Boleh jadi semua sepakat, dunia memang indah tiada tara. Gemerlap dan kemegahannya sungguh amat mempesona. Sungguh, bila manusia hendak menikmatinya, tentu bukanlah suatu dosa, juga bukan sesuatu yang terlarang. Sebab keindahan dan pesona yang ada di dalamnya memang karunia Allah untuk dinikmati siapa pun.
Anda mau menikmatinya ? Silakan, tapi hati-hati jangan sampai lupa diri. Kurang-kurangnya bisa terjebak kenikmatan semu. Fatamorgana dunia bisa melelapkan dan menjerumuskan ke jurang kenistaan. Sadarilah dengan sepenuh hati dunia bukanlah segala-galanya. Hanya sarana menuju hidup sesungguhnya di dalam baqa kelak. Di alam inilah kita akan menikmati kehidupan sejati.
Tapi sayang, banyak manusia yang terjebak dan terperosok pesona dunia. Gemerlapnya kerap membuat mata hati kita buta, dan kita terlelap dininabobokan nafsu duniawi, dan mudah terpedaya menjadi penghamba harta pemburu tahta. Kemegahan dunia bisa dengan mudah menyihir manusia seolah hidup akan abadi saelamanya.
Harta dan tahta terus diburu, dan terkadang dilakukan dengan tidak halal. Dan anehnya kerap merasa tak berdosa, inilah tragedi terbesar manusia abad ini. Cinta dunia menjadi gejala yang begitu jelas. Mata hati menjadi buta terbujuk fatamorgana duniawi. Karena itu amat bisa dipahami bila para sufi kemudian memencilkan diri dari kesenangan dunia.
Pelarian para sufi, tentu bukan tanpa kesadaran. Mereka paham betul kelezatan duniawi tak seberapa dibanding kelezatan yang akan dirasakan di alam baqa kelak. Firman Allah dalam sebuah hadist qudsi mengingatkan kedunguan kita, “Aku sediakan bagi hamba-hambaku yang beriman dan beramal shalih, kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas di hati manusia.”
Para sufi menyadari betul, hidup itu, ibarat kilat: sesaat dan singkat. Karenanya buat apa meneguk kenikmatan duniawi bila hanya sekejap, bila kelak abadi dalam azab Allah. Kesadaran inilah yang mulai langka dimiliki manusia, yang kabarnya lebih cerdas dan lebih modern. Manusia lupa, dunia hanyalah persinggahan sementara, yang abadi adalah alam baqa kelak, persinggahan terakhir yang dijanjikan Allah.
Di tempat itulah manusia mendapatkan balasan dari apa yang diperbuatnya di dunia. Bila amalnya bagus, surga adalah balasannya. Bila nilai rapornya buruk, neraka adalah tempatnya yang paling layak. Saudaraku, sebelum maut menjemput, tengoklah amal yang telah kita lakukan untuk bekal kelak, hitung-hitunglah dirimu sebelum engkau diperhitungkan. Begitu pepatah Umar bin Khatab dalam setiap kesempatan.
Dalam berbuat kebaikan, juga berhati-hatilah. Tumbuhkan keikhlasan, jauhkan riya, agar amal tidak sia-sia. Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah SAW mengisahkan betapa pentingnya keikhlasan: Di hari kiamat nanti, kata baginda rasul, beberapa lembar catatan amal yang tertutup rapat didatangkan lalu dibeberkan di hadapan Allah Ta’ala. Tiba-tiba Allah berfirman, “Campakanlah yang ini.” Para malaikat berkata, “ Demi keagunganMu, tak kami lihat di dalamnya kecuali hal-hal yang baik saja.” Allah menjawab, “Sesungguhnya semua itu dahulu ditunjukan bukan untuk-Ku, dan Aku hanya akan menerima amal yang dilakukan semata ke hadiratku. [Enjang Muhaemin]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H