Mohon tunggu...
Envi Sandarina Alifa
Envi Sandarina Alifa Mohon Tunggu... -

Kota asal Situbondo, Single dan Bekerja di salah satu perusahaan swasta di pasuruan jawa timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Aku, Dirimu, Dirinya, dan Dia Part 1

16 Juli 2014   19:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:09 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ada cerpen baru. tapi aku bagi jadi beberapa part.

happy reading ^^

Hujan turun deras. Mendung memenuhi setiap sisi langit yang mampu dijangkau mata. Sepertinya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Shavia sudah mulai putus asa. Matanya berulang kali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Bagaimana dia bisa pulang kalau cuacanya seperti ini. Sementara kampus juga sudah mulai sepi. Maklum ini akhir pekan, semuanya beralasan pulang cepat karena punya rencana masing-masing. Gelar mahasiswa baru membuat mereka belum mempunyai banyak jadwal kuliah dan organisasi. Tapi berhubung Shavia tidak mempunyai acara apapun, dia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus, untuk sekedar menambah ilmu. Tapi siapa sangka keputusannya malah membuat dia tertahan lebih lama lagi disana, sendirian. Matanya mulai meneliti setiap sudut perpustakaan. Hanya tinggal beberapa orang disana. Ternyata ketika menjelang petang, sudah jarang ada mahasiswa disini. Teringat akan cerita teman-temannya tentang betapa mengerikan kampusnya di malam hari, membuat shavia semakin takut dan resah.
Tempat kos shavia tidak terlalu jauh dari kampusnya. Tetapi hujan yang sangat deras ini bisa membuat dia basah kuyup kalau memaksakan diri pulang. Dia juga tidak membawa payung.
Bukannya semakin reda, hujan sore itu malah semakin mengerikan dengan disertai petir dan angin kencang.
Shavia menutup matanya. Memikirkan bagaimana dia bisa pulang. Siapa yang harus dia mintai pertolongan?
“Alika gak mungkin, dia bilang lagi pulang kampung, Mita juga nggak mungkin, dia pasti udah dilarang keluar sama orang tuanya, Riko juga gak mungkin, dia pasti lagi les piano sekarang. Trus siapa?” Shavia berniat membuka matanya kembali setelah tak menemukan solusi. Saat matanya baru setengah terbuka, dia melihat ada bayangan seseorang di depannya, sangat dekat. Sampai dia tak dapat mengenali wajahnya. Terkejut dan takut bercampur menjadi satu, membuat shavia urung membuka mata. Dia memejamkan matanya kembali. Mencoba meyakinkan diri bahwa yang dilihatnya barusan hanya halusinasi. Bagaimana mungkin ada orang yang berani mendekatkan wajahnya sampai sedekat itu?
“shavia itu tadi hanya halusinasi” ucap shavia meyakinkan.
“kamu sedang apa?” shavia terkejut. Suara siapa?
Shavia mulai membuka mata lagi. Tak mungkin ada setan yang berbicara sejelas itu dengannya. Pasti itu salah satu temannya. Pikirnya.
Matanya sudah membuka sempurna, ketika menyadari tak ada orang di hadapannya. Tidak ada satupun. Shavia melihat ke samping, petugas perpustakaan yang 5 menit lalu ada di mejanya, sekarang sudah tidak ada. Suasana perpustakaan mulai mencekam, walaupun lampu tetap menerangi ruangan itu. Tapi suasana hati shavia yang terlajur ketakutan membuat penerangan disana tidak berguna. Lalu tadi itu suara siapa?
Shavia mulai berpikiran negatif. Jangan-jangan yang teman-temannya bicarakan tentang keadaan kampus ketika malam menjelang itu benar adanya.
“hei, kamu kenapa?” tanya suara itu lagi. Kali ini shavia tersentak.Suara itu terdengar lagi. Dengan memberanikan diri, shavia menoleh mencari suara itu.
Badannya hampir saja terjatuh dari kursi yang di dudukinya, sebelum akhirnya dia sadar, dia tidak sendirian, ada orang lain disana. Terpisah beberapa kursi darinya. tapi rasa takut yang menghantuinya membuat shavia tidak bisa berpikir jernih bahwa itu memang benar-benar suara manusia.
Tanpa sadar shavia mengelus dadanya. Benar itu hanya rasa takutnya saja. Tidak mungkin ada apa-apa di tempat seterang itu. Yah... ketika rasa takutnya lewat, shavia baru menyadari perpustakaan disana begitu terang dengan lampu-lampu yang dipasang di setiap sudut ruangan. Lalu kenapa tadi dia harus takut?
“hei, kamu takut?” tanya suara itu lagi. Kali ini makin dekat. Orang itu duduk di sebelah kursi shavia. Penasaran karena melihat tingkah laku shavia yang aneh dan mengacuhkan setiap pertanyaannya.
Dengan pasti shavia menggeleng. Mana mungkin dia mengakui kalau dia takut di tempat seperti ini? Yang baru disadarinya kalau perpustakaan ini ternyata tidak terlalu sepi seperti bayangannya tadi.
“halooo, do you hear me?” ulang orang itu. Seperti mulai kesal karena shavia masih saja diam. Melihat keadaan sekelilingnya.
“please, gak usah teriak!” akhirnya shavia merespon ucapan laki-laki itu. “kamu siapa?” tanya shavia kali ini. menatap sekilas wajah laki-laki itu lalu segera kembali melayangkan tatapannya ke sekeliling perpustakaan lagi.
Alis laki-laki itu berkerut. “gadis aneh” ucapnya, lalu meninggalkan shavia, kembali ke tempat duduknya semula.
“hei... apa yang barusan kamu bilang?” kali ini kesadaran shavia sudah kembali. Jadi dia sudah dapat mendengar dengan jelas apa yang laki-laki itu katakan, dan tentu saja merespon dengan cepat.
Kali ini malah laki-laki itu yang tak menghiraukan. Dia kembali tenggelam dalam kesibukannya sendiri dengan laptop dan setumpuk buku di hadapannya.
Shavia yang menyadari laki-laki itu tak menghiraukan, hanya bisa menatap dengan kesal. Orang itu sudah membuat dirinya ketakutan, dan sekarang dengan seenaknya mengatainya dengan gadis aneh.
Entah apa yang dibacanya di laptop itu, laki-laki itu tiba-tiba sedikit menyunggingkan senyum. Shavia menangkap senyum itu. Tidak asing. Pikirnya. Senyum itu, sepertinya dia pernah kenal. Tapi siapa?
Shavia meluruskan badannya. Menatap buku di hadapannya. Bukan sedang membaca, tapi berpikir. Siapa orang itu. Kalau dia mengenalnya, tidak mungkin dia akan berpikir sekeras ini untuk mengingat. Lagi pula laki-laki itu mungkin akan menyapanya terlebih dahulu kalau memang mereka saling kenal. Tapi shavia jadi hilang ingatan tentang siapa dia. Shavia terus berpikir keras. Sesekali memejamkan mata. Senyum itu membuatnya penasaran.
Tanpa shavia sadari, laki-laki itu sudah ada di hadapannya lagi. Kali ini menatap shavia sedikit cemas.
“lebih baik kamu segera periksakan diri ke psikiater. Mungkin kamu terkena gejala Schizophrenia” ucap laki-laki itu lalu berlalu dari hadapan shavia yang masih mencerna kalimat yang dikatakannya.
“Skizof... apa tadi? Apa itu?” tanya nya menatap laki-laki itu yang sudah mulai menjauh. “eh... psikiater? EH KAMU PIKIR AKU GILA?” teriak shavia kepada laki-laki itu yang sudah pasti tidak mendengarnya, karena jarak mereka yang sudah cukup jauh.
Shavia meninggalkan perpustakaan dengan perasaan kesal, marah dan tidak terima dengan perkataan laki-laki tadi. Hujan sudah mulai reda, jadi shavia memutuskan segera membuang kesialannya hari ini dengan pulang ke kos.
“dia pikir aku gila? Dia tuh yang gila, kenal aja nggak malah ngatain orang seenaknya. Dia pikir dia siapa? Pake bilang aku harus ke psikiater? Dasar orang gak jelas. Sok pinter banget sih pake mendiagnosa orang segala. Ketemu aja baru sekali!” selama perjalanan pulang ke kos, shavia tak henti-hentinya meluapkan rasa kesalnya kepada laki-laki yang ditemuinya di perpustakaan tadi.

“Kamu kenapa vi? Kok keliatannya lagi marah gitu?” tanya alika yang sedang duduk di ruang tamu tempat kos shavia.
“alika? Bukannya kamu pulang kampung?” tanya shavia heran. Kenapa teman kosnya ini masih ada disini.
“rencananya gitu, tapi berhubung tadi udah keduluan ujan, jadi aku gak bisa pulang. Kamu dari mana?” tanya alika.
“kampus.” Jawab shavia singkat. Tak berniat menjelaskan kesialan apa yang sudah dialaminya hari ini. shavia segera berlalu menuju kamarnya
“malem2 gini? Sendirian? Kok berani?” alika yang penasaran mendengan penjelasan shavia, segera mengikuti wanita berambut ikal itu ke kamarnya.
“kejebak ujan, jadi aku baru bisa pulang, apes banget aku!” shavia merebahkan dirinya di kasur.
“terus?” alika makin penasaran.
“apanya yang terus?”
“ceritanyalah... apa aja yang bikin apes?”
“ketemu cowok gila”
“ganteng gak?”
“gak tau udah lupa. Yang aku inget Cuma ngeselinnya aja!”
“yah... sayang banget!”
“apanya yang sayang?”
“gak liat wajahnya. Kalo ganteng kan lumayan.”
“apaan sih... percuma ganteng kalo nyebelin kayak dia”
“meskipun nyebelin tapi kan ganteng”
“ganteng tapi nyebelin”
“oh berarti ganteng?”
“aduuuhhh... gak tau... udah keluar aja... aku mau istirahat” usir shavia. Alika hanya tertawa geli melihat tingkah sahabatnya itu. Sebelum menutup pintu kamar shavia, alika kembali berteriak “via, tadi ada Zaki kesini cari kamu”
Shavia menepuk dahinya. Dia melupakan sesuatu.
Shavia segera membuka handphonenya. Melihat sudah banyak panggilan tak terjawab, bbm dan sms disana. Dan semua dari Zaki.
“halo, Zaki... maaf tadi aku ada tugas di kampus... trus...” tak sempat meneruskan alibinya, Shavia harus segera terdiam karena Zaki sudah berbicara panjang lebar terlebih dahulu.
“iya... iya... maaf aku salah” ucap Shavia akhirnya.
“iya... maaf ya.. lain kali aku gak gitu” shavia membela diri lagi. Tapi Zaki tetap saja berbicara panjang lebar di seberang sana.
“iya... hoammm” Shavia menguap mendengar pernyataan Zaki yang tak ada ujungnya.
“iya aku ngantuk... udah dulu ya... besok aku telepon lagi... daaa sayank... mmmmuach” Shavia segera menutup teleponnya. Akhirnya bisa terbebas dari omelan panjang zaki yang tak berujung itu.
Shavia mulai memejamkan matanya, tapi dia tiba-tiba teringat sesuatu.
Shavia langsung terbangun. Matanya melebar sempurna. “KAK ZAKI?” serunya. Sedikit berteriak.
“iya bener kak zaki!” ucapnya lagi meyakinkan.
“Vi, kenapa teriak?” kali ini Riva yang membuka pintu kamar Shavia.
“enggak papa, maaf... kelepasan...” Ucap shavia dengan wajah innocentnya.

Pagi yang cerah. Tidak seperti kemarin. Hari ini matahari menemukan kembali kekuatannya untuk bersinar terang. Berkas-berkas sinarnyapun mampu menembus tirai jendela kamar shavia yang masih tertidur lelap.
Merasa terusik dengan silaunya sinar matahari, shavia perlahan membuka matanya.
“via, mau temenin aku ke kampus bentar gak?” teriak alika dari luar kamar shavia.
Tok... tok.. tok... kali ini alika mengetuk pintu.
“males” gumam shavia pelan. Tak berniat membukakan pintu ataupun sekedar menjawab dengan memperbesar volume suaranya.
“via... masih tidur ya?” terdengar teriakan alika lagi.
“iya” jawab shavia lagi dengan volume suara yang tak berubah.
“via udah siang nih. Bangun dong!” alika berteriak lagi.
“udah tau” jawab shavia lagi. Dengan setengah hati, akhirnya shavia tergugah untuk sekedar membukakan pintu sahabatnya yang sudah dari tadi berusaha membangunkannya itu. Walaupun shavia sudah membuka mata sesaat sebelum teriakan alika terdengar.
“apa?” tanya shavia ketika alika memperlihatkan senyum terbaiknya... yang malah terkesan, aneh.
“temenin aku yuk” kali ini dengan kedipan matanya yang berulang-ulang.
“ngapain?”
“cuci mata” alika tertawa sebentar. “ketemu bu Fatin. Tugas aku gak bisa aku kirim via email. Jadi aku mau kumpulin hardcopynya.” Alika memperlihatkan setumpuk kertas di tangannya.
“lama?” tanya shavia.
“bentar kok... Cuma ngumpulin aja trus kita pulang lagi”
“gak bisa sendiri?”
“nggak” alika kembali tertawa. “ayolah vi... aku belum biasa sendiri ke kampus. Diliatin orang-orang. aku gak pede ah...”
Shavia memutar bola matanya. Sahabatnya ini tidak pernah berubah. Selalu saja bergantung pada orang lain. Tidak pernah bisa melakukan sesuatu sendiri.
“iya oke. Tapi aku mandi dulu”
“yah... lama dong... Cuma bentar kok...”
“eitsss... gak pake protes...” tegas shavia kembali menutup pintu kamarnya.

@kampus...
“aku tunggu di sini aja ya... ruang dosen kan udah deket?” shavia menghentikan langkahnya di depan kantin. Beberapa makanan disana menarik perhatiannya.
“iya udah...” alika segera melangkahkan kakinya ke ruang dosen.

Shavia sudah menghabiskan 1 mangkuk mie bakso dan segelas teh manis, tapi alika belum juga datang menemui shavia di kantin.
“sebentar kok sampe satu jam?” gerutu shavia yang mulai bosan.
Shavia membuka hanphonenya. Berniat menghubungi alika, sebelum ponselnya berdering terlebih dahulu.
“halo” jawab shavia.
“lagi dimana vi?” tanya zaki.
“di kampus”
“ngapain? Bukannya gak ada kuliah?”
“nemenin alika”
“oh... abis nemenin alika kita makan bareng yuk!”
“aku udah makan”
“kalo gitu temenin aku makan”
“oke. Dimana?”
“tempat biasa”
“aku sampe 30 menit lagi”
“ditunggu” zaki menutup teleponnya.
Shavia segera beranjak dari kursinya. Dia segera mengirimkan pesan singkat untuk alika bahwa dia menemui zaki.

To : Alika

Aku ketemu zaki di tempat biasa, maaf gak bisa nungguin kamu.

Beberapa saat kemudia ponsel shavia kembali berdering.
“haloo” sapa alika.
“vi, aku udah selesai. Aku udah baca sms kamu” alika menjelaskan.
“oke. Trus ngapain telepon?”
“barusan aku ketemu seseorang”
“siapa?”
“kak zaki”
“oh”
“kok oh?”
“iya”
“Kok iya?”
“terus?”
“kok terus?”
“alika, sebenernya kamu mau ngomong apa sih? Emangnya kenapa kalau kamu ketemu kak zaki?”
“kamu gak kaget?”
“nggak”
“kok bisa?”
“aku udah ketemu”
“kapan?”
“kemarin”
“cowok gila itu?”
“iya”
“kok kayaknya kamu datar banget gitu sih?”
“terus? What should i do? Nangis? Teriak-teriak? Seneng? Atau ngejar-ngejar dia?”
“harusnya gitu”
Pip...
Shavia menutup telepon alika sepihak.

From : Alika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun