Mohon tunggu...
Prawita Shafarina
Prawita Shafarina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Hubungan Internasional UNEJ

Saya adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember. Sangat menggemari ilmu politik dan buku-buku opini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekonomi Politik Internasional: Bagaimana IMF Menjadi Sarana Kepentingan Dunia Utara

28 Februari 2024   16:50 Diperbarui: 28 Februari 2024   16:59 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ekonomi politik internasional merupakan salah satu studi penting dalam masa ini. Thomas Oatlay dalam bukunya yang berujudul "International Political Economy" berpendapat bahwa Ekonomi Politik Internasional merupakan studi bagaimana kepentingan ekonomi dan proses politik yang saling berinteraksi kemudian dapat membentuk suatu kebijakan (HI UNIDA, 2021). Peristiwa yang berkaitan dengan Ekonomi politik internasional sering terjadi, terlebih pada saat ini dimana dunia sudah saling ketergantungan satu sama lain. Ekonomi Politik Internasinal juga mempelajari bagaimana negara-negara yang memiliki kepentingan nasional dapat mengendalikan pasar dengan kekuatannya. Dalam konteks IMF, ekonomi politik internasional dapat dikaji dengan mengkritisi bagaimana sistem dan struktur yang dijalankan lebih menguntungkan bagi negara-negara Barat maupun AS. 

IMF merupakan lembaga internasional yang berfungsi untuk memberikan bantuan berupa pinjaman dan mengawasi stabilitas nilai tukar tiap negara. International Monetary Fund (IMF) seharusnya menjadi penolong bagi negara-negara yang mengalami permasalahan ekonomi sesuai dengan fungsinya. Namun, apa yang terjadi seringkali justru menjatuhkan ekonomi negara peminjam semakin jauh kedalam jurang. Kritik terhadap IMF sudah sering disuarakan oleh para akademisi, pada tahun 2010 IMF pun melakukan reformasi dalam struktur lembaga untuk menjawab kritik yang disuarakan. Namun reformasi yang dilakukan juga tidak mengubah situasi dimana negara Selatan menjadi objek penindasan oleh negara-negara kaya. Berikut adalah kritikan yang sering dilayangkan kepada IMF.

Struktur Lembaga

Struktur IMF terdiri dari Dewan Gubernur, Dewan Eksekutif, IMFC, dan Staff. Dari struktur tersebut, Dewan Eksekutif lah yang biasanya bermasalah. Dewan Eksekutif dalam IMF sendiri memiliki tugas untuk meninjau kebijakan ekonomi nasional masing-masing negara anggota, menyetujui pendanaan IMF untuk membantu mengatasi masalah neraca pembayaran, dan mengawasi upaya pengembangan kapasitas IMF (IMF, 2023). Namun, masalahnya adalah dalam meninjau dan mengambil keputusan di dewan eksekutif, negara dengan pemegang kuota terbanyak mendapat hak suara yang lebih besar. Dalam dewan eksekutif IMF, terdapat 24 anggota dimana negara dengan perekonomian besar biasanya memiliki dewan eksekutifnya sendiri, seperti Amerika, Jepang, Inggris, Jerman, Prancis, dan Arab Saudi yang memegang 44% suara. Sedangkan beberapa negara yang dikelompokkan menjadi daerah pemilihan biasanya memiliki dewan eksekutif yang mewakili kelompok negaranya (World Rainforest Movement, 2005). Sehingga dalam pengambilan keputusan, dewan eksekutif IMF rawan untuk di intervensi oleh negara pemegang hak suara terbanyak.

Sistem Kuota

IMF memiliki sistem dimana negara dengan sumbangan terbanyak maka akan mendapatkan kuota yang lebih banyak juga. Dengan jumlah kuota yang lebih banyak, suatu negara dapat memiliki hak suara yang lebih besar, dimana hak suara ini dapat digunakan untuk mekanisme peminjaman, dan alokasi Hak Penarikan Khusus (Boston University, 1969). Dan yang menjadi masalah adalah negara-negara kaya tentu akan mendominasi hak suara di IMF, dan mereka seringkali memanfaatkan hak suaranya untuk kepentingan nasional mereka sendiri. Sedangkan negara-negara miskin suaranya cenderung ter-marjinalisasikan.

Structural Adjustment Programs

Pada saat IMF dan Bank Dunia pertama kali dibentuk, Amerika Serikat berkeyakinan bahwa dua lembaga ini harus memainkan peran signifikan dalam manajemen hutang dan kebijakan pertumbuhan global. John Williamson yang merupakan ekonom dari Inggris yang setelahnya bergabung dengan IMF kemudian mengusulkan Konsensus Washington sebagai pedoman dalam pembuatan kebijakan IMF (Hurt, 2024). Konsensus Washington kemudian di konkritkan dengan Structural Adjustment Programs yang telah menuai kontroversi dikarenakan sarat akan kepentingan politik negara tertentu, dan justru semakin menyengsarakan negara-negara Selatan. 

Tahapan dalam Konsensus Washington adalah mengurangi pengeluaran pemerintah, suku bunga dinaikkan untuk menahan inflasi, pencabutan pembatasan ekspor-impor, menghapuskan subsidi dan program privatisasi. Awalnya Konsensus Washington berkeyakinan bahwa negara berkembang harus mengadopsi strategi pembangunan yang didorong oleh pasar sehingga perekonomian akan tumbuh (Hurt, 2024). Namun dalam praktiknya, Konsensus Washington yang diadaptasi menjadi SAP banyak mengalami kegagalan.

Telah disinggung sebelumnya bahwa Dewan Eksekutif lah yang bertugas untuk menyetujui pinjaman, SAP sendiri merupakan persyaratan dimana IMF akan menyuruh negara peminjam untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah dirancang agar negara peminjam dapat mengajukan pinjaman baru (Halton, 2021). Perumusan kebijakan dan persetujuan kebijakan dilakukan oleh Dewan Eksekutif, dimana negara dengan kuota terbanyak mendapat hak suara terbesar. Hal inilah yang dapat dimanfaatkan oleh negara dengan hak suara besar untuk menjalankan kepentingan nasionalnya lewat kebijakan SAP IMF. 

Beberapa kasus pernah dialami oleh beberapa negara yang mengalami krisis ekonomi. SAP dinilai terlalu men-generalisir solusi kebijakan, dimana kondisi perekonomian suatu negara biasanya berbeda-beda. Hal inilah yang biasanya rawan terjadi mismanagement sehingga kebijakan SAP hanya memperburuk krisis yang sudah ada. Contohnya seperti yang terjadi di Jamaika, sebelumnya banyak sekali perusahaan-perusahaan asing yang beroprasi di Jamaika dinasionalisasikan oleh pemerintah, saat itu sektor perusahaan menyumbang 21% GDP Jamaika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun