Tak ada yang lebih membahagiakan bagi umat islam selain datangnya bulan puasa, bulan penuh berkah,bulan penyucian diri, bulan pengampunan dosa, bulanmenjaring pahala serta beragam istilah yang disandingkan untuk bulan istimewaini.
Tapi apapun itu, puasa tak bisa lepas dari kontekssosial yang menyertainya. Jika begitu banyak istilah yang disematkan untuk mengkultuskannya, lantas seperti apawajah umat islam (khususnya di Indonesia) saatmenjalani ritual yang berlangsung sebulan penuh pada bulan ke-9dalam penanggalan Hijriah ini??
Yang paling tampak adalah geliat ekonomi masyarakat. Adalah sebuah repetisi bahwa setiap menyongsong puasa pusat-pusat perbelanjaan ramai disambangi pengunjung, pedagang musiman menjamur di sepanjang jalan-jalan kota, bahkan di tempat-tempat ibadah.
Mungkin berlebihan jika menyebutnya tragedi bahwa beberapa hari menjelang lebaran orang lebih ramai di toko-toko, mal-mal atau pasar malam ketimbang menggenapkan ibadah di masjid.
Kementerian perdagangan dalam pantauannya –dimuat dalam kompas.com-mengungkap bahwa tingkat konsumsi kebutuhan pokok masyarakat meningkat 15-20% dibandingkan awal pekan puasa tahun sebelumnya.
Kecenderungan konsumtif masyarakat kita pada bulan puasa adalah paradoks dari salah satu nilai luhur puasa itu sendiri. Kita seakan tutup kuping pada nilai ke-sahaja-an kisah-kisah manusia alim yang kerap didengungkan para mubalig di mimbar-mimbar masjid.
Puasa yang berarti menahan hanyalah pemeo yang berlaku dalam durasi saat terbit hingga terbenamnya matahari, setelah itu kita kembali menjadi pelahap maut. Bukankah lebih elok membayangkan bahwa isi kantong kita terkuras pada kotak-kotak sedekah, panti-panti, lembaga-lembaga permberdayaan, atau pada mereka yang membutuhkan. Memberi mereka kesempatan meramaikan pasar.
Keistimewaan bulan puasa pun menular pada ranah pekerjaan. Pemotongan jam kerja untuk pegawai negeri sipil (pns) di Jakarta sebagai dispensasi agar pegawai lebih maksimal dalam beribadah dan bertugas sebagai abdi negara, seakan mengisyaratkan puasa hanyalah urusan langit semata bagi pengambil kebijakan.
Tentunya ini bukan bentuk perjuangan membela kaum pekerja dalam hal pengurangan jam kerja, sebab pasca puasa jam kerja kembali normal.
Tak terpikirkah untuk menjadikan spirit prouktifitas sebagai tema nasional dalam lingkup kerja pemerintah baik pusat maupun daerah. Tentunya tema yang tidak berakhir pada simbolisasi belaka. Membayangkan suasana kerja yang lebih bersemangat dari biasanya, waktu yang digunakan lebih efektif karena tak ada istilah untuk isi perut siang.
Sketsa wajah puasa masyarakat kita tampak menor karena pada dasarnya kita hanya menonjolkan hal-hal yang bersifat permukaan tanpa merenungi dan menjiwai nilai luhur yang dikandung bulan istimewa ini.
Puasa patutnya menjadi kontrol sosialketika intoleransi merebak dan merenggut sendi-sendi kebebasan, pun sebagai kontrol ekonomi ketika pemerintah berkongkalikong ria dengan pengusaha culas yang mengeruk uang rakyat dan menyimpannya di bank-bank luar negeri, serta sebagai kontrol politiksaat instrumen vitalpenghidupan masyarakat kita dijadikan taruhan politik guna mendulang kekuasaan.
Padahal alim ulama kita sudah begitu banyak yang men-sari-kan nilai dan keutamaan puasa. Spirit puasa yang begituuniversal sebenarnyamemudahkan kita memahamidan menterjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapisifat itu justrumembuatnya mengambang dan tereduksi.
Oleh karena itu, perlu adanyarekayasa budaya, yakni transformasi dari nilai ke tingkah lakumasyarakat denganlangkah-langkah yang lebih spesifik dan jelas, hingga mengkristal sebagai mental individu sekaligus mental sosial masyarakat.
Bulan puasa dari tahun ke tahun tak pernah berubah, kecuali lebih ramai belanjaannya, lebih beragam program teve-nya, lebih lama pemotongan jam kerjanya.Mungkin memang demikian konotasi yang diberikan masyarakat kita terhadap bulan puasa.
Dalam bukunyasemiotik dan dinamika sosial budaya, Benny H.Hoed memaparkan konotasi sebagai pemberian makna baru disamping makna sebelumnyayang sudah mapan oleh suatu kelompok sosial.
Menilik pada ini, maka perlu adanya pemaknaan atas puasa yang lebih progresif spesifik dan bersifat membangun tertanam kuat dalam benak masyarakat kita. Pilihan kata seperti puasa sebagai bulan pembangunan, bulan produktifitas, bulan pelayanan publik, bulan kreatifitas , dsb dapat menjadi alternatif. Jika melihat kondisi bangsa yang terus dihantam teror korupsi, menjadikan puasa sebagai momentum bulan anti-korupsi, mengapa tidak??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H