Mungkin Anda pernah juga mengalami seperti yang kadang saya alami, yaitu saat naik taksi. Sebagai pengguna berbagai macam taksi di Jakarta dan sekitarnya, saat akan membayar, sering saya mendapat jawaban seperti di atas.
Masalah tersebut timbul saat saya akan membayar tanpa uang pas, misalnya, tagihan argo sebesar Rp 36.000,-. Biasanya saya bulatkan menjadi Rp 40.000,- sehingga saat membayar dengan lembaran Rp 50.000,-, saya tidak menuntut pengembalian sebesar Rp 14.000,-, namun saya hanya meminta Rp 10.000,-, dan selisihnya Rp 4.000,- sebagai tip.
Tentunya saya tidak mungkin mengetahui apakah memang si supir samasekali tidak memiliki uang pengembalian, atau tidak. Kejujuran menjadi hal utama, jika sudah demikian, maka tentunya saya “merelakan” sisa Rp 14.000,- sebagai tip untuk si supir.
Sebenarnya uang sisa pengembalian yang tidak dikembalikan bukan monopoli semata dari kasus seperti di atas, namun juga pernah saya alami di suatu kantor pemerintah, di mana saya harus membayar sebesar Rp 14.000,- dan dengan uang Rp 50.000,-, si pegawai mengatakan bahwa hanya ada uang Rp 20.000,- sebagai pengembalian. Daripada saya harus membatalkan jasa yang saya minta, saya merelakan selisihnya untuk si staf.
Di supermarket tertentu, uang pengembalian kadang berupa permen, yang acapkali saya abaikan. Entahlah, apakah penyebabnya karena pemerintah tidak mencetak mata uang Rupiah recehan yang cukup, atau memang supermarket tersebut yang tidak mau menyediakan cukup uang recehan untuk pengembalian.
Walau pun sebenarnya sebagai konsumen, kita berhak menuntut hak kita, namun nampaknya hal tersebut sulit dilakukan, jadi jalan keluar untuk saya, selain sabar, juga menyediakan uang kecil yang cukup agar bisa membayar dengan uang pas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H