Mohon tunggu...
Endah Ya
Endah Ya Mohon Tunggu... wiraswasta -

get our life back with words\r\ncarakata.wordpress.com\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titik Bahagia

28 April 2012   04:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:01 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Apa itu bahagia?" tanyaku.
Dia terdiam beberapa detik. Pandangan matanya masih menyapu langit malam.
"Kenapa kau pertanyakan?" dia malah balik bertanya.
Ah, selalu. Pertanyaanku selalu dijawabnya dengan pertanyaan baru.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh bertanya?" aku mulai kesal.
Kini ia menatapku kemudian tersenyum, "Menurutmu sendiri?"
"Hmm...," aku berpikir sejenak. Mencoba mencari kata-kata untuk mendeskripsikan kata itu.
Kami terdiam beberapa saat. Dia merapatkan jaketnya.
"Saat tidak ada kekhawatiran. Saat tidak ada kesedihan atau penderitaan," jawabku.
"Bagaimana jika kebahagiaan adalah penderitaan itu sendiri?"
"Maksudnya?"
"Seseorang akan merasa bahagia saat ia melihat orang lain menderita. Jadi, kebahagiaan itu adalah penderitaan."
"Atau sama juga dengan kesedihan dan kekhawatiran. Ada orang yang baru bisa merasa bahagia saat ia berhasil membuat orang lain sedih dan khawatir," sambungnya.
Benar juga.

"Tapi, itu kan bukan kebahagiaan yang sesungguhnya," sanggahku.
"Lalu, apa kebahagiaan yang sesungguhnya itu?"
"Sebentar...," aku memerlukan sedikit jeda, "Saat kita bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain?"
"Benar kah dengan begitu kita akan bahagia?"
"Ya, setidaknya orang lain bisa bahagia. Di dunia ini masih cukup banyak orang yang merasa bahagia ketika orang-orang di sekitarnya bisa bahagia karena dirinya."
Dia mengangguk. Syukurlah, kali ini ia  bisa sependapat denganku.
"Dan, di mana letak kebahagiaan itu?"
Ah, mengapa dia malah bertanya lagi.

"Di dalam hati."
"Kebahagiaan yang tulus ada di dalam hati. Letak kebahagiaan yang sejati ada di dalam hati," lanjutku lagi sebelum disanggahnya lagi.
"Apa buktinya?"
"Hati sendiri yang akan membuktikannya."
Dia menyunggingkan sebuah senyuman. Setidaknya kali ini ia tak akan mendebatku terlalu jauh.

"Buatku, kebahagiaan itu saat kita merasa kosong. Benar-benar tidak ada isinya. Kecuali sebuah rasa...," dia menggantungkan kata-katanya sejenak. Aku sebal jika dia sudah berada di titik ini karena pasti akan membuatku tak bisa menanggapi atau mengeluarkan sepatah kata pun lagi.
"Sebuah rasa yang hanya bisa kita rasakan tetapi tak cukup kata untuk mendeskripsikannya. Sebuah rasa yang ringan. Kita tahu masih ada beban dalam kehidupan kita, tapi kita yakin bahwa akan selalu ada cara untuk mengatasi semua masalah di setiap beban itu. Saat kita merasa sudah lelah, kita masih bisa berjalan ke depan karena kita tahu kelelahan ini pasti akan terbayar di ujung jalan sana. Kadang menangis juga adalah sebuah bentuk dari kebahagiaan itu sendiri."
Menangis?
"Di saat hanya ada kita dan Dia. Mencurahkan semua rasa pada-Nya. Bergantung pada-Nya. Percaya bahwa kita tidak pernah sendiri. Menitikkan air mata bukan karena duniawi tapi lebih karena ingin selalu berada di dekat-Nya, tidak ingin jauh dari-Nya. Menangis karena sebentuk rasa syukur. Hanya orang-orang beruntung yang bisa mendapatkan kebahagiaan yang seperti ini."

"Jadi, kebahagiaan itu...," dia menoleh kepadaku.
"...tanyakan pada diri setiap manusia," sambungku kemudian tersenyum padanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun