Nama: Gusti Bagus Candra Wibawa
NIM: 192231065
Prodi: Gizi
Fakultas: Kesehatan Masyarakat
Garuda: 5
Ksatria: 11
Rokok telah menjadi bagian dari rakyat Indonesia. Olahan tembakau ini telah digemari oleh penduduk kepulauan Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Â Indonesia sendiri adalah negara penghasil tembakau terbesar ke-enam di dunia menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) dengan jumlah produksi 197.250 ton pada tahun 2019. Ini menjadikan industri tembakau sebagai industri yang berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Industri tembakau menyumbang Rp. 188,81 triliun dari hasil cukai, atau merupakan 96,57% dari total pendapatan bea cukai. Bea cukai sendiri merupakan pemberi sumbangsih pada pembiayaan pembangunan yang termasuk dalam tiga besar dari seluruh sumber pembiayaan, menurut data Kementerian Keuangan tahun 2022.Â
Pendapatan besar dari sektor industri tembakau ini, sayangnya bukan tanpa efek samping. Tembakau dengan olahannya yaitu rokok juga menyumbang kerugian bagi negara. Menurut perhitungan Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan ( Balitbang ), tercatat kerugian Rp. 4.180,27 triliun yang merupakan dampak dari perubahan dari produktif menjadi tidak produktif akibat masalah kesehatan karena rokok. Tidak hanya itu, kerugian terhadap APBN dari tembakau mencapai Rp. 375 triliun.
Masalah kesehatan adalah dampak utama dari industri tembakau. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengelola Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau memang belum mengarah kepada usaha menekan dan mengurangi konsumsi tembakau. Sebaliknya, pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau cenderung menguntungkan industri tembakau. Pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) di negara - negara penghasil tembakau terbesar lain, seperti Brazil, India dan Tiongkok difokuskan pada usaha menurunkan konsumsi tembakau. Negara - negara itu konsisten dalam usahanya menekan konsumsi tembakau dengan menerapkan pajak tembakau atau cukai yang tinggi dan fokus dalam pemngembangan substitusi lahan tembakau menjadi lahan pertanian lain, sehingga petani tembakau bisa perlahan beralih ke tanaman lain dan tidak bergantung pada industri tembakau.
DBH CHT Indonesia dibagi pengelolaanya di bidang kesejahteraan masyarakat, penegakan hukum dan kesehatan. Pada tahun 2022 sendiri, 40% dari anggaran DBH CHT dianggarkan  untuk kesehatan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/20221. Anggaran ini digunakan untuk pengadaan alat kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana kesehatan maupun peningkatan pelayanan kesehatan. Alokasi dana ini telah berhasil membantu pemerintah daerah untuk membangun sarana dan prasarana kesehatan di daerah, terutama di masa pandemi Covid-19. Namun, angka prevalensi perokok di Indonesia tidak juga menurun walau alokasi DBH CHT telah 40% dialokasikan pada kesehatan.Â
Peningkatan angka prevalensi perokok di Indonesia terus terjadi karena kenaikan tarif cukai tidak mencapai 30%, jauh dari harapan WHO sebesar 70%. Dengan stagnannya tarif cukai rokok, permasalahan kesehatan akan tetap ada dan tetap akan memberi kerugian pada APBN. Â Tidak salah mengalokasikan anggaran sebesar itu untuk kesehatan. Jelas hal itu sangat membantu dan berguna bagi dunia kesehatan. Namun, penting untuk mengalokasikan sebagian dana pada usaha penurunan konsumsi tembakau. Penurunan konsumsi tembakau adalah bagian penting dari perbaikan kesehatan dan penurunan angka kerugian akibat masalah kesehatan dari olahan tembakau.