Di mata orang saat itu, Yesus adalah manusia biasa. Seorang yang dikenali sebagai anak Yusuf Sang Tukang Kayu. Dia juga disebut-sebut Guru karena sering dijumpai mengajar tentang isi Taurat dan perumpamaan-perumpamaan dalam kitab-kitab para Nabi.
Namun, suatu ketika, Yesus bicara soal Abraham. Nama seseorang yang diagung-agungkan masyarakat Yahudi dan Arab karena dianggap Orang Benar di mata Allah. Yesus mengatakan kepada semua orang tentang kemerdekaan rohaniah. Masyarakat Yahudi paham benar bahwa menjadi keturunan Abraham adalah berarti akan selalu dicintai dan diberkati Allah. Jadi tidak mungkin mereka hidup secara rohani di bawah kekuasaan Iblis. Oleh karena itu, dengan penuh semangat, masyarakat Yahudi terutama ahli-ahli agama merangsek dan mendebat Yesus. Mereka mengira Yesus adalah orang yang kerasukan setan atau orang Samaria yang sok tahu tentang Allah dan Abraham.
Dan Masyarakat saat itu mendesak identitas Yesus sebenarnya. Apakah dia Nabi atau seperti sangkaan mereka : Orang Kerasukan Setan. Tapi, Yesus bicara soal kemuliaan yang dimilikinya lebih dari sekedar Nabi, karena kemuliaan yang dimilikiNya adalah kemuliaan yang dilakukan oleh Bapa-nya, yaitu yang disebut Allah oleh semua orang.
Sampai saat Yesus bicara soal pertemuannya dengan Abraham. Di mana dikatakan olehnya Abraham bersuka cita ketika bertemu dengannya. Dikatakan bahwa Abraham telah melihat hari dimana Yesus dimuliakan oleh Allah. Maka orang-orang pun mulai yakin bahwa Yesus adalah orang yang kesurupan Setan untuk lebih tepat disebut mengajarkan hal-hal yang sesat karena peristiwa Yesus bertemu Abraham menurut mereka adalah hal yang paling tidak mungkin. Umur Yesus waktu itu baru 30 tahun, sedangkan Abraham telah lama mati. Tapi Yesus kembali angkat bicara, dan berkata bahwa sebelum Abraham ada, dia sudah lebih dulu ada. Perkataan itu sungguh mengejutkan! Dan tak perlu waktu lama, segera saja orang-orang bermaksud membunuhnya dengan melempari Yesus dengan batu.
Sulit dipahami memang ketika kita mencoba meyakini hal yang kita tidak pernah meyakininya. Karena pada akhirnya, keyakinan yang diyakini itulah yang muncul dan dengan segala cara akan dibenarkan dan dibela. Lucunya, seperti dalam kisah di atas orang-orang yang mulai kehabisan kesabaran menggunakan "senjata" dari hal-hal yang tadinya dianggap berseberangan. Seperti masyarakat Yahudi pada saat itu mendebat kemerdekaan rohani versi Yesus dengan kemerdekaan rohani karena faktor keturunan Abraham yang diyakini oleh mereka, lalu ujung-ujungnya meminta Yesus menjelaskan bagaimana Yesus bila disandingkan dengan Abraham. Namun, ketika Yesus mengatakan Abraham bersuka cita telah bertemu dirinya, mereka pun siap untuk membunuh Yesus.
Saya pernah membaca buku "Islam Dihujat" karangan Hj. Irene Handoyo. Dalam pengantarnya, disebutkan bahwa ada seseorang yang menyerahkan buku "Islam Invasion" (yang kemudian menjadi bahan untuk dibantah dan dijadikan buku "Islam Dihujat") kepada beliau. Lalu mengalirkan tulisan-tulisan yang menurut saya juga sama saja dengan buku "Islam Invasion" tersebut : Menghujat Agama orang lain dan parahnya masing-masing juga meminjam Kitab masing-masing dan melakukan pembenaran dengan kitab sendiri.
Gambaran kedua peristiwa itu sama. Tidak lebih dan tidak kurang. Bedanya hanyalah cerita di atas terjadi di dalam kehidupan pada masa Perjanjian Baru, sedangkan kasus kedua terjadi di kehidupan sekarang ini. Inti dari apa yang hendak saya sampaikan adalah : Janganlah terkejut pada hal-hal yang memang terasa mengejutkan ketika bicara soal keyakinan orang lain.
Salam Damai,
Dedy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H