Mohon tunggu...
dedy riyadi
dedy riyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

saya hanya ingin jadi terang dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemerintahan yang Berdaulat

14 Maret 2011   08:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13001030341662440074

[caption id="attachment_96069" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Singapura/Admin (wallpaper-s.org)"][/caption] Studi Banding Beberapa Hal di Singapura (1) Tempat Perjudian : Menguntungkan atau Merugikan? Dibangunnya Marina Bay Sand yang di dalamnya terdapat tempat judi ternyata tidak semulus kelihatannya. DPR Singapura konon berdebat keras tentang keberadaannya tempat judi tersebut karena sangat dikuatirkan akan membuat bangsa Singapura menjadi bangsa penjudi dan pemalas. Tapi PM Singapura mengatakan dengan tegas bahwa pembangunan tempat judi tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk mendatangkan devisa yang lebih besar bagi rakyat Singapura juga membuka 6 ribu lebih lowongan kerja bagi rakyat Singapura. Tour Guide kami mengatakan jika warganegara Singapura hendak masuk ke dalam Casino atau Vegas mereka harus membayar admission fee sebesar S$ 100 (sekitar Rp. 675.000,-)  untuk masuk ke sana selama hanya 24 jam saja. Lebih dari itu, ketika hendak berjudi, mereka diwajibkan menempatkan deposit sebesar S$ 1000 (sekitar Rp. 6.750.000,-).  Mungkin bagi sebagian dari kita uang segitu cukup biasa, tapi jangan salah, jika lewat waktu dari 24 jam sejak mereka masuk ke tempat judi, mereka harus membayar denda waktu sebesar S$ 5000 atau sekitar Rp. 33.750.000,-. Tidak sedikit bukan dendanya? Alasan lain dari PM Singapura untuk membuka tempat judi adalah untuk menarik para penjudi yang biasa bermain judi di Genting Highland Malaysia. Karena ternyata perputaran uang perjudian di Malaysia itu sangat besar. Saya pun teringat obrolan dengan supir taksi di Jakarta yang mengatakan bahwa dulu, Bang Ali Sadikin sempat melontarkan ide pembuatan tempat judi di Ancol. Tujuan dari pembuatan tempat judi di Ancol itu sama persis seperti ide PM Singapura yaitu menyedot para penjudi dari Genting Highland, Malaysia. Peraturan tentang masuk ke tempat judi itu pun sudah dirancang seperti para opportunis yang beruang sedikit tidak akan bisa masuk ke sana, karena deposit yang diwajibkan sangat besar dan mustahil dipenuhi oleh orang berpenghasilan rendah. Akan tetapi, ide itu justru ditentang dengan sangat keras. Akibatnya tempat judi di Ancol tidak pernah bisa diwujudkan. Selain peraturan untuk masuk ke dalam tempat judi, Pemerintah Singapura melarang pemberitaan kemenangan dari tempat judi dalam bentuk apapun. Selain itu, iklan layanan masyarakat tentang bahayanya judi pun digalakkan. Iklan yang dikenal dengan sebutan "for the last chance" menceritakan tentang seorang ayah yang telah kehabisan segala uang dan hartanya meminta pertolongan kepada anaknya untuk meminjamkan sejumlah uang dengan harapan dia bisa menang dan mengembalikan uang dan hartanya itu. Dan tentu saja, Sang Anak menolak permintaan Ayahnya itu karena berjudi itu sangat adiktif dan belum tentu permintaan Sang Ayah adalah permintaan yang terakhir, karena jika kalah dia bisa menghalalkan segala cara untuk mengembalikan uang itu dan juga untuk modal berjudi kembali. Melihat kenyataan di atas tentang pelegalan 2 buah tempat perjudian di Singapura tampaknya jika pemerintahan berdaulat dan tegas serta telah memiliki perencanaan yang sangat matang, hal seperti itu justru menguntungkan bangsa dan negara. Membeli Mobil Kok dibuat Susah? Tapi membuat Mobil Sport bisa Melaju Kencang di Jalanan Siang Bolong... Lagi, gambaran tentang betapa berkuasanya Pemerintah atas rakyatnya terjadi dengan betapa lalu lintas Singapura sangat teratur. Mobil-mobil mewah dan mahal seperti Ferari, Lamborghini Gallardo sempat saya lihat parkir di depan hotel dan mobil berkecepatan tinggi itu bisa dipacu dengan kencang di jalanan. Hal ini sangat berbeda dengan lalu lintas di Jakarta. Saya pernah lihat iring-iringan Ferari atau Porsche di malam hari dan itupun berjalan lambat alias tidak 'ngebut. Kenapa bisa begitu? Kepemilikan kendaraan bermotor terutama mobil sungguh sangat rumit di Singapura. Sebelum orang yang mampu beli mobil bisa membeli mobil, mereka harus mendapatkan terlebih dahulu sertifikat kepemilikan mobil yang jumlahnya terbatas dan harganya fluktuatif berdasarkan standar nilai penghasilan rata-rata rakyat Singapura. Intinya, para peminat mobil harus tahu berapa jumlah mobil yang boleh ditambahkan pada tahun tersebut ke dalam negeri Singapura, dan juga harus mengikuti bidding dengan nilai tertinggi untuk setiap sertifikat yang dijual itu. Tapi, hal ini masih bisa diakali. Sertifikat itu tidak berlaku jika hak kepemilikan mobil sudah lewat waktu (10 tahun), artinya kita bisa mendapatkan sertifikat bekas orang lain. Sayangnya, memiliki sertifikat bekas orang lain berarti hanya boleh membeli mobil bekas orang lain pula. Setelah memiliki sertifikat kepemilikan kendaraan, rakyat Singapura baru bisa membeli mobil dengan harga : 250% x harga mobil (sebagai pajak impor mobil tersebut) + harga mobil + pajak kendaraan bermotor yang berlaku 10 tahun saja + sejumlah uang untuk toll jalan. Dengan kata lain, harga mobil di Singapura bisa mencapai 4 kali lipat harga mobil itu sebenarnya, demikian kata Tour Guide kami. Dengan pilihan yang sulit itu, maka orang-orang di Singapura memilih menggunakan moda transportasi umum seperti bus, MRT atau taksi. Akan tetapi, orang yang kaya raya tentu bisa melewatkan acara berlari-lari, mengantri, dan berdesakan di dalam bus atau MRT dengan membeli mobil sesuai dengan kemampuan mereka. Dari sinilah kelengangan lalu lintas (meskipun tidak lengang-lengang sekali karena beberapa kali juga ada kemacetan) di jalanan Singapura, hingga mobil-mobil yang punya kemampuan berlari cepat bisa melaju kencang! Keterhubungan Bangunan dengan Alat Transportasi : Betapa Pemerintah benar-benar berdaulat atas para pengusaha. Berjalan-jalan di Singapura adalah kesempatan mencoba moda transportasi umum bernama MRT. Sebenarnya tidak jauh beda dengan kereta listrik atau KRL di Jakarta hanya saja stasiunnya berada di bawah gedung-gedung / mal atau bangunan tua di sana. Suatu kali saya mengunjungi Chijmees - sebuah bangunan tua yang dulunya adalah semacam sekolah katholik dan gereja di Singapura. Bangunan ini sudah berubah fungsi menjadi semacam city walk yang penuh dengan restoran-restoran, bar, dan toko. Fisik bangunan ini tidak diubah. Menaranya masih nampak seperti menara gereja lengkap dengan salib besi yang besar. Kaca-kaca patrinya juga masih menggambarkan Kristus dengan murid-muridNya atau para Santo. Uniknya, bangunan itu punya jalur akses ke MRT lengkap dengan elevator / tangga berjalannya. Demikian pula dengan bangunan-bangunan lain, terutama yang berjajar. Semisal dari The Heeren hingga Takashimaya semuanya punya lorong bawah tanah yang terhubung hingga ke stasiun MRT di Ion Orchard. Artinya, pembangunan gedung pun benar-benar diawasi dan diatur oleh pemerintah pusat Singapura. Kalau tidak, tentu orang-orang sana akan keluar masuk bangunan dan mencari stasiun atau halte terdekat yang mengakibatkan ruwetnya lalu lalang manusia di trotoar yang lapang. Saya membayangkan hal itu terjadi dari Blok M hingga Kota di Jakarta, tentu kita tidak mengenal macet. Meskipun untuk bisa menjadi semacam itu pastinya perlu biaya yang sangat besar mengingat pemerintah DKI Jakarta harus membangun tunnel untuk keperluan stasiun dan jalur rel MRT itu. Belum lagi akan membuat para pengusaha Mal merogoh kocek mereka lebih dalam karena harus menyediakan sarana dan prasarana ke arah stasiun MRT yang berarti merombak basement bangunan mereka. Maka tidak heran, pemerintah DKI lebih cenderung untuk membuat jalur bus trans Jakarta atau pilihan lain adalah Monorel yang berjalan di jalur yang berada di atas jalanan. Dan seperti kita lihat, jalur trans Jakarta selalu mengalami kerusakan setiap tahunnya di samping masih ada kecelakaan dan kemacetan yang terjadi pada waktu mereka beroperasi. Sedangkan proyek Monorel? Sampai sekarang masih belum ada tanda-tanda mau diapakan tiang-tiang yang sudah terpancang di Kuningan sampai Senayan itu. Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun