Akhirnya bertemu juga dengan teman-teman peserta Kompasianer Penggila Kuliner alias KPK hari itu, Sabtu, 29 Mei 2017. Setelah bertanya dua kali kepada petugas keamanan yang berbeda, saya kemudian melihat sebuah gapura bertuliskan “Kampoeng Tempo Doeloe”, tempat para KPK menyicip-nyicip makanan, salah satu acara di acara Jakarta Fashion & Food Festival 2017 (JFFF).
Kami duduk di depan panggung berlatar Kampoeng Tempo Doeloe. Latar berlukiskan sebuah kampung nan damai di petang hari dengan aktivitas masing-masing. Beberapa orang dewasa kembali dari ladang beserta hasil panen, para penjual menjajakan aneka jajanan, turut juga anak-anak riang gembira sedang bermain layang-layang berlari melawan arus angin menaikkan layang-layang mereka. Disana pula gerombolan keluarga ayam berkeliaran menghindari langkah-langkah gesit mereka yang tak ingin melewatkan hembusan angin sore itu. Terik matahari di lokasi penggrebekan, tempat kami berada adalah suasana yang tepat sekali bermain layang-layang.
Kampoeng Tempoe Doleo, Terkenang Akan Musim Layang-Layang
Acara JFFF hingga sekarang sudah 14 kali digelar sejak tahun 2014. Bertempat di Summarecon Mall Kelapa Gading, Kampoeng Tempo Doeloe (KTD) merupakan salah satu dari berbagai kegiatan yang diadakan. Tujuanya mempertahankan industri kuliner Nusantara. Lainnya Fashion Village, Fashion Festival, Jakarta Wine & Cheese Run, juga Wine & Cheese Expo. Kampung Layang-Layang menjadi tema pilihan dekorasi KTD. Berkunjung kesana membuat diri seolah berada di musim layang-layang.
Layang-layang adalah permainan tradisional anak-anak. Ngomong-ngomong, pernah main layang-layang? Kalau saya iya, ketika kecil. Setiap tahun sekitar Juni hingga Agustus langit kampung kami berhiaskan layang-layang. Musim saat langit berubah menjadi biru oleh terik matahari. Angin bertiup kencang memampukan layang-layang dapat terbang.
Tidak pernah berhasil menerbangkan layang-layang, saya juga anak perempuan lainnya biasanya berperan sebagai pengawal sama pemandu sorak aja. Betapa girangnya menyaksikan beberapa layang-layang berada di ketinggian. Betapa hebatnya juga teman-teman laki-laki bisa menaikkan layang-layang, dengan peka pula menjaga ketinggian layang-layang stabil supaya tidak kandas.
Bermain layang-layang sangat kami nikmati. Sesekali kami juga ikut menyaksikan mereka mulai dari proses memotong, mengukur, menimbang rangka badan layang-layang hingga menghiasi badan dan mencarikan bekas plastik untuk dijadikan ekor serta menggulung tali di akhir permainan.
Acara tersebut merupakan hasil kerjasama Summarecon dan Pemerintah Pov. DKI melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta didukung Kementerian Pariwisata RI dan Badan Ekonomi kreatif RI. KTD sendiri menghadirkan aneka macam makanan kuliner nusantara. Ada sebanyak 101 peserta UKM dan pengusaha kuliner terdiri dari gerobak dan booth bisa dikunjungi.
Tak hanya itu, terdapat juga berbagai acara acara menarik setiap hari sejak 7 April hingga 7 Mei. Masih seputar kegiatan khas nusantara. Ada acara humanoid, tari tradisional nusantara, etnik kolaborasi nusantara, parade layang-layang, bermain angklung & layang-layang malam, berbagai workshop seperti membuat layang-layang, membuat batik, daur ulang, dan membuat lampion.
Setelah peserta hampir hadir semua, kami pun dipersilahkan berkeliling di seluruh area. Disana, berbagai jenis makanan dijajakan di gerobak dan booth berjejer rapi. Sebelumnya wefie ria dulu di panggung KTD.
Undangan para pemilik stand dan gerobak begitu ramah ingin rasanya mencoba banyak makanan. Aroma olahan berbagai makanan pun begitu menggoda membuat semakin ngiler, tak sabar ingin mencoba. Ada sebanyak 200 lebih menu pilihan yang dapat dinikmati kelezatannya. Dari sekian pilihan, saya membulatkan hati memesan mie godog.
Pulang sebelum memanjakan lidah dengan mie tentu belum klop dong. Kenapa? Karena salah satu tujuan food festival tahun ini ialah melestarikan “Aneka Mie Nusantara”. Bahkan, disini pun ada acara “Kompetisi Pemenang Mie Warisan Nusantara” dari tiga pemilik UKM di kawasan Jabodetabek.
Sedikit informasi, godog artinya rebus. Mie godog berasal dari pulau Jawa, khususnya Jogja. Sekilas melihat mie dalam wadah kertas di hadapan saya dan antrian pembeli, meyakinkan saya tidak salah pilih.
Mie dalam wadah kertas di hadapan saya berbahan dasar mie kuning basah dan warna-warni sayuran dari wortel, sawi, timun, kol, cabai rawit. Berkuah kental, bertabur bawang goreng serta irisan tebal seledri menambah rasa gurih di lidah sejak suapan pertama. Warna-warni dari sayuran membuat diri ingin segera mencicipi. Tapi tunggu dulu... Saya harus jepret sebelumnya sebagai bukti nyata kepada pembaca. Begini penampakan mie godog pilihan saya ;)
Mie godog ini saya peroleh dari Booth B14 Mie Jowo Semar. Dari tiga daftar jenis mie dalam booth ini pilihan saya jatuh pada mie godog. Nah, bersebelahan dengannya, sebelah kanan, ada tiga booth berjejer. Mereka pemenang kompetisi mie warisan nusantara kategori halal dan non-halal. Ketiga pemenang ini diperlombakan lagi mendapatkan pelanggan sebanyak mungkin. Mereka adalah Bakmi Ayam Pelangi (B15), Cwie Mie Malang “Regia” (B16), dan Clift Noodl Bar (B17). Kategori B17: Clift Noodle Bar satu-satunya kategori non-halal.
Pilihan kedua jatuh pada sate lilit ayam. Appetizer sebelum menikmati mie godog. Saya temukan di Booth 37: Masakan khas Bali warung khas Nyoman. Tertutup dalam tudung saji tembus pandang beralaskan daun pisang segar sungguh memikat hati dan kebersihannya pun terjaga. Padat, empuk, dan rasa “kriuk” dari parutan kelapa sanggrai turut meramaikan kunyahan. Tiga tusuk sate seharga Rp. 21.000 sangat memuaskan. Aneka ragam rempah nusantara dalam satu gigitan memanjakan lidah.
Kembali ke tempat semula, berbagai makanan khas sesuai selera masing-masing kami nikmati usai berkeliling. Dan tanpa terasa makanan sudah lenyap sambil ngobrol! Makan memang salah satu cara jitu mencairkan suasana. Maka tidak heran para politikus, bisnismen, kolega, teman tidak jarang melakukan acara ramah-tamah melalui makan bersama karena makanan bisa membuat pikiran semakin jernih.
Masih Ngider Sekali Lagi
Tak lama kemudian, meja-meja yang disediakan mulai ramai pengunjung. Puas menikmati makanan sesi pertama, acara ngider masih berlanjut sekali lagi. Masih di area Laa Piazza, kami memasuki ruangan Multi Purpose Hall, ruangan Wine & Cheese Expo dengan berbagai aneka anggur, keju, coklat, yogurt, buah dan makanan kemasan lain ada disana.
Sebelumnya saya sudah ngintip salah satu jajaran penjual es. Setelah makan berat, berkeliling lagi, saya pesan Es Doger Pak Asep rasa original. Makanan khas Betawi yang bertempat di G30. Es doger ini berasal dari Cirebon, berbahan dasar susu dan parutan kelapa, tambah tape, ketan hitam, ceres, semacam buble berukuran kecil. Dinginnya es meleleh dalam mulut. Hidangan terakhir sebagai dessert. Hiyaa...
Senin: Layang-Layang Jatayu
Menu: Cakwe Galaxy, Sate Ayam Madura Bintang 5, Kembang Tahun Pak Arif.
Selasa: Layang-Layang Siger
Menu: Combro Gaul Extra Pedas, Mie Ayam Pelangi, Serabi hijau kinca pandan
Rabu: Layang Layang Burung Enggang
Menu: Loenpia Brontak, Soto Roxy H. Darwasa, Pisang goreng “Asen” Pontianak.
Kamis: Layang-layang Khagati
Menu: Bakso goreng ayam udah bagoja, Sate klatak kambing mas tanto, Cendol almond hejo-hejo
Jumat: Layang-Layang Janggan
Menu: Kuotie ayam 888, Cwie mie malang, Es popping boba buah acen.
Sabtu: Layang-layang Kajang Lako
Menu: Batagor cuplis, nasi uduk Jatinagor, Sop durian king
Minggu: Layang-layang Goang
Menu: Tahu kalasam, nasi goreng kambing Kebon Sirih, Es pisang Ijo Original paling enak
Aneka menu dari nusantara hadir disini dari berbagai daerah Jawa, Pontianak, Medan, Surabaya, Solo, Manado dan banyak daerah lain. Tempatnya rapi dan bersih. Meski rata-rata saat makan kita mendapat sendok plastik, tempat cuci tangan dan sabun ada tersedia disana. Saat berkunjung pun bertambah nyaman ditemani menu yang saya yakin semua lezat dan nikmat.
Tiga jenis menu sudah saya coba sungguh memanjakan lidah, mengenyangkan perut, dan menjadi alat mencairkan suasana antar peserta KPK dan para penjual. Dua hal lainnya paling berkesan, bernostalgia dengan musim layang-layang semasa kecil dan jatuh cinta lagi pada mie.
Saat matahari turun pelan-pelan di arah Barat, angin mulai bertiup sepoi, tiba waktunya menurunkan layang-layang. Tiba pula waktunya saya dan beberapa teman kembali ke rumah. Beberapa masih disana menyaksikan Kampung Layang-Layang di malam hari yang semakin ramai pengunjung.
Kamu, harus coba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H