Keinginan untuk hidup yang biasa saja, sekilas tampak aneh. Tidak lagi mengejar materi berlebihan dan secukupnya.
Suatu hari berbincang dengan anak sulung saya. Mengapa hidup kita ditakdirkan biasa saja? Mengapa ada orang yang hidupnya terlihat gemerlap: kaya dan berkelimpahan, karir bagus, pekerjaan di perusahan yang baik dan lainnya. Tapi disisi lain, ada orang-orang yang tidak tercapai impiannya dan akhirnya menjadi orang biasa?
Orang biasa-biasa saja adalah orang kebanyakan. Ketika Prabowo-Gibran mengangkat 112 orang pejabat yang bertugas di kabinetnya, mereka tentu bukan orang-orang biasa. Mereka orang pilihan, orang-orang luar biasa.
Demikian juga kawan-kawan yang saat ini berkarir bagus di berbagai instansi pemerintah, swasta dan BUMN, menjadi pejabat dan lainnya, mereka tentu juga bukan orang biasa.
Apa sebenarnya orang biasa? Alain de Botton pendiri platform edukasi, School of Life Global, membagikan dua cara hidup biasa saja.Â
Pertama, memahami arti kata cukup. Hidup biasa saja, menurutnya bukanlah sebuah kehidupan yang memprihatinkan. Malah mengajarkan kita cara menghargai karena kita paham arti cukup. Kedua, menurutnya, orang biasa adalah mereka yang melakukan sesuatu atas dasar diri sendiri. Tidak karena ekspektasi orang lain. (binus.ac.id)
HIDUP ORANG KEBANYAKAN
Hidup pada dasarnya sebuah pilihan. Memilih jadi orang biasa-biasa saja sebenarnya juga tak salah. Entah itu karena kesengajaan atau memang ditakdirkan oleh-Nya menjadi orang biasa.Â
Orang biasa ini tentu saja orang kebanyakan yang ada di dunia. Mereka menjalani hidup dengan secukupnya, seadanya bahkan mungkin sedikit sekali berekspektasi soal hidup ke depan yang lebih baik.
Seorang kerabat yang tadinya menghabiskan hidupnya di Jakarta dan mengejar karirnya hingga sukses, tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri masa pengejaran karirnya tersebut. Walau bisa dikatakan sedang berada di puncak karir, kerabat tersebut memutuskan pulang kampung saja memboyong keluarganya.
Bahkan di kampung, mereka memulai kehidupan "baru" dengan mulai hidup dengan sederhana saja. Menanam sayur-sayuran di belakang rumah yang mereka beli di kampung setelah menjual rumah di Jakarta.