Mohon tunggu...
Deski Beri
Deski Beri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Senang berbagi ilmu, tapi berbagi duit....??? ahh....yang akan dibagi juga belum cukup hehehe....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aku Orang yang Paling Beruntung

24 Februari 2012   18:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:13 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mungkin kata-kata pada judul di atas terdengar aneh di telinga sebagian orang ditengah banyak permasalahan yang melingkupi bangsa ini. Tetapi kata-kata itu bisa juga menjadi bentuk ungkapan rasa Syukur kepada Allah SWT. Mengapa kalimat itu menjadi pesan bagi saya, baik secara pribadi maupun secara totalitas adalah ketika saya melihat bumi.

Semula ada perasaan iri, dengki dan kemarahan melihat orang lain dapat memiliki materi lebih baik dari saya. Bagaimana tidak? seorang anggota DPR bisa memiliki kekayaan miliaran rupiah, seorang artis yang pendidikannya sebagian lebih rendah dari saya bisa mempunyai kekayaan miliaran, sementara saya seorang PNS, hanya mempunyai materi dalam kisaran jutaan. ditambah lagi dengan bermacam kecurangan yang dilakukan oleh sebagian orang untuk mendapatkan kekayaan melimpah yang kesemuanya bagi saya belum istimewa. Hanya dengan sedikit usaha dan kelicikan semua itu dapat dilakukan, dan saya memiliki kapasitas dan kemampuan untuk itu. Tetapi ada hal besar yang membuat saya tersadar, syukur saya tidak terlanjur menjadi kotor dengan sikap dan perbuatan itu.

Ada satu hal yang menyadarkan saya, ketika semua peluang ada di depan mata. Jalan materi itu seperti membuka lebar, bahkan sangat lebar sekali pada suatu ketika. Sehingga bukan dalam jumlah jutaan, malah dalam tempo miliaran dapat saya peroleh dengan keahlian dan kemampuan yang saya miliki tanpa saya harus menipu atau melakukan perbuatan yang tercela dan tidak halal. Kemudian saya bertanya kepada diri saya sendiri apakah saya sudah pantas untuk menjadi orang kaya? Kalau menjadi orang miskin saya sudah terbiasa bahkan sangat terbiasa malah, dari kecil sampai sekarang saya selalu miskin dalam hal materi. Bahkan saya sangat menikmati hidup dalam kemiskinan materi ini karena banyak kepuasan dan prestasi yang saya torehkan dari kemiskinan yang saya punyai ini. Namun, untuk menjadi orang kaya? itu soal lain.

Menjadi kaya materi bagi saya adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang asing!...bayangkan jika dirimu pada suatu ketika menemukan uang dalam koper sebesar 500 Juta? atau menang lotere? mau diapakan uang sebanyak itu?...satu hal yang menjadi pikiran saya apakah saya sudah siap untuk itu? ada semacam perasaan aneh ketika pada suatu pagi saya harus dipaksa oleh kekayaan itu untuk bangun pagi dan harus menghidupkan kran air dan mencuci mobil sementara saya sendiri belum mandi. Padahal dalam keadaan miskin saya tidak pernah diperintah oleh siapapun untuk bangun pagi. Setelah mencuci mobil, saya dipaksa oleh kekayaan saya untuk pergi kerja dan harus menembus kemacetan pakai mobil, padahal saya sudah terbiasa menggunakan motor atau jalan kaki yang tidak pernah pusing dengan macet. Lalu ketika sampai ditempat kerja saya harus terbiasa menerima salam yang tidak ikhlas dari orang lain karena mereka menganggap saya terpandang karena kekayaan, padahal dalam kemiskinan saya sangat menikmati hidup tanpa disapa orang lain yang memang kurang saya harapkan karena saya berjalan selalu berpikir dan kalau tidak saya sapa balik mereka tidak akan tersinggung. Kalau saya adalah orang kaya? soalnya jadi lain, jika tidak saya sapa balik? mereka akan berkomentar dengan kata-kata kotor di belakang saya "mentang-mentang orang kaya", lalu begitu sampai di rumah setumpuk undangan dan proposal permintaan dana sudah menunggu, padahal sebagai orang miskin saya sudah terbiasa pelit karena memang tidak ada uang yang harus saya berikan.

Menjadi kaya bukan sekedar menambah jumlah uang dalam rekening koran dan menikmati fasilitas. Tetapi banyak tuntutan lain yang saya sadari harus benar-benar dipersiapkan. Menjadi orang kaya akan merubah style dan gaya hidup, yang akan keluar dari style saya yang sesungguhnya. Menjadi orang kaya akan membawa saya nongkrong di kafe, pub atau diskotik, yang sama sekali tidak saya sukai. Saya terbiasa nongkrong di warung atau kantin dengan menu segelas kopi hitam manis panas dan sepiring lontong atau nasi goreng, setelah itu ngobrol tak kenal waktu dan tanpa khawatir diusir pemilik warung meskipun kopinya telah habis atau tidak keluar uang lagi untuk membeli nasi goreng kedua dan ketiga. Obrolan saya biasa meliputi segala hal baik politik, sosial, seni, ilmiah, supranatural dan sebagainya. Tetapi sebagai orang kaya yang nongkrong di pub atau kafe ceritanya akan lain, ujung-ujungnya adalah bisnis dan tentang perempuan. Dua hal yang kurang saya minati, meskipun saya tidak munafik ada perasaan suka tentang itu tetapi tidak menyukai dua hal itu menjadi topik utama pembicaraan.

Hal ini cukup menyadarkan saya, bahwa sesungguhnya saya sangat beruntung menjadi orang miskin, karena dengan kemiskinan itu saya dapat lebih menjadi diri saya dibandingkan dengan menjadi orang kaya. Ada sesuatu yang menurut saya menjadi malaikat penjaga diri saya pada saat ini ketika jadi orang miskin.

Saya mengetahui seorang besar dari tulisannya yaitu Tan Malaka, beliau hidup dalam kemiskinan seumur hidupnya, tetapi beliau bagi saya adalah seorang yang besar dan patut ditiru, karena kebesaran jiwanya membuat dirinya dalam kemiskinan dapat menghasilkan karya yang tidak mungkin seorang kaya dapat perbuat.

Saya menyadari betul jika sekarang saya hidup dalam kemiskinan, itu bukan hanya garis yang dituliskan oleh Tuhan YME, namun, karena saya juga tidak memiliki intention untuk merubah itu. Saya masih menikmati kemiskinan ini entah untuk berapa lama. Maafkan aku istriku karena aku tidak bisa memberikan dirimu kekayaan harta benda, tetapi dalam kemiskinan ini suamimu bisa terjaga untuk menjaga kesetiaan kepadamu.

Saya melihat sekeliling kepada orang siapa yang saya iri dan dengki dulu padanya, dan mulai melihat dengan jernih; memang pantas seorang pejabat dan anggota DPR RI memiliki kekayaan miliaran karena dia adalah segelintir orang indonesia pilihan yang bisa menapaki jenjang karir seperti itu. Lalu memang pantas seorang artis memiliki harta berlimpah karena dia benar-benar berusaha dan bekerja serta berkarya, sehingga namanya diketahui oleh seluruh orang di Indonesia. Sementara saya mungkin juga pantas digaji negara beberapa juta untuk pekerjaan yang saya lakukan dengan datang ke kampus kadang jam 9 atau 10 lalu jam 4 sore sudah pulang. Atau mungkin negara juga terlalu mahal menggaji saya sejumlah itu untuk orang yang berbuat tidak banyak untuk negara ini.

Saya memiliki seorang sahabat yang sekarang menjadi staf di ITB, pada suatu ketika kami bercerita tentang masalah yang mirip ini, dan dia berkata. "Kita digaji selama sebulan oleh negara tercinta ini sebanyak gaji yang kita peroleh selama empat hari bekerja di Jerman ya!, sehingga untuk makan malam pun saya terpaksa membawa kamu makan nasi uduk dan naik angkot, ironis ya?", ketika itu saya mengiyakan dan mencerna kata-katanya. Gaji kami hampir sama karena dia dosen baru, sementara saya sudah hampir sepuluh tahun jadi dosen. Ironis memang, seorang yang bergelar Ph.D dengan 15 publikasi internasional dan bekerja mulai jam 7 pagi sampai jam 8 malam di kampus ITB yang besar ini digaji dengan standar gaji sedikit di atas UMR kota Banten. Lalu saya siapa? saya bukan Ph.D, dan tidak punya publikasi Internasional. Lalu saya memiliki pembimbing juga dosen yang memiliki lebih dari sepuluh publikasi internasional, dan dia digaji dengan nilai yang hampir sama. Dia seorang keturunan yang loyalitasnya jangan dipertanyakan tentang Indonesia, sehingga kadangkala saya merasa malu jika berhadapan dengannya karena saya belum apa-apa dalam hal loyalitas kepada bangsa dan instansi dibanding dirinya.

Saya bukan orang yang terbiasa bekerja keras dari kecil, malah boleh dikatakan bahwa apa yang saya terima sekarang sesungguhnya adalah karunia Allah SWT. Ketika SMA saya lebih banyak tidur ketika teman satu kosan belajar, tetapi dalam penerimaan raport saya memperoleh nilai di atas mereka, bahkan ada kecurangan juga yang saya lakukan terhadap beberapa teman saya, meskipun ini dibolehkan. Kecurangan itu adalah; saya memiliki memori ingatan yang lebih baik dari pendengaran dibanding visual, saya tidak akan dapat menjelaskan kepada orang lain fenomena atau memori yang saya tangkap lewat indera penglihatan sebaik indera pendengaran saya. Maka ketika akan ujian saya akan berkumpul dengan teman-teman yang sedang belajar atau berdiskusi hanya untuk mendengarkan suara mereka belajar. hampir 90% subjek pelajaran yang mereka bicarakan akan dapat saya tangkap lewat mendengar saja. Sehingga saya menghemat waktu belajar sendiri. Saya utarakan ini sebagai kecurangan karena secara langsung saya menggunakan potensi mereka untuk kepentingan saya. Ketika kuliahpun juga demikian, ketika ada matakuliah sulit saya akan berdiskusi kelompok, dan saya hanya perlu mendengar diskusi mereka. Untuk menghindari kecurigaan mereka saya berusaha untuk aktif padahal saya lebih suka mendengar dan memastikan apakah yang saya pelajari secara visual telah benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun