Resiko politik dari Pemerintah yang sedang manggung adalah memperoleh cercaan rakyat sekira nya terendus ada kebijakan yang ditengarai bakal memberi untung bagi partai politik ang tengah berkuasa. Begitu pun dengan kebijakan Pertamina yang di awal tahun politik ini telah menaikan harga gas elpiji 12 kilogram dengan persentase kenaikan yang cukup tinggi. Banyak pihak menengarai langkah Pertamina menaikan harga ini, ada hubungan nya dengan kepentingan politik partai tententu dalam rangka pencarian dana untuk kampanye. Tuduhan ini pasti mengarah ke partai politik yang sedang memegang tampuk kekuasaan.
Menginjak tahun politik ini, Prabowo Subianto kerap kali menyatakan, mesti nya Pemerintah sangat hati-hati dalam menelorkan sebuah kebijakan. Sebab, salah sedikit saja mengambil kebijakan, tudingan politisasi pasti akan mengemuka dengan sendiri nya. Untuk sesaat, Pemerintah bisa saja berkelit, naik nya harga gas elpiji 12 kilogram adalah tanggungjawab Pertamina. Bukan urusan Pemerintah. Pertanyaan bodoh nya apa beda nya Pemerintah dengan Pertamina ? Bukankah Pertamina masih tercatat sebagai BUMN yang diberi amanah untuk mengelola bahan tambang yang kita miliki ?
Jawaban nya : ya ! Pertamina adalah "perusahaan plat merah" yang memiliki tugas menyelenggarakan fungsi sosial sekaligus juga menjalankan fungsi bisnis nya. Pertamina bukan perusahaan yang dengan seenak jidat nya dapat melahirkan kebijakan. Setiap kebijakan yang diluncurkan, jelas bukan hanya sikap Direksi. Dalam suasana kekinian, para Direksi pasti akan meminta arahan dari Komisaris nya. Persoalan nya adalah apakah untuk menelorkan kebijakan menaikan harga gas elpiji 12 kilogram ini, Pemerintah tidak diajak berunding ? Apakah Pertamina tidak terlebih dahulu minta pandangan Pemerintah ? Apakah Pertamina memahami bahwa kebijakan yang ditempuh nya itu bakal membebani kehidupan rakyat ?
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan diatas, secara akal sehat memang sangat menarik untuk dijawab dengan serius. Apalagi BUMN nya sekaliber Pertamina yang selama ini dinilai kurang transparan dalam pengelolaan nya. Mereka yang dipercaya untuk menduduki Komisaris nya rata-rata para pejabat Pemerintah yang biasa nya mewakili beragam kepentingan. Hal semacam ini wajar terjadi, karena penunjukan seseorang menjadi Komisaris di BUMN, cenderung kurang mempertimbangkan alasan profesionalisme, namun lebih erat kaitan nya dengan perkoncoan dan kepentingan politik. Akibat nya, bila kita bedah setiap Komisaris yang ditugaskan di BUMN, sebagian besar adalah mereka yang memiliki hubungan semacam itu. Kalau pun ada yang dikatakan Komisaris Independen, ya mereka itu hanya sekedar pelengkap penderita saja.
Dari gambaran yang demikian, rasa nya sangat tidak masuk akal kalau kebijakan yang diambil Pertamina ini tanpa sepengetahuan Pemerintah. Apalagi Pertamina adalah BUMN yang kepemilikan nya dikuasai oleh Pemerintah. Jadi, kalau sampai Pemerintah tidak tahu menahu, maka kesan nya jadi lucu. Yang pasti, kalau Pemerintah sampai ngak diajak bicara atau tidak diminta pertimbangan atas kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram ini, berarti Pemerintah bisa disebut kecolongan atau teledor. Sebalik nya, kalau orang Pemerintah yang ditugaskan di Pertamina tahu, maka ini jelas ketidak-cermatan Pemerintah dalam membaca hati nurani rakyat. Ibarat nasi sudah jadi bubur, agak sulit dibuat solusi yang tanpa praduga.
Politisasi kebijakan, sebaik nya dihindari, terlebih-lebih dalam tahun politik. Kita ingin agar perjalanan pembangunan tetap berjalan mulus dan berada dalam track yang benar. Oleh karena itu, kalau saja sekarang terendus ada beberapa kebijakan yang dipolitisasi untuk kepentingan partai politik tertentu, maka menjadi tugas kita bersama untuk mengamankan nya. Kita buktikan bangsa kita adalah bangsa yang bebas kongkalikong dan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Yu, kita buktikan sama-sama. Salam !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H