Memulai tulisan ini dengan mengingat-ngingat terlebih dahulu, masa-masa ketika saya menulis skripsi sebagai syarat kelulusan untuk meraih gelar sarjana. Hmm..ternyata sudah sangat lama.
Iya benar, saya menulis skripsi ternyata sudah lebih dua puluh tahun yang lalu saat menyelesaikan kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Hingga saat inipun skripsi saya masih ada di deretan rak buku walau jujur,belum pernah saya buka-buka lagi hehe..
Saat itu untuk bimbingan menulis skripsi dipilihkan sama kampus siapa dosen pembimbingnya.Walaupun kemudian hari, UII ada kebijakan bisa memilih dosen pembimbing bahkan bisa memilih siapa dosen buat sebuah mata kuliah. Singkatnya, ternyata saya dapat dosen pembimbimbing yang bisa dibilang kurang populer di kalangan mahasiswa. Penyebabnya terkenal sibuk dan susah ditemui.Â
 Dan ternyata benar adanya mitos tersebut. Namun saya tetap optimis bisa saat itu walau kadang hanya meletakkan naskah skripsi di meja beliuu untuk kemudian ada berbagai coretannya. Jarang-jarang bertemu dan minim penjelasan. Belum setahun, skripsi selesai dan bisa ikut sidang. Sukses kah hasil skripsi saya? Nggak hahaha.Â
Ketika ujian, saya ternyata terbata-bata menjawab walau merasa sudah menguasai isi seluruh skripsi. Dan alhamdulillah tetap dapat nilai B.
Jujur  sih saat itu saya cukup "hancur". Merasa sudah mengerjakan semuanya sepenuh hati tapi hasilnya tak memuaskan. Apalagi skripsi ini 6 SKS. Yang tentu saja berpengaruh banyak kepada Indeks prestasi Kumulatif (IPK) . tapi ya sudahlah.Â
Siapapun dari kita yang pernah mengerjakan skripsi,pasti mempunyai kenangan masing-masing tentang bagaimana rumitnya mengerjakan skripsi.Â
Ada yang terkendala soal dosen seperti saya tadi, ada yang mempunyai masalah dalam penelitian, bahkan ada yang bermasalah dengan penulisan skripsi itu sendiri. Sehingga, bisa nggak lulus bertahun-tahun, akibat mata kuliah skripsi selalu diambil tapi tidak pernah serius dikerjakan. Wah, salah siapa kalau begini?
Mungkin beberapa dari kita juga punya kenangan soal skripsi, khususnya tentang halaman persembahan atau di bagian kata pengantar skripsi. Yang kemudian jadi mitos di kemudian hari bahwa jangan sekali-kali menulis PW alias pendamping wisuda dalam skripsi, karena kebanyakan tidak jadi berjodoh hehehehe. Ada diantara pembaca yang mengalami juga?
KETIKA SKRIPSI HANYA JADI PILIHAN
Sebenarnya skripsi yang bisa digantikan dengan berbagai proyek lain, sudah banyak dilakukan di berbagai kampus di Indonesia.Jadi mahasiswa yang ingin lulus S1 ataupun D4 tak selalu wajib menulis skripsi buat syarat kelulusan. Namun kebijakan ini tidak banyak dketahui orang sehingga banyak orang yangberanggapan,ya  buat lulus S1 harus menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi.
Makanya, ketika Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim mengatakan bahwa pemerintah  memindahkan hak untuk membuat skripsi atau tidak ke masing-masing kampus, sebenarnya bukan hal yang terllau baru.Â
Namun kalau dulu hanya kebijakan masing-masing kampus, saat ini sudah akan resmi di-release oleh pemerintah peraturannya. Intinya memang tidak ada penghapusan skripsi oleh pemerintah tetapi hanya diserahkan kepada kebijakan masing-masing kampus saja.
Nadiem  mengatakan pemerintah memberikan kemerdekaan untuk masing-masing perguruan tinggi, fakultas hingga prodi, untuk memikirkan sendiri bagaimana mereka merancang status kelulusan mahasiswanya. Ia mengatakan, jika ada perguruan tinggi yang merasa memang masih perlu skripsi, maka itu adalah hak mereka. (kompas.com, 30/8). Intinya tentu skripsi tidak wajib lagi.
Pertanyaannya, seberapa penting sebenarnya skripsi? Benarkah skripsi tidak terlalu penting sehingga sifatnya opsional saja? Apalagi banyak yang mengaitkan skripsi dengan para joki skripsi yang katanya banyak di sekitar kita. Padahal mereka nggak sadar, bila skripsi tidak ada lagi dan berganti tugas lain maka si joki skripsi ini akan bertransformasi menjadi joki dalam bentuk lain. Misalnya joki tugas proyek akhir dengan nama apapun.
Menurut saya, ada sebenarnya beberapa keunggulan bila kampus tetap memberikan skripsi sebagai salah satu opsi bagi mahasiwa nya. Walaupun juga mungkin tetap ada pilihan berupa tugas akhir yang sesuai dengan bidang keilmuan atau minat mahasiswa. Tugas akhir yang disebut-sebut berupa prototipe, proyek atau berbagai penelitian lainnya bagi mahasiswanya.
#Melatih identifikasi masalah dan problem solving juga
Mengerjakan skripsi tentu harus dimulai dari identifikasi masalah apa yang pengen diangkat sampai penyelesaiannya. pemikiran yang menyeluruh sangat dibutuhkan
#Skripsi melatih berpikir kritis
Harus diakui skripsi melatih mereka berpikir kritis apalagi di bab akhir.Dimana harus ada analisa hasil penelitian kemudian pengambilan kesimpulan. Bila tidak memaksa diri berpikir kritis bagaimana mungkin tercipta kesimpulan yang tepat dari sejumlah penelitian.
#Skripsi memang cocok buat pendidikan S1
Karena ketika memutuskan kuliah S1 memang cenderung belajar teori. Sedangkan buat anak vokasi yang membutuhkan praktik lebih banyak ya mungkin skripsi memang nggak cocok kan?
#Melatih mental tak putus asa
Dengan berbagai kendala yang dihadapi, skripsi pastinya juga melatih mental untuk tetap kuat dan tak mudah menyerah. Ini penting kelak di sunia kerjadan dunia kehidupan selanjutnya.
#Skripsi akan melatih menulis dan berpikir runtut
Banyak sekali tentunya mahasiswa yang malas sekali menulis apalagi sepanjang menulis skripsi. Padahal skripsi melatih berpikir runtut dan teratur juga sebenarnya. Skripsi ini melatih mereka identifikasi masalah sampai menyimpulkan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dan tentu harus runtut. Btw, menulis yang runtut juga membuktikan cara berpikir yang runtut, modal yang penting banget buat menatap masa depan yang tentu banyak cobaannya kelak
Semoga bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H