Menyongsong hari raya idul adha pasti lagi ramai-ramainya acara hajatan salah satunya pernikahan. Yang saya ketahui pernikahan adalah pelaksanaan acara sunnah nabi, dilakukan sekali seumur hidup sebagai bentuk kesetiaan menjalin hubungan sehidup semati, diawali dengan qobul menamatkan janji suci antara kaum perempuan dan laki-laki. Pelaksanaan sebuah akad adalah hal yang paling ditunggu oleh kedua orang tua, pihak keluarga dan masyarakat sekitar. Ada yang melaksanakan akad secara sederhana yang penting sah dimata Semesta dan saksinya, adapula yang memang berpendapat acara ini harus digerai semeriah mungkin, karena pernikahan adalah bentuk hajatan kebahagiaan bagi kedua keluarga.Â
Beberapa kali yang masih kerap saya temui adalah mengadakan acara disebuah pedesaan masih beranggapan bahwa acara ini dilaksanakan harus ada imbalannya. Dalam contoh, kita mengundang beberapa tamu, dimulai dari kerabat dekat sampai tetangga bahkan orang yang baru kita kenal. Mereka mengadakan acara pernikahan dengan mengundang semua rekan yang pernah dikenal dan beranggapan semakin banyak yang diundang maka semakin banyak amplop yang akan mereka dapatkan. Memang hal utama yang mereka nyatakan tidak seperti itu, acara pernikahan adalah hajatan kebahagiaan yang baiknya disebarkan dan sah-sah saja diadakan secara meriah. Namun masih banyak orang khususnya di beberapa desa yang mengambil stigma siapapun yang pernah dikenal mau dia jauh atau dekat yang penting diundang. Tujuannya memenuhi amplop hajatan untuk membayar serangkaian dekorasi dan pengeluaran yang mereka sudah sajikan pada para tamu undangan.Â
Bukankah pernikahan adalah bentuk rasa syukur pada Tuhan untuk berbagi kebahagiaan? Bukankah pernikahan adalah hal yang sakral tanpa harus memikirkan berapa amplop yang akan diberikan oleh tamu undangan?Â
Lantas mengapa masih banyak manusia yang menganggap dan mencatat disebuah buku bahwa si A dulu saat aku menikah dengan suami memberi amplop sebesar Rp.20.000, jadi sekarang si A sedang memiliki acara anaknya nikah. Maka aku akan mengembalikan sebagaimana si A sudah berikan amplop beberapa tahun silam sebesar nominal tersebut. Belum lagi si A tahu bahwa aku memiliki seorang putri yang belum menikah, dia tidak mengenal putriku, karena kita tetangga tapi jauh tetap putriku diundang juga agar menghadiri acara tersebut. Apakah anggapan dari seseorang kita hanya menginginkan sebuah rupiah? Jelas pasti semua orang beranggapan seperti itu.Â
Seseorang yang tidak dikenal hanya diketahui dan mengenal orang tuanya langsung diberi undangan guna memperbanyak amplop yang masuk saat acara berlangsung. Hal ini yang masih menjadi adat di beberapa desa tempat tinggal saya. Sebenarnya itu adalah baik, itu adalah hal bahagia yang memang harus digelorakan pada sekitar, namun adakah yang beranggapan hal tersebut hanya ingin menambah pemasukan? Tulisan ini adalah sebuah opini perspektif penulis, mari kita bayangkan kita menghadiri sebuah acara apapun tanpa mengenal dekat dari pengundang yang bersangkutan. Rasanya datang, senyum kanan-kiri, makan, bersalaman lalu pulang. Padahal sebuah acara yang sakral adalah momen sekali seumur hidup , atau momen bahagia bersama yang terdekat tanpa harus membebani siapa saja yang datang.Â
Bukan karena opini penulis terbebani, diluar sana juga banyak masyarakat yang merasa terbebani dengan stigma seperti ini. Stigma yang mana ketika dulu kita memberi gula 2kg maka saat ini saat kita diundang oleh seorang pemberi gula harus dibalas dengan gula 2kg juga. Kalau si pemberi saat ini sedang kesusahan bagaimana? Atau kita tahu bukan setiap tahunnya pergerakan ekonomi semakin bertambah, nilai rupiah semakin tinggi. Rasanya memberi uang Rp.5000 rupiah juga kurang pantas jika kita samakan tahun 1995 dengan 2021 saat ini. Bukankah hal seperti itu adalah bentuk kemanusiaan, dilandasi keikhlasan dan kesadaran untuk diri sendiri? Jadi kita sebagai manusia harusnya lebih paham, jika mungkin mengadakan acara hajatan entah itu pernikahan atau khitanan atau yang lainnya baiknya dilandasi dengan suatu rasa syukur dan bentuk kebahagiaan tanpa perlu berpikir akan dibalas dengan nominal berapa. Dan sebagai yang diundang perlunya memiliki tingkat kesadaran sistem masa lampau tanpa perlu diterapkan pada zaman globalisasi ini.Â
Mengundang seseorang seperlunya, siapa yang lebih dekat mungkin lebih memiliki makna saat acara hajatan berlangsung. Kebahagiaan memang perlu kita umumkan tanpa harus membebani siapa tamu yang datang. Kebahagiaan memang perlu kita gelorakan tanpa berpikir mendapat berapa amplop dari tamu undangan. Karena jujur penulis sendiri sering merasa kaku saat menghadiri acara pada orang yang tidak dikenal, mengapa datang? Karena bentuk sebuah toleransi di sebuah adat masyarakat desa, yang mana baiknya perlu dihapus beberapa stigma dari adat dahulu kala. Tujuannya agar tidak ada yang terbebani, dan membebani siapa yang datang pada acara kebahagiaan kita.Â
Sekian, tulisan ini hanya sebuah opini dari pemikiran penulis, jika kamu tidak setuju kita kembalikan pada diri kita yang menjalani tanpa saling menyakiti.
Enjoy !!!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H