Beberapa contoh #2
- Mengakui perasaan anak
- Mengakui apa yang dialami anak pada kondisi tersebut. Alih-alih bertanya mengapa seorang anak murung, “Kenapa kamu sedih?”
- Lebih baik mengakui perasaannya dengan bertanya, “Kamu sedih, ya?”. Pertanyaan seperti itu membuat anak merasa dimengerti sehingga dia mau lebih terbuka.
- Menyatakan perasaan pada anak
- Memberikan penjelasan mengenai perasaan kita pada anak. Alih-alih langsung memarahi anak karena melakukan kebohongan,“Dasar! Anak pembohong. Masih kecil-kecil* sudah bohong.”
- *Anak: berarti setelah besar bisa bohong dong, Ma/pa?
- Lebih baik menyatakan perasaan pada anak, Contoh, “Mama/papa sedih atau tidak suka kalau kamu berbohong.”
- Memberikan bahasa isyarat pada anak
- Pada saat anak sedang menyetel musik terlalu keras dari pada langsung mematikan musik atau mengatakan ,“Matikan musik itu!”
- Lebih baik berikan gerakan tangan seperti sedang menurunkan volume dengan memutar tombol radio/televisi.
Bagaimana dengan cerita/novel anak?
Cerita/novel anak dalam pemahaman dangkal saya tidak bisa mewakili menjadi bahan untuk mengenal dunia anak. Salah satu novel terkenal di Indonesia yang menceritakan tentang masa anak adalah karya Andrea Hirata. Tokoh dalam laskar pelangi ditulis semasa kecil mereka. Cerita ini mewakili kisah haru, bahagia, sedih dalam masa kanak-kanak mereka.
Novel Mockingbird karya Kathryn Ersine yang menceritakan pengalaman anak dalam masa kecilnya. Cerita tentang kehilangan seorang kakak laki-laki karena ditembak. Novel ini menceritakan dari sudut pandang anak kecil. Novel anak yang lain ditulis seorang psikolog, Torey Hayden berjudul Kevin berdasarkan kisah nyata. Kisah anak yang mengalami kekerasan, yang ingin membalaskan dendamnya pada orangtuanya. Beberapa novel ini menceritakan masa kanak-kanak dalam keseharian tetapi tetap berbeda dengan buku bidang anak.
Sementara buku anak dalam pemahaman dangkal saya menjelaskan tentang anak secara keseluruhan. Buku anak memberikan pemahaman bahwa anak adalah anak. Bukan alat tetapi anak. Anak dibesarkan sesuai perkembangannya. Mereka adalah anak, individu karunia Tuhan. Buku-buku ini membuat pembaca diajak mengenali, memahami, menghadapi, menanggapi, memperlakukan anak sebagai anak sehingga mereka bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi mereka.
Masih sedikit sekali yang saya pahami tentang dunia anak. Masih sangat sedikit juga yang saya baca. Tentunya, orangtua yang sudah pernah membesarkan anak juga orangtua biologis lebih tahu-menahu hal ini. Tetapi mengingat apa yang teman saya sarankan pada waktu itu membuat saya merasa harus meneruskan amanahnya itu. Supaya anjuran baik itu tidak tersangkut di saya saja maka saya tuliskan saja curahan hati ini. Sebab, saya merasa beruntung dia telah melakukannya pada saya saat itu.
Balik lagi ke pertanyaan di atas. Pentingkah pemuda/pemudi membaca buku tentang anak? Pemuda/pemudi meski belum memiliki anak biologis sebenarnya sudah disebut dengan orangtua. Kita wajib melindungi semua anak di Indonesia (Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014). Bahkan, kita wajib melindungi anak di dunia(Negara kita telah meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Supaya bisa menjalankan tanggungjawab sebagai orangtua menjaga dan melindungi anak maka kita harus mengenal dunia anak. Salah satu caranya adalah membaca buku tentang anak. Lagian, bukankah pada akhirnya kita akan berhadapan dengan anak? Atas dasar itulah menurut saya ada baiknya pemuda-pemudi yang berencana menikah dan memiliki anak harus menyertakan topik pembicaraan tentang anak dalam hubungan mereka.
Kalau dulu sebelum saya dipaksa dan memaksakan diri membaca buku anak, jawab saya adalah “Bolehlah, sesekali jika ada waktu.” lalu kemudian tidak akan pernah melakukannya. Tetapi sekarang jika pertanyaan ini ditanya pada saya maka jawab saya “Ya. Perlu sekali!”. Sepenting membicarakan pernikahan.
#Dariku anak muda yang masih belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H