Penyakit sosial tak ubahnya kanker ganas yang lamban-laun dapat menggorogoti sekujur tubuh. Sebagai penyakit dalam, bahaya kanker memang tidak terlihat oleh mata telanjang, sama halnya dengan penyakit sosial. Tidak terlihat, tapi tidak berarti tidak berbahaya.
Menikah adalah tuntunan agama. Dalam konsepsi Islam, menikah merupakan pintu suci menuju gerbang kehidupan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Hubungan lawan jenis yang awalnya haram, dengan menikah, menjadi halal. Hubungan intim yang awalnya maksiat, setelah menikah, menjadi ibadah. Dari keluarga harmonis seperti inilah, negara yang toyyibatun wa rabbun ghafur tercipta. Karena bagaimana pun, keluarga merupakan institusi terkecil dari sebuah relasi sosial yang berlaku. Itulah indahnya menikah dengan berlandaskan agama.
Namun sayangnya, di tengah terpaan budaya global, yang enggan melakukan pernikahan tampaknya terus menanjak naik. Berzina dan gaya hidup free sex menjadi jalan pintas yang dipandangnya sebagai alternatif. Ironisnya lagi, perilaku asusila ini tidak sedikit yang dilakukan oleh public figure. Dampak lanjutannya, tentu dapat ditebak, kian merambah ke berbagai kalangan. Bukan hanya orang dewasa, tetapi juga diikuti generasi muda usia.
Berbagai penelitian tentang hubungan intim yang dilakukan kalangan mahasiswa dan pelajar, dengan tanpa ikatan pernikahan yang sah, sungguh sangat mencengangkan. Di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia menunjukkan hal serupa: zina dianggap lumrah dan hal wajar. Pemahaman serupa juga merangsek masuk ke dusun-dusun di perkampungan. Ini merupakan fenomena sosiologis yang mengkhawatirkan, sekaligus mesti ditanggulangi dengan serius.
Video-video mesum yang ‘terpublikasikan’ di internet, dan diberitakan media cetak dan televisi, ditambah dengan beragam hasil penelitian, sudah seyogyanya mendorong berbagai pihak untuk menyikapinya dengan penuh kesungguhan. Jangan hanya dilirik dengan sebelah mata, dan ditangani dengan setengah hati. Jangan biarkan masyarakat negeri ini jatuh lebih dalam ke lembah patologi sosial yang lebih mencemaskan. Berhati-hatilah, karena perilaku seks bebas tengah menjadi ancaman.
Indonesia sebagai negara yang tengah banyak dilanda musibah, sudah semestinya tidak berdiam diri. Sebab jangan-jangan, musibah yang terus menimpa bangsa kita ini ada korelasinya dengan perilaku masyarakat yang telah mengabaikan norma agama dan budaya. Karena itu, melacak akar penyebab tumbuh-kembangnya seks bebas khususnya, adalah suatu keharusan. Berbagai penelitian komprehensif, dan pencarian solusi mesti menjadi langkah mutlak. Tak bisa ditawar-tawar, juga tak bisa dibiarkan begitu saja.
Memudarnya Norma Moral
Memudarnya norma moral dan perilaku keberagamaan di kalangan masyarakat, tentunya memiliki faktor penyebab yang beragam. Namun dari semua itu, menurut hemat penulis, dapat disederhanakan menjadi tiga faktor. Pertama, kian tersingkirnya peran agama di tengah kehidupan keluarga. Komitmen orang tua untuk yang satu ini kian mengecil, bahkan nyaris hilang. Nasehat-nasehat yang agamis umumnya tak banyak lagi kita dengar. Dorongan dan dukungan untuk berakhlak baik dan taat teguh pada norma agama juga terasa amat sepi.
Yang kerap menjadi perhatian kita sebagai orang tua umumnya hanya sebatas prestasi dan nilai-nilai kuantitatif pendidikan. Dengan siapa, dan bagaimana anak-anak kita bergaul nyaris lepas dari perhatian. Kita sudah merasa puas bila nilai-nilai yang tercantum di buku rapornya baik, tak peduli itu hasil nyontek atau dikerjakan orang lain. Kita sering merasa malu ketika anak-anak kita nilainya jelek, tapi tidak merasa malu saat akhlaknya dan perangainya buruk. Kondisi inilah yang membuat anak-anak kita tidak lagi memiliki pegangan, pedoman, uswah, dan rujukan hidup yang baik.
Kedua, menyusul tersingkirnya agama dalam kehidupan keluarga, maka media, khususnya internet dan televisi akhirnya menjadi ‘agama’ baru yang ‘ajaran-ajarannya’ diikuti dan ditaati. Apa yang dikhutbahkan televisi dan disodorkan internet menjadi rujukan, dan pedoman bagi hidupnya. Dari mulai cara bertutur, bersikap, hingga berpakaian, ‘agama’ baru itulah yang menjadi rujukannya. Pesan-pesan “agama” baru ini ujung-ujungnya dijadikan ‘dogma’ tak tertandingi dibandingkan agama-agama yang sesungguhnya. “Agama” baru memang telah mengambil alih peran agama, suatu ironi yang tidak semestinya terjadi.
Media tak ubahnya pedang bermata dua. Bisa sangat bermanfaat, bisa juga melahirkan mudharat, amat tergantung siapa yang memegang dan mengendalikannya. Di tangan orang yang salah, media bisa menjadi sumber penyebab datangnya laknat. Sebaliknya, di tangan yang orang saleh, media akan menjadi kunci pembuka pintu rahmat. Di tengah konteks kekinian, di tengah penyakit masyarakat merebak dengan hebatnya, dan di tengah musibah yang nyaris tiada henti, para pemegang dan pengendali media sudah seyogyanya melakukan introspeksi diri. Tayangan yang sekadar menjual mimpi dan memamerkan aurat tak selayaknya menjadi menu siaran. Rancang ulang program, susun kembali perencanaan, agar media melahirkan kemaslahatan bagi masyarakat.
Dalam kasus video mesum dan foto-foto seronok yang dilakukan pelaku asusila, media massa sudah seharusnya bersikap cerdas. Hindari peyangan foto dan cuplikan adegan dari video porno yang mengundang rasa penasaran publik. Pernyataan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nezar Patria, layak diperhatikan. Ia mengingatkan, bahwa seorang jurnalis dalam bekerja harus patuh pada UU Pers No. 40/1999 Pasal 5 ayat 1 yakni pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.