. Lagi.

“al, kamu ingat beberapa orang yang pernah hadir dalam hidupku kan? Pertama Dika, aku tidak pernah menyesal mencintai dia, karena dia orang yang pantas untuk aku cintai. Dia bisa memberikan apa yang aku inginkan, dan dia mau berjuang bersamaku ketika semua orang menentang cinta kita karena perbedaan. Walaupun pada akhirnya kita berpisah, tapi aku bisa mengatakan dia pantas untuk aku cintai.” Nayla menghela napas pelan. “ Yang kedua Rian.” Lanjut nayla “Aku begitu mencintai dia, sampai-sampai aku rela membeli pakaian yang mahal hanya untuk aku pakai saat bertemu dengannya, agar dia tidak malu berkencan denganku. Dia punya segalanya, dia kaya seperti yang orang tuaku harapkan. Tapi dia mencampakkanku begitu saja. Dan tanpa perlawanan dia menerima bertunangan dengan wanita lain pilihan orang tuanya. Dia tidak bisa tegas pada pilihannya sendiri. Dan aku katakan dia tidak pantas untuk menerima cintaku yang begitu dalam seperti dulu.” Wajah nayla berubah kecewa. “Aku menyesal.” Ucapnya lirih. “Yang ketiga vino.” Nayla menerawang jauh seakan mengingat kembali kisahnya bersama laki-laki bernama vino itu. “Aku dan vino memang tidak bisa dibilang saling mencintai. Karena kita bertemu dengan waktu yang singkat dan kebersamaan yang singkat pula. Tapi ketika aku harus menerima kenyataan bahwa vino sudah berkeluarga, itu membuat aku sadar. Perkenalanku dan vino tidak seharusnya terjadi. Aku menyesal.” Nayla tersenyum pahit. “Dan sekarang aku bersama rico.” Suara nayla terdengar lebih bahagia. “Di depan rico aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku tidak perlu malu dengan apapun kekuranganku. Aku tidak perlu menjadi orang lain untuk rico. Karena dia mencintai apapun yang membuatku tidak sempurna. Dia bisa menguatkan aku disaat aku jatuh dititik yang terlemah sekalipun. Dan seandainya terjadi apa-apa dengan hubungan kami, aku tidak pernah menyesal mengenal maupun mencintainya.” Nayla menatap alika tajam. Seakan mencari jawaban dari matanya. “Begitu pula aku ingin bertanya itu padamu al. Apa kamu yakin bahwa alvian itu adalah orang yang benar-benar pantas untuk kamu cintai?”

Alika tertegun memandang nayla. Tak pernah sebelumnya nayla seserius ini membahas masalah perasaannya terhadap alvian.

“aku bukannya ingin mencampuri perasaanmu, ataupun mengarahkan harus kemana jalan hidupmu. Tapi aku juga bisa merasakan kelelahan perasaanmu. Aku bisa merasakan sakit yang kamu alami.” Nayla mengalihkan pandangannya pada jendela ruang rawat itu. “kalau aku boleh memberimu pendapat, alvian itu bukan pilihan yang tepat. Untuk saat ini.” Seperti ditusuk pedang. Ulu hati alika terasa sedikit nyeri mendengar perkataan sahabat baiknya itu.

“tapi nay, bukankah cinta itu tidak pernah salah?” tanya alika lagi. Entah hanya ingin membela diri, atau ingin mencari jawaban yang sesungguhnya.

“cinta emang gak pernah salah al. Aku tidak pernah mengatakan bahwa cintamu padanya itu salah. Tapi coba kamu renungkan. Dan kamu pikirkan. Dengan usaha dan cintamu yang sebegitu besarnya terhadap laki-laki itu, pantaskah dia menerima semua itu? Kita memang tidak boleh mengharapkan balasan dari apa yang sudah kita lakukan. Tapi ini berbicara tentang cinta bukan kebaikan. Wanita itu tidak diciptakan untuk mengejar al. Dia diciptakan untuk dikerjar.” Alika menatap bingung maksud dari ucapan nayla. Nayla yang menangkap sinyal itu langsung melanjutkan penjelasannya. “begini maksutku. Kita sebagai wanita, tidak pernah diberi kekuatan untuk berlari dan mengejar cinta. Kita terlalu lemah untuk itu. Kalaupun kita melakukannya, sakit dan rasa capek itu sangat luar biasa kita rasakan.” Nayla terdiam. Dia menangkap ada bayangan seseorang dari jendela ruang rawat alika itu. Nayla tersenyum lalu melanjutkan. “berbeda dengan laki-laki. Mereka memang ditakdirkan untuk mengejar. Jadi jangan tanyakan kekuatan mereka tentang itu. Mereka sanggup melakukannya walau banyak hambatan dan penolakan.” Senyum nayla semakin lebar. “seperti reza. dia tidak akan dengan mudah melepaskan kamu.”

CKLEK...

Reza memasuki kamar itu. Entah sadar atau tidak, nayla memang sudah memperhatikannya sejak tadi. Reza mendengar pembicaraan mereka.

Alika yang menyadari kehadiran reza, langsung menyambutnya dengan ramah. Padahal masih banyak pertanyaan dalam otaknya yang perlu dia bagi bersama sahabat tercintanya itu.

“lama banget ambil ponsel?” tanya alika. Sedikit manja.

“iya, tadi sempet ketemu temen di depan.” Berbohong. “gimana ngobrolnya? Udah selesai nih? Kayaknya serius banget”.

Nayla yang menyadari kehadiran reza sejak tadi hanya bisa tersenyum. ‘dia baik’. Batin nayla. Nayla merasa rezalah orangnya. Dia adalah orang yang tepat yang bisa melindungi alika.

CKLEK....

Kamar Bougenvile itu kembali terbuka. Sekarang terlihat seorang wanita paruh baya disana. Kulitnya tidak hitam. Bersih. Tapi sudah mulai terlihat ada lekukan-lekukan halus disana. Kelopak matanya juga sudah menampakkan berapa usianya.

“mama” alika menyambut kedatangan wanita itu. “dava mana? Kok mama sendiri?” tanya alika.

“dia di depan. Berbicara dengan dokter tentang kondisi kamu. Kalau kamu terus membaik, kami meminta kamu di rawat dirumah” jelas mama.

Alika tersenyum bahagia. Rumah. Sudah lama dia tidak melihat keadaan rumahnya. Setelah kecelakaan yang dialaminya 2 bulan lalu, membuatnya mengalami pendarahan otak. Dan dia harus tidur selama itu. Koma.

“bagaimana keadaanmu sayang. Baik kan?” mama mendekati ranjang alika.

“baik ma... lebih baik” jawab alika bersemangat. Tak sabar ingin merasakan tidur dikamarnya yang sudah lama dia tinggalkan.

Suasana kantor menjadi berbeda dari sebelumnya. Semuanya menyambut kedatangan alika yang sudah bisa masuk kerja mulai hari ini. Walaupun masih belum bisa berjalan dengan sempurna, tapi semua tetap memberi semangat kepada wanita satu ini. Berbagai pertanyaan mulai datang silih berganti, mengenai bagaimana kejadian malam itu. Awal mula alika akhirnya tak sadarkan diri dalam waktu yang lama.

“gimana sih kejadiannya, al? Kenapa bisa jadi seperti ini?” tanya Meta, salah satu teman alika.

“waktu itu hujan deras. Dan juga aku sedikit ngelamun. Waktu aku belok di pertigaan dekat pos polisi simpang sana, aku gak tau kalo dari arah berlawanan ada truk yang melaju lumayan kencang. Ya terjadilah semua itu. Dan setelah itu aku udah gak inget apa-apa lagi.” Alika menjelaskan.

“lagi mikir apa neng? Kok sampe melamun di jalan?” tanya Finza kali ini.

“mikirin pangeran berkuda putih yang tak kunjung datang” alika tertawa setelah mengatakannya.

“hari gini... masih mikirin pangeran? Truk aja gandengan, masak si cantik alika gak punya gandengan?” ini suara Bagas yang ikut berkumpul juga disana. Semuanya tertawa. Alika juga ikut di dalamnya. Tak salah jika bagas mengatakan demikian. Alika memang gadis yang menawan. Dari ujung rambut sampai ujung kaki nyaris sempurna. Rambutnya yang hitam lebat dan sedikit bergelombang, matanya yang tidak terlalu bulat tapi terkesan pas pada bentuk wajahnya. Hidung mancung dan bibir yang seksi. Semua terpadu rapi dalam wajah cantik itu. Sempurna. Alika juga pandai bersolek. Tidak seperti artis-artis di televisi yang memakai bedak dan bulu mata anti badai seperti itu. Tapi alika pandai membuat wajahnya terlihat lebih menarik dengan dandanan minimalisnya. Tapi tetap terkesan elegan dan anggun. Lalu apa kurangnya wanita satu ini??

“bukannya orang yang tadi mengantarmu itu pacarmu?” Finza menambahkan.

“bukan, dia anak temen mamaku.” Jawab alika santai.

“oh... korban perjodohan nih ceritanya... gak bisa cari sendiri jadi orang tua turun tangan” Meta malah semakin membuat alika mati kutu. Alika jadi diam seribu bahasa. Benar juga. Orang yang dia inginkan hilang tanpa kabar. Melihat hal itu, mamanya jadi tidak tega dan turun tangan. Menyedihkan.

“sudah... kalian membuat princess kita jadi tidak nyaman begini. Tuh dia jadi diam seribu bahasa. Dan satu lagi. Kali ini dia melamun” ucap bagas. Tak ingin memperpanjang pembicaraan yang sepertinya menyedihkan ini, semuanya kembali ke tempat masing-masing. Seandainya ada Nayla disini, pasti wanita itu sudah membela alika habis-habisan. Tapi sayangnya nayla sedang berada di plant untuk beberapa urusannya.

“al... are you ok?” tanya Finza. Menepuk bahu alika pelan.

Alika tersadar. Dia jadi serba salah melihat pandangan teman-temannya mengenai sikapnya. Alika mengangguk menjawab pertanyaan Finza. Dia juga tersenyum. Lalu kembali memandang layar laptopnya. Menyelesaikan beberapa pekerjaan yang selama ini dia tinggalkan.

“kita makan diluar yuk al” ajak Nayla di telepon siang itu. Hari ini hari sabtu. Mereka sedang libur akhir pekan.

“lagi males keluar rumah nay” jawab alika yang baru membuka matanya ketika sahabatnya satu itu menelpon.

“liburan gini kok dirumah... kita makan di cafe tempat biasa. Aku ajak rico juga. Oke?”

“terus aku jadi obat nyamuk kalian? Nggak ah males”

“kayak sama siapa aja jadi obat nyamuk. Ajak si Reza aja”

“dia lagi dinas ke luar kota”

“pokoknya kamu datang aja... ntar aku suruh si rico ajak temennya”

DEG... alika seperti merasakan darahnya mengalir deras. Ulu hatinya juga nyeri. Hanya mendengan kata “teman rico”, alika sudah merasakan hal itu. Padahal belum tentu maksud dari kata itu adalah orang yang dia tunggu. Teman rico banyak, bukan Cuma alvian. Napas alika jadi sedikit sesak menghadapi kenyataan itu. Tidak mungkin alvian. Pasti orang lain.

Alika menutup teleponnya. Mau tidak mau dia melangkahkan kakinya yang masih sedikit pincang itu ke kamar mandi.

@Poligon Cafe....

“aduh tuan putri lama banget baru datang jam segini” tegur nayla yang melihat alika mendekat.

“tadi pas kamu telepon, aku baru melek. Jadi aku harus mempersiapkan banyak hal dulu sebelum pergi. Ditambah lagi mama sama papa gak dirumah. Jadi aku harus masak buat Dava. Untung aja hari ini dia juga ada acara. Kalo nggak pasti aku gak boleh keluar rumah” jelas alika.

Nayla yang sudah mengerti keadaan sahabatnya itu hanya bisa cengar-cengir sambil mendengarkan penjelasan alika dari A-Z.

“Rico mana?” tanya alika yang melihat nayla hanya sendiri disana.

“bentar lagi datang. tadi habis ngantar aku kesini, dia pergi lagi... jemput temennya.”

“oh... rico jadi bawa temen?”

Nayla hanya tersenyum.

“semoga aja orangnya asik” alika jadi berpikir negatif. Biasanya dia kurang bisa akrab dengan orang baru. jadi semoga saja teman rico satu ini tidak merubah moodnya.

“hallo ladies” sapa rico yang baru saja datang. dia langsung duduk di sebelah nayla. Sementara alika menoleh untuk mencari tahu siapa teman rico yang hari ini otomatis akan duduk di sebelahnya.

Waktu seakan berhenti. Mata alika melebar sempurna. Semua seakan kembali ke beberapa masa lalu. Saat pertama kali mereka berkencan disini. Semuanya berputar seperti film dokumenter di kepala alika. Melihat orang itu, senyum itu, mata itu. Semua masih sama seperti saat pertamakali mereka bertemu.

“apa kabar, alika?” orang itu mulai membuka percakapan mereka. Alika masih terdiam seakan tak menyangka. Orang yang sekarang di hadapannya adalah Alvian. Benar-benar alviannya. Nyata. Bukan hanya halusinasinya saja.

“alika” panggil alvian lagi. Alika akhirnya tersadar. Kali ini dia tersenyum gugup.

“baik... seperti yang kamu lihat” jawabnya.

Alvian duduk di sebelah alika. Menatap wajah alika yang sudah kembali menatap Nayla yang duduk di seberang meja. Alvian tersenyum. Entah senyum apa itu.

“sudah lama kita tidak merasakan hal seperti ini lagi ya...” rico memulai pembicaraan. Semuanya hanya menyambut dengan senyuman. Kecuali alika yang masih diam. Seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini.

“ayo kita pesan makanan... aku sudah mulai lapar” nayla kali ini bersuara.

Makan siang itu berlangsung cukup stabil. Alika sudah mulai bisa beradaptasi dengan keadaan mereka saat ini.

“rencana kita setelah makan kemana?” tanya rico.

“kita ke mall yuk... aku pengen shopping.” Ajak nayla. Semuanya hanya mengangguk pasrah. Tidak ada pilihan lain selain itu.

Rico sudah siap di depan kemudi. Nayla yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya yang duduk tak tenang di belakang. Nayla terus menatap sikap sahabatnya itu lewat spion.

Alika duduk bersebelahan dengan alvian. Tidak terlalu dekat. Tapi bagi alika itu sudah cukup membuat rasa rindunya hilang. Dia bahagia.

Mereka bercanda sepanjang perjalanan. Keakraban lama mulai terasa disana. Bahkan alika sudah tidak canggung lagi. Dia mulai bisa kembali menjadi alika yang dulu setelah sekian lama berubah menjadi alika yang pendiam. Dia tahu obatnya sudah datang. berbeda dengan alvian yang berubah sedikit pendiam. Tapi semua itu masih mampu dia tutupi. Tapi tetap saja, alika bisa membaca itu walaupun dia coba untuk tidak mempedulikannya.

Di mall, mereka berempat berpencar. Nayla dan rico di tempat pakaian, sementara alvian dan alika lebih memilih untuk duduk di food court di lantai 3.

“kamu kemana aja selama ini?” tanya alika. Setelah sekian lama mereka ngobrol masalah yang tidak penting, akhirnya alika mulai berani bertanya tentang mereka.

“aku gak kemana-kemana” jawab alvian santai. Tapi terlihat dari matanya dia seperti resah dan takut.

Alika tersenyum. Pahit sekali.

“lalu kenapa tidak pernah menghubungiku lagi?” lanjut alika. “bahkan ketika aku sakit, kamu tidak datang untuk sekedar melihat apakah aku baik-baik saja atau tidak”

“aku udah tau keadaan kamu dari rico. Dia udah cerita.” Jawabnya lagi. Kali ini sikapnya semakin dingin.

“lalu dengan begitu kamu ngerasa gak perlu lagi buat datang?”

“aku rasa begitu. “ alvian menghela napas. “al, diantara kita dulu, itu tidak lebih dari sekedar teman. Dan aku rasa tidak ada yang perlu di bahas lagi tentang itu” ucapnya. Sedikit angkuh.

“iya kita hanya berteman. Tidak lebih dari teman” alika lebih menekan kata-kata terakhirnya. Sakit. Hatinya sangat sakit. Ingin rasanya dia meninggalkan tempat ini dan menangis. Tapi dia yakin dia kuat.

Alvian menatap alika. Dalam. Sangat dalam. Entah apa yang dicarinya dari mata itu. Tapi alika tau itu tatapan yang tidak biasa.

“al, seandainya besok ada seseorang yang melamar dan akan menikahi kamu, apakah kamu akan menerimanya?” tanya alvian. Alika jadi sedikit bingung dengan pertanyaan alvian.

“ada apa bertanya seperti itu?” tanya alika. Sikap alvian jadi berubah-ubah.

“aku hanya ingin tau jawabanmu. Itu saja.”

“kalau orang itu bisa menjadikan aku merasa berharga, kenapa tidak?” jawab alika. Jawaban alika seakan menyindir alvian.

Alvian tidak menjawab apapun. Diam seribu bahasa.

**

“hei... kalian ngapain disini?” nayla dan rico datang mendekat. Itu tandanya pembicaraan mereka harus terhenti sampai disini.

“kita pulang sekarang yuk!” ajak alika. Dia mulai tidak bisa menahan rasa kecewanya terhadap alvian. Rasanya tidak bertemu dengannya adalah hal yang terbaik untuk saat ini. Atau ini memang menjadi pertemuan mereka yang terakhir?

Waktu sudah berjalan seminggu setelah kejadian itu. Setiap hari alika hanya menghabiskan waktu untuk merenungkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Dia dan alvian adalah teman SMA. Mereka tidak menjadi teman satu kelas. Tapi alika mengenal Alvian dari Rico. Saat Nayla dan Rico resmi berpacaran, saat itulah Alika mengenal Alvian. Terkenal sebagai pasangan kekasih. Tapi sebenarnya mereka tidak mempunyai status hubungan yang jelas. Setiap orang yang mengenal mereka, pasti beranggapan mereka mempunyai hubungan yang spesial. Tapi nyatanya, tak ada satupun dari mereka yang mau mengungkap perasaan masing-masing. Sampai saat itu, Reza datang. Reza adalah salah satu anak rekan bisnis mama alika. Awalnya mereka dikenalkan agar bisa berteman baik. Mengingat umur mereka yang tidak terlampau jauh. Dan sejak mengenal reza itulah Alvian semakin jauh. Tidak pernah ada kabar sedikitpun. Membuat alika resah. Dan kecelakaan itupun terjadi.

Melihat keangkuhan Alvian saat mereka bertemu seminggu yang lalu, semakin membuat hati Alika terluka. Bagaimanapun sekarang dia harus menyadari bahwa pilihannya selama ini yang selalu dia banggakan adalah salah. Alika memang tidak mengetahui apa alasannya Alvian bersikap seperti itu. Tapi semua yang terjadi selama ini sudah cukup membuktikan semuanya.

“melamun lagi, hmm??” tegur Reza yang sudah duduk disamping Alika.

Hari itu mereka memang berjanji untuk bertemu di Poligon Cafe sepulang kerja.

Alika tersenyum. “nggak kok” jawabnya beberapa saat kemudian.

“gak usah ditutupi begitu. Aku tau kamu kok.” Kali ini Reza yang ikut tersenyum. “masih belum bisa melupakannya?”

Alika menggelengkan kepalanya. “aku udah membuat keputusan. Kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Pertemuan kita minggu lalu udah cukup membuktikan dimana tempatku di hidupnya.”

“minggu lalu kalian bertemu?” Reza terlihat resah.

“iya. Saat itu kamu sedang dinas ke luar kota. Jadi aku tidak sempat bercerita.” Ucap alika tenang. Tidak menangkap ada sinyal ketidaksukaan reza disana. Tapi reza masih selalu berusaha tersenyum.

“lalu sekarang keputusanmu apa?” Tanya reza sedikit penasaran.

“Dia bukan pilihan yang terbaik.” Alika mencoba meyakinkan dirinya.

Reza tersenyum. Senang.

“kita pesan makanan yuk” ajak reza. Mereka menghabiskan makanan sambil bercerita banyak hal. Bukan lagi membahas Alvian. Tapi lebih membahas keluarga mereka. Bagaimana mereka dibesarkan. Dan bagaimana pandangan Alika tentang keluarganya. Pembicaraan yang cukup ringan. ‘dilihat dari sisi manapun, Reza memang lebih baik dari Alvian’ batin Alika.

“aku anter pulang yuk, udah malem.” Ajak Reza. Tak terasa, sudah 3 jam mereka ngobrol.

2 Bulan kemudian...

“apa ini al???” tanya nayla saat Alika memberikan sebuah amplop kepadanya.

“dibuka aja” menuruti kata Alika, Naylapun membuka amplop itu.

“Tiket nonton??” tanya Nayla. Masih bingung, untuk apa Alika memberinya tiket nonton?

“buat kamu” ucapnya. Tenang.

“kenapa gak kamu pake sendiri?” tanya nayla.

“Reza gak mau nonton. Dia menukarnya dengan makan malam sama aku. Dari pada aku buang, mending aku kasih kamu.” Ucap Alika.

Nayla tersenyum. Senang bisa dapat tiket nonton gratis. Sudah lama sekali dia dan Rico tidak nonton. Selama ini mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Kalaupun mereka pergi bersama, mereka tidak pernah punya pemikiran untuk nonton.

“ini kamu yang beli?” tanya Nayla lagi.

Alika mengangguk. Tapi tak berniat untuk sekedar menjawab. Matanya tetap menatap pada layar laptopnya.

“lalu kenapa Reza gak mau?”

“Aku gak tau kalau reza gak suka nonton. Tadinya aku iseng aja beli buat kasih Reza kejutan. Mau ajak dia kencan. Tapi nyatanya dia malah bilang gak suka nonton.” Jawab Alika. Terbesit nada sedih disana.

Nayla tertawa sebentar. Lucu juga melihat tingkah sahabatnya satu ini.

“Lalu dia menukarnya dengan makan malam sama kamu?” tebak Nayla. Alika kembali mengangguk.

“Jangan samakan Reza dengan Alvian, Al”. Kali ini Alika menoleh kearah Nayla. Sedikit terkejut dengan pernyataan sahabat tercintanya ini. “kamu beli tiket nonton karena kamu yakin Reza suka nonton seperti Alvian? Iya kan?” Nayla selalu bisa membaca pemikiran Alika. Kali ini Alika harus mengiyakan perkataan sahabatnya satu itu. Reza bukan Alvian. Jadi kenapa harus kecewa??

“susah ya keluar dari masa lalu seperti Alvian?” tanya Nayla. Alika tidak menjawab, hanya melebarkan senyumnya yang dibuat semanis mungkin.

“Itu karena kamu masih penasaran sama dia. Aku udah pernah bilang. Ikhlaskan Al. Ikhlaskan Alvian pergi.” Ucap Nayla. Kali ini dengan nada yang mulai serius.

Alika tidak menjawab. Matanya hanya mengisyaratkan Nayla untuk melihat sekeliling mereka. Nayla menepuk dahinya pelan. Mereka sedang di kantor. Dan suara Nayla barusan sudah membuat teman-temannya menatap mereka ingin tahu.

“maaf” hanya itu yang keluar dari mulut Nayla. Lalu keduanya kembali sibuk melanjutkan tugas masing-masing.

**

Malam Harinya, Alika sudah siap menunggu Reza menjemputnya. Sesuai kesepakatan mereka, Tiket nonton alika ditukar dengan makan malam.

“maaf membuatmu lama menunggu” Reza menyapa Alika yang sudah merubah wajah manisnya semakin kusut.

“kita janji jam setengah 7, dan ini sudah lewat 30 menit” Alika mulai mengeluarkan jurus cerewetnya.

“iya aku salah,.. tadi mama minta diantar dulu ke rumah temannya” Bela Reza.

“kalau tau gitu, harusnya kamu berangkat lebih awal” tidak mau kalah alika juga membela diri.

“iya tuan putri, lain kali aku janji gak telat” Reza mencubit pipi Alika pelan. Alika hanya meringis sedikit. Lalu tersenyum. “kita berangkat sekarang, yuk” ajak Reza.

Alika senang. Reza memperlakukannya sangat baik. Dia menjadi seperti putri yang tak lagi menunggu pangeran berkuda putih, tapi sedang menunggu pangerannya menjemputnya menggunakan mobil mewah. Tak bisa digambarkan betapa Reza terlihat sangat memuja seorang Alika Ariestiya.

“apa lagi ini? Tiket nonton lagi? Bukannya beberapa bulan lalu kamu udah kasih aku tiket nonton?” tanya Nayla. Kali ini dia mendapat kembali amplop putih yang hampir sama seperti beberapa bulan yang lalu.

“bukan.” Alika tersenyum lebar. “dibuka” suruhnya,

Nayla mulai membuka amplop itu. Tertera di dalamnya sebuh tulisan “Undangan Pernikahan”. Nayla menoleh pada Alika tak percaya. Alika hanya tersenyum tak memberikan jawaban apapun atas kegelisahan temannya ini. Nayla membuka Kartu undangan itu dengan cepat. Tertera disana nama Alika Ariestiya & Fahreza Meiztaka. Sabtu, 29 Maret 2014.

“Whattt???” Alika menjadi tertawa melihat ekspresi sahabatnya satu itu.

“kamu mau menikah? Bulan depan??” tanya Nayla tak percaya. Jelas-jelas undangan itu bertuliskan nama Alika dan Reza.

“itu baru satu kartu undangan yang selesai. Sebagai contoh. Yang lain baru 2 minggu lagi. Dan orang yang pertama aku kasih undangan itu kamu” jelas Alika.

“Aku masih gak percaya” Nayla kembali menatap Undangan itu lagi. Lalu melihat kearah sahabatnya. Tetap tak percaya. “Secepat ini”

“Gak cepat Nay, sebenarnya waktu Reza ajak aku makan malam sebagai penolakannya atas tiket nontonku, dia melamarku. Dia bilang, kita gak perlu pacaran. Kita udah saling mengenal cukup lama dan dia rasa dia udah cukup tau siapa aku” jelas Alika lagi. Masih dengan senyum di bibirnya.

“lalu kamu gak kasih tau aku? Jahat banget” Nayla langsung mengubah raut wajahnya. Memasang tampang ngambek.

“Maaf, tapi waktu itu aku juga gak percaya semua akan berjalan secepat ini. Yang penting sekarang kan , kamu orang pertama yang dapet undangan itu dari aku” Alika membela diri.

Nayla mengubah lagi wajahnya menjadi tersenyum. Seakan menerima penjelasan Alika barusan. “Semoga kamu bahagia ya Al, atas keputusanmu” Nayla merangkul sahabat baiknya ini. Terbesit banyak doa dalam senyumnya. Doa untuk kebahagiaan Alika. Semoga tidak pernah ada penyesalan disana.

“Apa kamu juga akan mengundang Alvian?” tanya Nayla cepat. Penasaran.

“Reza yang ingin mengundangnya” Jawab Alika. Tetap dengan senyuman. Seakan tak ada lagi yang perlu ditakutkan dari nama itu.

Nayla hanya mengernyitkan dahinya. ‘kenapa Reza?’. Tapi pertanyaan itu tidak dia utarakan. Hanya saja, kenyataan bahwa Reza yang ingin mengundang Alvian membuat Nayla sedikit bertanya-tanya.

Sabtu, 29 Maret 2014 Alika & Reza Wedding Party....

Alika dan Reza tenggelam dalam senyuman kebahagiaan mereka. Ratusan orang menghadiri acara resepsi pernikahan mewah mereka yang diadakan di sebuah gedung serba guna. Alika terlihat menawan dengan gaun merah mudah yang dipadu dengan ungu muda sangat pas untuk warna kulitnya. Begitu pula Reza mengenakan pakaian yang berwarna senada. Semua orang bergantian berjabat tangan mengucapkan selamat dalam hari bahagia itu. Disana terlihat Nayla dan Rico sedang berfoto dengan mempelai. Nayla memuji betapa cantiknya Alika hari itu. Tapi alika tak melihat kedatangan Alvian.

‘dia tidak mungkin datang’ batin Alika. Dari sekian banyak kejadian yang terjadi dalam hidup Alika. Alvian tak pernah berniat untuk hadir. Bahkan saat dia sakitpun, Alvian tidak datang menjenguk. Jadi tidak salah kalau Alika mempunyai pemikiran yang sama untuk acara pesta pernikahannya hari ini.

“Cepet – cepet jadiin aku tante ya!” bisik Nayla saat mereka bersalaman.

“hussttt...” Alika hanya tersipu malu.

Tak terasa, Alika telah melepas masa lajangnya. Bahagia seperti tidak dapat dia jelaskan. Reza adalah orang yang akhirnya menjadi pelabuhan hatinya yang terakhir. ‘Terima Kasih’

10 Bulan kemudian....

Alika menimang Adit, buah cintanya dan Reza. Aditya Rizki Alreza lahir seminggu yang lalu. Anak laki-lakinya ini sedang tertidur di pangkuannya.

TOK... TOK... TOK...

Pintu rumah Alika diketuk. Dengan sigap Reza yang saat itu menemani Alika merawat buah hatinya langsung membuka pintu.

Hanya sayup-sayup Alika mendengar Reza berbicara akrab dengan seseorang.

“Siapa yang datang, pa?” tanya Alika. Sedikit terkejut melihat orang yang bediri persis dihadapan Reza. Dia datang lagi. Alvian.

“kenapa gak diajak masuk?” tanya Alika lagi.

“ayo masuk, putraku sedang tidur. Alika bisa membawanya kemari kalau kamu ingin melihatnya” ucap Reza. Mereka terlihat sangat akrab disana. ‘Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?’. Batin Alika.

Alika kembali masuk ke kamarnya. Membawa Adit dalam pelukan hangatnya.

“lucu dan tampan sekali anakmu. Persis seperti wajahmu” ucap Alvian pada Reza.

“seperti yang aku bilang kan?” kali ini reza yang berbicara.

“tunggu sebentar ya, aku akan membuatkan minum. Pembantu kami sedang libur. Jadi aku yang harus menggantikan sementara waktu” ucap Reza. Lalu bangkit dari duduknya.

“tidak usah repot-repot, Za. Bukankah biasanya kamu tidak pernah memperlakukan aku seformal itu?” tanya Alvian.

“kali ini beda. Untuk menyambut lahirnya putra pertamaku, maka aku akan memperlakukan sahabatku juga dengan istimewa.” Ucapnya.

Alika hanya memandang aneh kedua orang yang ada di depannya. ‘sahabat? Sejak kapan?’ batin Alika.

**

“kamu mengenal Reza?” tanya Alika setelah Reza hilang dibalik pintu ruang keluarga mereka.

Alvian mengangguk. “dia sahabat kecilku” ucap Alvian tenang.

Seperti dilemparkan sebuah bom yang meledak hebat. Semua seperti terjawab. Semua rasa penasaran dan semua kegelisahannya tentang sikap Alvian selama ini seperti terpampang rapi di hadapannya.

“dan kamu tidak pernah mengatakannya?” tanya Alika.

“Apakah Reza pernah mengatakannya?” tanya Alvian juga. Mereka terdiam. Ya, diantara keduanya, tidak ada yang mengakui.

“Oh, iya... selamat atas pernikahan kalian. Maaf saat pesta pernikahanmu aku tidak datang” ucap Alvian datar, seperti menyembunyikan banyak makna disana.

“tidak apa-apa. Lalu kenapa sekarang kamu datang?” tanya Alika. Alvian tersenyum.

Tepat saat itu Reza datang membawakan mereka minuman.

“Aku kemari ingin pamit. Besok, aku akan ke italia. Menempuh study S2 ekonomiku. Disana aku juga akan memperdalam ilmu photographiku.” Ucap Alvian.

“Papamu menyetujuinya? Bukankah menjadi photographer adalah yang paling ditentang papamu?” tanya Reza seperti mengetahui latar belakang keluarga Alvian. Alika hanya terdiam. Memperhatikan.

“ya... aku tidak mengatakan kepada papa masalah photographi itu. Aku hanya mengatakan akan melanjutkan study S2 ekonomiku. Disana aku akan bertemu pamanku. Yang ahli photographi.” Jelasnya.

“baiklah kalau begitu. Semoga cita-citamu tercapai disana.” Ucap Reza. Alika tetap terdiam.

Melihat keadaan yang rumit itu, Reza akhirnya mengalah. “aku biarkan kalian ngobrol bedua” ucap Reza kemudian. Betapa dia harus menahan rasa sakit itu. Membiarkan istrinya untuk membicarakan masalah masa lalunya dengan orang lain. Tapi apa yang bisa diperbuatnya. Dia juga terlibat dalam masalah ini.

“tidak perlu, Za. Aku pamit dulu” ucap Alvian.

“alvian... selesaikan sebelum kamu pergi” ucap Reza. Dia meninggalkan Alika dan Alvian di ruang tamu. Reza juga membawa Adit dalam pelukannya.

“ada apa sebenarnya antara kamu dan Reza?” Alika memulai pembicaraannya.

“dia sahabatku dari kecil. Itu saja.” Jawab alvian. Tetap dingin

“oke, pulanglah jika kamu tidak ingin menyelesaikan semua ini.” Alika berdiri mengusir Alvian dari rumahnya.

Alvian juga berdiri. “dia sangat bahagia ketika menceritakan padaku berkenalan dengan seorang wanita. Dia memujinya setiap kali bercerita denganku. Dia bahkan mengatakan bahwa hanya wanita itu yang mampu merebut hatinya dengan cepat. Kamu tahu bagaimana perasaanku saat aku tahu wanita itu adalah kamu?” Alvian menghela napas. “Aku rasa penjelasan itu saja sudah cukup kan untuk menyelesaikan semua ini?” Jelas Alvian. Beranjak meninggalkan rumah Alika. “semoga kamu bahagia bersamanya. Dia orang yang sangat baik.” Alika diam memaku. Dia melihat senyum Alvian itu untuk terakhir kalinya. Air mata itu menetes. Entah untuk apa lagi. Alvian sudah hilang dengan mobil sport hitamnya. Tapi Alika tetap disana. Berdiri. Mematung.

“dan kamu merasa menyesal, mengetahui hal itu setelah kamu sudah memilih Reza?” tanya Nayla di kamar Alika sesaat setelah Alika menceritakan kejadian Alvian datang kerumahnya seminggu yang lalu.

“bukan seperti itu nay... aku hanya...” Alika tak bisa meneruskan kata-katanya. Semuanya membuat dia bingung,

“Al, lihat Adit sangat lucu. Dia menatap kamu tanpa dosa sekarang.” Ucap Nayla. Seakan mengalihkan.

“Nay, aku sedang serius.” Protes alika.

“kamu tau apa yang ingin adit katakan setelah mendengar ceritamu barusan?” tanya Nayla lagi. Tak mempedulikan protes Alika barusan. “dia hanya ingin mamanya mencintai papanya seutuhnya. Hanya papanya. Tidak untuk orang lain.” Nayla tersenyum. Membawa Adit dalam pelukannya. Menggendong Adit penuh kasih sayang.

Alika terdiam mendengan jawaban Nayla yang begitu bijaksana itu. Benar... Adit pasti tidak ingin melihat dia terlarut dalam masa lalunya yang sudah tertutup lembaran baru. Bagaimanapun, Adit dan Reza adalah dua orang laki-laki yang dianugerahkan untuk hidupnya.

‘Terima Kasih’

END

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun