Ketika sepakbola U-21 Indonesia ditundukkan dengan cukup memalukan oleh Negara yang baru mengenal sepakbola (Brunei Darussalam), begitu banyak komentar dan opini berkembang, banyak yang menyalahkan ini dan itu seperti PSSI lah, Pemerintah koruplah dan sebagainya, namun, sangat sedikit yang berpikir bahwa kita sebenarnya hanya negara runner-up dan penduduk kita tidak lain hanyalah penduduk kelas dua yang tidak mempunyai mental untuk menjadi juara.
Pada piala AFF kita hanya juara ke-dua, sea games kita juga juara kedua, dan sekarang kita juga runner-up, mau bicara apalagi? kita memang pantas menjadi juara kedua. Presidennya memiliki mental runner-up, rakyatnya juga bermental runner-up.
Pada masa revolusi kemerdekaan sangat populer kata-kata "dasar inlander", yang ditujukan kepada orang Hindia Belanda yang memiliki mental kacung, pemalas dan tidak mau bersaing. Kata-kata itu dipopulerkan oleh Bapak Bangsa Mohammad Hatta ketika beliau merasa putus asa melihat orang-orang Indonesia yang malas dan bermental budak. Susah payah Hatta membangun mental bangsa ini agar sembuh dari penyakit "lemah" ini. Tetapi akhirnya beliau menyerah sendiri karena memang orang Indonesia ini sebahagian besar tidak memiliki mental juara.
Terdapat perbedaan mendasar antara bermental juara (tuan) dengan bermental pecundang (budak/kacung). Seorang juara akan menerima kekalahan dengan besar hati dan tidak melibatkan emosi berlebihan saat kalah namun, segera melakukan introspeksi dan tidak pernah melecehkan pemenang sedangkan pecundang akan melecehkan pemenang dan beralasan bahwa kemenangan dicapai hanya karena nasib baik dan kemujuran. Seorang bermental juara akan ngotot dan bekerja keras untuk mencapai kemenangan dalam pertandingan lalu diam begitu pertandingan berakhir, sedangkan pecundang akan bermalas-malasan saat pertandingan namun, ribut begitu pertandingan telah berakhir. Kalau kita lihat opini media dan tanggapan masyarakat kita bisa menilai sendiri kalau kita ini siapa.
Mental budak ini juga dapat dilihat dalam bentuk lain, seorang yang bermental tuan/juara tidak begitu terpesona dengan pencapaian orang lain, namun, menghargai pencapaian itu dan belajar untuk mencapai capaian itu. Namun, seorang bermental pecundang/budak akan sangat terpesona dengan prestasi orang lain dengan pujian yang sangat berlebihan jika menurut pikiran pendeknya pencapaian itu tidak mampu dicapainya, sedangkan jika pencapaian orang itu menurut logika pendeknya mampu dicapainya, maka dia akan meremehkan pencapaian itu. Tanpa menunjukkan sedikit respek terhadap pencapaian orang lain itu.
Begitulah kita Indonesia, kebanggan apa yang kita punyai selain bernostalgia tentang kebesaran  masa lalu yang artinya sama sekali tidak ada. Kita menghujat bangsa lain yang telah keluar dari kekalahan seperti Malaysia, namun, kita tidak menunjukkan usaha untuk keluar dari inlanderisme ini. Pejabat kita (pemerintah dan DPR) menunjukkan kebiasaan dan sikap kelas dua, tidak mau bekerja keras melainkan hanya duduk, diam dan dapat duit. Rakyatnya suka hasil instan dan tidak berusaha untuk meningkatkan potensi diri untuk menjadi lebih baik. Lihat saja sekeliling kita bagaimana sebahagian besar dari orang mampu di negeri kita lebih suka membanggakan mobil baru dan produk luar negeri dan merendahkan produk Indonesia. Anak-anak kita juga terbiasa menyukai hal yang instan di sekolah, bahkan lucunya juga kegiatan pencontekan massal dilindungi oleh orang tua dan pihak sekolah, sehingga mau dibawa kemana negeri ini?
Pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan juga menjadi serba salah, pendidikan yang diberikan di sekolah dan kampus kehilangan independensinya karena terlalu banyak dimasuki oleh unsur politik, dan sekolah berjalan sendiri sementara pihak di luar sekolah dan kampus hanya menghujat dan tidak menunjukkan apresiasi dan bantuan terhadap kelangsungan pendidikan bangsa ini. Padahal tidak pernah ada negara yang maju di dunia ini tanpa memiliki sekolah dan kampus yang maju. Sekolah kita dituntut terlalu banyak untuk berbuat hal-hal instan sementara kepentingan sustainabilitas ilmu tidak pernah menjadi perhatian. Sehingga selamanya negara kita akan menjadi negara kelas dua.
Sehingga sangat cocok negeri kita disebut sebagai negeri Indomie, karena semua serba instan dan rakyatnya suka instan, bermental budak dan inlander. Mendapat juara dua senangnya sudah minta ampun, dan tidak menunjukkan usaha untuk merubah diri menjadi nomor satu. Yang saya khawatirkan adalah bahwa perasaan kita yang sudah bangga menjadi nomor dua, nanti akan terbiasa menjadi nomor tiga, empat, lima, ......dst. Sehingga penduduk yang 234 juta urutan nomor 4 di dunia ini tidak lebih dari negara budak, babu dan inlander. Saya berandai-andai jika kita bisa berubah menjadi tuan, dan juara, namun, mungkin saya harus menyerah seperti Hatta yang menyerah berhadapan dengan rakyat inlander yang ditemuinya tiap hari dan harus puas menjaga mimpi yang tetap selamanya merupakan mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H