Mohon tunggu...
ENNY Soepardjono
ENNY Soepardjono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang senior citizen yang mencintai hidup dan mencoba bersyukur atas kehidupan itu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kenangan Saat Merayakan Tahun Baru Imlek

18 Februari 2015   15:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:57 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424222103202843103

[caption id="attachment_351732" align="aligncenter" width="364" caption="Sumber : lanoels.com"][/caption]

Imlek merupakan hari yang dirayakan sebagian warga Tionghoa di dunia secara meriah. Mengapa saya mengatakan “sebagian”? Karena walau pun saya memilki darah keturunan Tionghoa, namun di keluarga saya, dirayakan  ala kadarnya saja. Malah ada suatu masa di bawah pemerintahan Orde Baru, kami tidak merayakannya sama sekali, namun hanya melakukan sembahyang kepada leluhur di rumah salah satu anggota keluarga yang dituakan, baik darikeluarga ibu mau pun Ayah saya.

Banyak makanan tersaji di meja sembahyang, antara lain : ayam utuh, kue, minuman teh yang disajikan dalam cangkir kecil-kecil, dll. Dengan dupa, kami berdoa di depan sajian makanan tersebut. Saat masih kecil, Ibu akan membisikkan doa apa yang mesti diucapkan, seperti “minta cepat gede, pintar, sehat, ya”.. Terus kata Ibu, makanan-makanan tersebut merupakan kesukaan para leluhur.

Keluarga orangtua saya juga selalu melakukan kunjungan ke keluarga saudara-saudara yang lebih tua daripada orangtua saya. Biasanya kunjungan silaturahmi dilakukan dalam 2 hari, dengan berkeliling dari rumah ke rumah.

Yang menjadi masalah bagi kami saat masih kecil, adalah kami tidak tahu/lupa bagaimana harus memanggil Nyonya/Tuan rumah beserta keluarganya. Kalau hanya  Mak (nenek) / Engkong (kakek), atau Tante/Oom saja, mungkin masalahnya gampang, namun untuk keluarga-keluarga lainnya,  hal itu menjadi masalah bagi kami.

Contoh   :

Keluarga dari Pihak Ibu :

Kakak wanita Ibu : “Wak”, suaminya “Mpek” (berlaku juga untuk kakak sepupu wanita Ibu + suaminya)

Kakak/adik lelaki Ibu : “Engku”, istrinya “Engkim” (berlaku juga untuk kakak sepupu lelaki Ibu + istrinya)

Adik wanita Ibu,  “Ie”, suaminya “Engku”

Adik lelaki Nenek  :  “Kukong”, istrinya  “Ipo”

Keluarga dari Pihak Ayah :

Kakak /adik wanita Ayah : “Ko”, suaminya “Mpek” (berlaku juga untuk kakak sepupu wanita Ayah + suaminya)

Kakak lelaki Ayah : “Mpek”, istrinya “Wak”

Adik lelaki Ayah : “Encik”, istrinya “Encim”

Adik lelaki Kakek  : dipanggil “Cekong”, istrinya “Cimpo”

Kakak dari Nenek, dipanggil “Mak Twai”

Dst.

(Catatan : Panggilan ini yang dipakai oleh keluarga orangtua saya, mungkin juga tidak terlalu tepat/benar)

Bingung, bukan ? Belum lagi, saudara-saudara lain yang seumuran atau bahkan lebih muda , yang jarang saya temui,  namun dari tingkatan persaudaraan, dia / mereka lebih tinggi, saya harus menyapa dengan panggilan yang dituakan tersebut. Jadi,  bisa saja saya  memanggil seorang bayi dengan “Ie” kalau tingkatnya adalah adik wanita dari Ibu saya.

Katanya, ini masih panggilan sederhana, karena sebenarnya, panggilan penghormatan tersebut, juga tergantung urutan dalam keluarga, contoh : anak tertua mendapat panggilan berbeda dari anak kedua, dst, namun saya tidak paham tentang hal ini. Jadi, misalnya panggilan anak pertama di keluarga Nenek, berbeda dengan anak kedua, ketiga, dst.

Pengalaman Imlek lain yang berkesan bagi saya, adalah saat bekerja di suatu bank di salah satu kota di Sumatera. Walau pun saat itu Orde Baru masih berkuasa, namun suasana Imlek begitu terasa di keluarga-keluarga Tionghoa di kota tersebut. Sebagai petugas bank, beberapa teman dan saya selalu mengunjungi nasabah-nasabah kami yang berdarah Tionghoa, dan kira-kira ada berbelas rumah yang kami kunjungi sejak pagi. Pastinya si  Nyonya/Tuan rumah akan memberikan sajian Imlek, dan dari rumah ke rumah, biasanya sajiannya hampir sama,  lapis legit dan kue nastar. Saya masih bisa menikmati kue-kue tersebut, sampai rumah ketiga, namun begitu harus memakan kue yang sama di rumah keluarga berikutnya, selera makan saya langsung drop dan sudah tidak mampu lagi menelan kue yang enak tersebut. Namun untuk menghormati si Nyonya/Tuan rumah, mau tidak mau saya tetap harus memakan sajian tersebut. Bagaimana caranya ?

Saya akan menunggu minuman disajikan, dan kemudian begitu kue masuk ke mulut, saya langsung menegak minuman sehingga saya tidak bisa merasakan kue tersebut lagi. Alhasil, perut kembung dan kolesterol meningkat, namun Nyonya/Tuah rumah senang dan tetap menjadi nasabah bank kami.

Demikian sekelumit kisah-kisah berkesan selama Imlek, dan dalam kesempatan ini, kepada yang merayakannya, ijinkan saya mengucapkan “Gong Xie Fa Chai”, semoga tahun baru membawa berkah kesehatan, rejeki, kebahagiaan bagi kita semua..


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun