Sudah sekitar tiga minggu, ilung (eceng gondok) membanjiri sungai di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sejauh mata memandang bukan lagi aura ketenangan dan keindahan sungai yang terlihat tapi hamparan eceng gondok yang bila digabungkan bisa jadi serasa berada di lapangan bola, saking menghijaunya.
Eceng gondok dikenal warga Warga Banjarmasin dan Kalimantan Selatan pada umumnya dengan sebutan ilung. Namanya di berbagai daerah di Indonesia memang berbeda-beda. Di  Palembang orang menyebutnya Kelipuk, di Lampung disebut dengan Ringgak dan di  Manado , disebut orang dengan Tumpe.
Mengutip dari Wikipedia, Eceng gondok ( Pontederia crassipes atau Eichornia crassipes) , sebagaimana sudah banyak diketahui orang merupakan tumbuhan air yang mengapung dengan tinggi  0,4--0,8 meter.Â
Dikenal pula sebagai tumbuhan tanpa batang, daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung.Â
Kemudian, permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau,berakar serabut.
Karena memang tumbuhan air, sebenarnya wajar-wajar saja kehadiran di sungai. Termasuk sungai-sungai di Banjarmasin. Namun, dengan kecepatan tumbuh yang tinggi, tanaman ini dianggap sebagai  gulma. Apalagi eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya.
Populasi yang terlalu berlebihan,seperti yang terlihat di sungai Banjarmasin, tentu sangat mengganggu. Bukan hanya mengganggu pemandangan, tapi juga mengganggu ekosistem yang ada di air dan tentu mengganggu moda transportasi air, yang berlalu-lalang sepanjang sungai.
Peristiwa  Eutrofikasi
Apa sebenarnya penyebab eceng gondok bertumbuh sedemikian dahsyat tersebut? Peristiwa ini dikenal sebagai eutrofikasi. Eutrofikasi bisa dikategorikan sebagai masalah lingkungan yang serius.Â