Fenomena banyaknya siswa SMP yang kekurangan pengetahuan umum di tengah penerapan Kurikulum Merdeka menjadi sorotan serius. Viral di media sosial, eksperimen sederhana menunjukkan bahwa banyak siswa yang kesulitan menjawab pertanyaan dasar tentang sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan. Lantas, apakah Kurikulum Merdeka yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, justru menciptakan generasi yang minim pengetahuan umum?
Beberapa pihak menilai bahwa Kurikulum Merdeka terlalu menekankan pada keterampilan berpikir kritis dan kreatif, sehingga mengorbankan penguasaan materi dasar.
Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, bahkan secara terang-terangan mengkritik kriteria ini, dengan menyebut menyebut "merdeka apanya, belajar juga tidak."
Kritik serupa juga datang dari para ahli pendidikan. Martadi, Wakil Rektor IV Universitas Negeri Surabaya, menyatakan bahwa minimnya pengetahuan umum siswa bisa jadi akibat dari kurangnya pemahaman mendalam terhadap materi pelajaran.
Data empiris mendukung anggapan bahwa pengetahuan umum siswa Indonesia memang memprihatinkan. Survei PISA (Programme for International Student Assessment) secara konsisten menunjukkan bahwa prestasi siswa Indonesia dalam literasi baca, matematika, dan sains berada di bawah rata-rata negara OECD. HASIL penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 baru-baru ini diumumkan pada 5 Desember 2023, dan Indonesia berada di peringkat 68 dengan skor; matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Hal ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam sistem pendidikan kita.
Teori konstruktivisme Piaget, yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh individu melalui interaksi dengan lingkungan, relevan untuk memahami fenomena ini. Kurikulum Merdeka yang menekankan pada pembelajaran aktif dan berpusat pada siswa sejalan dengan teori ini. Namun jika tidak diimbangi dengan pemberian materi dasar yang cukup, siswa akan kesulitan membangun pengetahuan yang komprehensif.
Kemungkinan terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap minimalnya pengetahuan umum siswa di tengah penerapan Kurikulum Merdeka, seperti fokus yang berlebihan pada keterampilan berpikir kritis dan kreatif, yang mengabaikan penguasaan materi dasar yang penting sebagai fondasi. Tanpa pengawasan yang ketat, guru mungkin lebih leluasa dalam memilih materi pelajaran, yang berpotensi mengabaikan materi-materi penting. Selain itu, kualitas guru juga menjadi faktor penting, karena tidak semua guru siap menerapkan Kurikulum Merdeka. Kurangnya pelatihan dan pengembangan profesional dapat menghambat efektivitas pembelajaran. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menunjukkan bahwa hanya 30% sekolah yang telah mengintegrasikan metode pembelajaran inovatif ini.
Solusi Mengatasi Minimnya Pengetahuan Umum Siswa
Untuk mengatasi permasalahan minimnya pengetahuan umum siswa di tengah implementasi Kurikulum Merdeka, dibutuhkan langkah-langkah komprehensif. Pertama, evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum perlu dilakukan, terutama dalam hal porsi materi pengetahuan umum yang harus dikuasai siswa. Kedua, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan intensif akan sangat membantu dalam menyampaikan materi pengetahuan umum secara efektif dan menarik. Ketiga, pengayaan materi pembelajaran dengan mengintegrasikan pengetahuan umum ke dalam berbagai mata pelajaran akan memberikan pemahaman yang lebih holistik bagi siswa. Selain itu, pemanfaatan teknologi dapat membuka akses yang lebih luas terhadap informasi dan sumber belajar berkualitas. Penguatan budaya membaca sejak dini juga penting untuk memperluas wawasan siswa. Terakhir, kolaborasi dengan masyarakat, terutama para ahli di berbagai bidang, dapat memperkaya proses pembelajaran.
Perbandingan dengan Sistem Pendidikan Negara Lain