Sekitar pukul 01.00 dini hari, kami sudah sampai di Cemoro Lawang. Setelah melakukan perjalanan hampir empat jam dari Bangil dengan sepeda motor, saya dan kawan-kawan yang lain sudah sampai di dusun terdekat untuk menuju Bromo. Saat itu kami menempuh jalur dari Probolinggo untuk menuju Bromo. Sebenarnya masih ada tiga jalur lagi yang bisa kita lewati untuk ke sana, yaitu melalui Desa Ngadas (Malang), Tosari (Pasuruan), atau Desa Burno (Lumajang).
Setelah memarkirkan sepeda motor dan membayar tiket masuk (Rp. 18.000 untuk satu sepeda motor dan dua orang), sebagian besar kawan yang lain langsung berkumpul untuk duduk bersama di atas plastik terpal yang digelar. Api unggun pun dinyalakan sebagai penghangat sekaligus untuk membakar jagung. Dingin? Jangan ditanya lagi. Saya langsung mengambil sweater yang ada di dalam tas dan mengenakannya di balik jaket yang sudah saya kenakan. Dari hidung dan mulut kami terlihat uap air dingin yang mengepul setiap kali kami bernapas dan berbicara. Bfufh...bfufh...
Saat itu ada beberapa penjual bakso yang menjajakan dagangannya. Mereka tidak menggunakan gerobak melainkan pikulan. Hal ini tentu saja agar memudahkan mereka untuk berkeliling mencari pelanggan. Saya memilih untuk berdiri melihat pemandangan Gunung Batok dan Kawah Bromo yang terlihat legam gagah dikelilingi lautan pasir di depan saya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup berisiko karena jalanan licin dan berlumpur serta sempat turun hujan deras, beberapa kawan ada yang memutuskan untuk bergelung dan tidur sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gunung Penanjakan melihat sunrise. Saya pun sempat mengobrol dengan salah satu penjual bakso. [caption id="attachment_198123" align="aligncenter" width="300" caption="dari Cemoro Lawang dini hari"][/caption]
Setelah Bromo sempat tak boleh dikunjungi beberapa bulan lalu (akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011), kini Bromo kembali dipadati wisatawan apalagi pada hari libur. Sang bapak penjual bakso (selanjutnya kita sebut Pak Jukso) memperlihatkan sebuah foto yang disimpan di ponselnya. Foto itu memperlihatkan asap tebal keluar dari Kawah Bromo. Pak Jukso bercerita bahwa saat itu wisatawan tak diijinkan untuk mendekati Kawah Bromo. Mereka hanya boleh melihatnya dari Cemoro Lawang (tempat saya berdiri saat itu). Namun, ada bule yang nekat dan mendekati Kawah Bromo tetapi ia langsung balik kanan begitu mendekati Kawah Bromo yang saat itu sangat berbahaya.
Abu letusan dari Kawah Bromo juga merusak ladang dan pemukiman warga. Pak Jukso bercerita bahwa ada sebuah sekolah yang ambruk akibat tak kuat menahan tumpukan abu tersebut. Beberapa penginapan, hotel, dan home stay yang ada di sekitarnya hanya dijaga oleh petugas keamanan. Undakan tangga untuk menuju Kawah Bromo yang sempat rusak, kini sudah diperbaiki. Pak Jukso menambahkan bahwa banyak orang yang melakukan syuting dengan latar pemandangan Bromo dan lautan pasir. Iklan, sinetron, dan film sering mengangkat Bromo sebagai latarnya. Pak Jukso sendiri katanya pernah mengikuti syuting untuk sebuah iklan. Ia mewakili desanya ikut bersama puluhan warga lain menjadi “bintang iklan”. Saat itu untuk keperluan pengambilan gambar, ia disuruh memakai celana pendek sedengkul dengan bertelanjang dada, berlari-lari di lautan pasir pukul 02.00 dini hari. Wew!
Pak Jukso juga menceritakan sedikit tentang Upacara Kasada (Kasodo). Ia bercerita jika tiba acara Upacara Kasada, wisatawan banyak sekali yang datang. Upacara ini dilangsungkan sekali setiap tahunnya, tepatnya di malam ke-14 bulan Kesodo berdasarkan tanggalan jawa. Upacara ini dilakukan sebagai peringatan dan penghormatan atas pengorbanan Jaya Kusuma, anak bungsu dari Roro Anteng dan Joko Seger (nama Suku Tengger pun diambil dari nama Roro Anteng dan Joko Seger). Beragam sesaji seperti hasil pertanian, buah-buahan, sayur-sayuran, hingga hewan ternak dilemparkan ke dalam Kawah Bromo sebagai persembahan.
Saat itu ingin sekali saya bisa tidur. Namun, hawa dingin yang menusuk-nusuk hingga ke dalam tulang membuat saya selalu terjaga. Teringat tadi kami seperti melewati sebuah perkampungan hantu. Tampaknya, jika malam tiba, lampu-lampu di rumah penduduk padam. Sepanjang perjalanan, kami hanya mengandalkan lampu-lampu jalan dan lampu dari sepeda motor kawan kami yang lain--meski masih saja sempat tersesat karena kehilangan jejak. Sekitar pukul 03.00, tampak beberapa jeep hardtop melintas. Rupanya sudah banyak wisatawan yang akan mengejar matahari terbit di Puncak Penanjakan. Beberapa orang bahkan ada yang mulai berjalan sambil bersedekap menahan hawa dingin untuk berburu matahari terbit. Kita bisa menyewa jasa ojek atau jeep hardtop untuk menuju ke Puncak Penanjakan. Jika mau berjalan, juga bisa, jaraknya sekitar tujuh kilometer dari Cemoro Lawang. Untuk pilihan yang lebih hemat dan praktis, bisa membawa sepeda motor sendiri. Hanya saja pengendara harus tahan banting dengan medan yang cukup sulit dan kondisi sepeda motor yang harus prima.
Pada pukul 03.30, kami pun langsung bersiap untuk menujuk Puncak Penanjakan (2.770 meter dpl). Dari Cemoro Lawang, kami harus menempuh jalan yang menurun. Setelah itu, kami harus berjuang untuk bisa melewati lautan pasir. Lengah sedikit, kita bisa jatuh dan terjerembab di lautan pasir itu. Saat itu saya dibonceng oleh Andik. Saya hanya berdoa di dalam hati agar tidak terjatuh di tengah perjuangannya membelah lautan pasir. Debu-debu pun berterbangan dan sangat disarankan untuk menggunakan masker saat berkendara. Kabut masih menjadi penghalang jarak pandang, sehingga kami memang harus jeli dan berhati-hati untuk bisa berada di jalur yang sama dengan kawan-kawan yang lain.
[caption id="attachment_198126" align="aligncenter" width="300" caption="jalur awal menuju Penanjakan"]
Dua tahun yang lalu, saya dan beberapa teman kuliah menumpang jeep hardtop menuju Puncak Penanjakan. Setelah menginap semalam di rumah Denis, pukul 03.00 kami langsung berangkat dengan jeep milik saudara Denis (sebelumnya kami mengganjal perut dengan segelas susu hangat). Saat itu, saya tak perlu bersusah payah merasakan betapa sulitnya medan menuju Puncak Penanjakan, apalagi saat itu mendapat tumpangan gratis, hehe (untuk menyewa jeep, kita dikenakan biaya sekitar 250 ribu).
[caption id="attachment_198128" align="aligncenter" width="300" caption="sampai di Penanjakan masih gelap"]
Tak lama kemudian, gerimis tipis turun. Belum sempat kami sampai puncak, matahari sudah terbit di sela-sela awan mendung. Great! Saya dan rombongan berhenti sejenak menunggu kawan-kawan lain yang masih berjuang mendaki. Matahari sudah terbit. Saya hanya terdiam sedikit kecewa karena tidak bisa melihat matahari terbit indah yang sama seperti dua tahun lalu.
Saat jeep yang kami naiki sudah sampai di Puncak Penanjakan, kami langsung disambut dengan kabut dingin yang sangat tebal. Beberapa penyewa jaket sempat menghampiri kami, tetapi begitu tahu bahwa kami datang bersama Denis, mereka pun langsung pergi, hehe. Suasana di Puncak Penanjakan saat itu sudah ramai. Warung-warung makan pun dipenuhi wisatawan. Jika ingin mencari cindera mata atau souvenir seperti kaos, syal, kupluk, kita bisa membelinya di toko-toko yang ada di sekitar. Disediakan pula sebuah mushola untuk kita sholat di dekat pelataran parkirnya.
Puncak Penanjakan sudah dipadati wisatawan asing dan domestik. Dari sana, kita bisa melihat kabut tebal menyelimuti Gunung Batok dan Kawah Bromo. Di kejauhan pun, tampak Gunung Semeru (gunung tertinggi di Pulau Jawa) berdiri dengan anggun. Saat semburat jingga perlahan terlihat di ufuk timur, beberapa pasang mata takjub menikmati pemandangan indah itu. Kamera pun dengan siap mengabadikan sunrise yang indah. Wisatawan Jepang langsung menyanyikan sebuah lagu, entah lagu apa. Saat itu, saya bertekad bahwa saya pasti akan kembali ke sini melihat matahari terbit yang sama indahnya.
[caption id="attachment_198131" align="aligncenter" width="400" caption="remarkable sunrise"]
Sayangnya, hal itu tak terwujud di kunjungan saya yang kedua kali ini. Setelah semua kawan berkumpul (saat itu ada sekitar 15 sepeda motor dalam rombongan), Andik kembali membonceng saya menuju Puncak Penanjakan. Jalanan kali ini setidaknya lebih landai. Momen matahari terbit sudah terlewati. Saya jadi tidak terlalu bersemangat lagi. Kemudian, rombongan berhenti. Kami pun memutuskan untuk berfoto-foto di sini saja (tidak di Puncak Penanjakan). Saya hanya bisa merekam matahari terbit yang terhalang sebuah bukit. Tak apalah. Setidaknya ini bisa sedikit menghapuskan kekecewaan saya.
[caption id="attachment_198133" align="aligncenter" width="280" caption="still beautiful"]
Setelah puas menyaksikan matahari terbit. Kami langsung kembali turun. Matahari sudah menerangi keindahan Bromo. Dengan semangat, kami langsung menaiki undakan tangga menuju Kawah Bromo. Kita bisa berjalan atau menyewa kuda. Jika kita memutuskan untuk menyewa kuda, pintar-pintar lah menawar. Dari atas pinggiran Kawah Bromo, kita bisa melihat ada menara menjulang tinggi sekaligus Puncak Penanjakan yang terlihat sejajar dengan mata kita di seberang lautan pasir. Sebuah pura pun tampak kecil dari atas sini.
[caption id="attachment_198137" align="aligncenter" width="400" caption="how can I not fall in love with this scene? indeed very adorable!"]
Jika dua tahun yang lalu saya sempat mampir ke Bukit Teletubbies, kali ini saya dan rombongan memutuskan untuk langsung pulang. Kelelahan dengan segurat kekecewaan membuat saya tidak bersemangat menjelajahi Bromo seperti dua tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu, sangat menyenangkan bisa mengelilingi lautan pasir menuju Bukit Teletubbies. Di lokasi syuting film Pasir Berbisik ini, kita bisa menemukan sebuah batu yang unik. Dari kejauhan, batu itu tampak seperti seekor singa. Unik dan cukup mengesankan. Bukit-bukit yang menghijau saat musim hujan ini pun dinamakan Bukit Teletubbies karena bentuknya yang bulat-bulat seperti bukit-bukit yang ada di serial Teletubbies. Jika langit cerah, mata kita akan dimanjakan dengan perpaduan langit biru cantik dan awan-awan putih yang tampak empuk dan tebal. Kita pun dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang sangat mengesankan. Jika sudah begini, rasanya tak pernah ada yang namanya masalah dalam hidup kita.
[caption id="attachment_198141" align="aligncenter" width="300" caption="green everywhere"]
Satu hal lagi yang sayang jika dilewatkan saat berkunjung ke Bromo sebagai salah satu primadona wisata di Provinsi Jawa Timur ini adalah bunga edelweis. Memang banyak yang menjual bunga edelweis sebagai cindera mata atau souvenir. Namun, akan lebih baik jika kita membiarkan bunga keabadian itu tetap tumbuh subur mempercantik panorama Bromo. Jika kita masih punya waktu luang, kita bisa pergi ke Air Terjun Mardakaripura yang berada di Probolinggo. Sayangnya, saya belum pernah mengunjunginya baik di kunjungan pertama maupun kedua saya ke Bromo. [caption id="attachment_198147" align="aligncenter" width="300" caption="edelweis. oh. edelweis"]
Matahari terbit di kunjungan pertama saya sangat mengesankan. Sebaliknya, kunjungan kedua saya untuk menikmati indahnya matahari terbit sedikit mengecewakan. Akan tetapi, saya masih bertekad untuk kembali ke Bromo untuk yang ketiga kali dan yang ke-seterusnya. Berburu matahari terbit lagi—semoga matahari terbit (di kunjungan ketiga saya) nanti bisa lebih menakjubkan.
Bromo, I’ll be right back!
Watching sunrise in Bromo is indeed memorable!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H