Mohon tunggu...
Eni Saeni Djudira (Enisa)
Eni Saeni Djudira (Enisa) Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Berbagi informasi sehat untuk Indonesia lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Para Ibu yang Tersandera Iklan SKM sebagai Susu

29 November 2019   10:59 Diperbarui: 29 November 2019   11:19 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

BPOM harus bertindak tegas awasi label kemasan pada produk ini dan iklan yang masih mempersepsikan SKM sebagai susu.

Sebagian  masyarakat terutama ibu-ibu  masih mempersepsikan SKM/KKM (Susu Kental Manis/Krimer Kental Manis) sebagai  susu.  Persepsi tersebut muncul setelah mereka terpapar informasi melalui iklan maupun label pada kemasan produk tersebut. Sebanyak 73% ibu-ibu mengaku memperoleh informasi tersebut dari media massa, seperti televise dan radio.

Sisanya 27 persen mereka mendapat informasi tersebut dari petugas kesehatan, tenaga kesehatan (dokter, perawat, kader, keluarga, dan posyandu. Itu adalah angka persepsi yang cukup besar. Dan,  persepsi itulah yang membuat para ibu mengambil keputusan untuk  memberikan SKM/KKM kepada anaknya.

Hasil riset tentang kebiasaan konsumsi Susu Kental Manis (SKM) dan Krimer Kental Manis (KKM) terhadap kejadian gizi buruk di 3 Provinsi (kalteng, Aceh, dan Sulawesi Utara) pada September -- Oktober 2019 .  Riset  dilakukan oleh PP Aisyiyah bekerja sama dengan Yayasan Abipraya Insan Cendekia (Yaici).  

Chaerunisa,  Ketua Riset yang juga Ketua majelis kesehatan PP Aisyiyah pada Focus Group Discussion (FGD), di kantor PP Muhammadyah, 26 November 2019 menjelaskan bahwa survei ini dilakukan terhadap 2.096 responden di tiga provinisi, 9 kota dan kabupaten.

Di  Aceh (Banda Aceh, Pidie, Aceh Tengah) yang menduduki peringkat prevalensi stunting tertinggi nasional, Kalimantan Tengah (Palangkaraya, Kota Waringin Timur, Barito Timur) yang menempati peringkat ke-4 stunting se-Indonesia;  dan Sulawesi Utara (Bolaang Mangondow, Bolaan Magondaw Utara dan Manado).

Kriteria responden adalah ibu dengan anak usia 0-5 tahun. Pendidikan ibu-ibu SD-SMA 78,9 persen dan D1-S3 sebanyak 21,1 persen dengan pengahasilan di kisaran Rp500 ribu hingga Rp3 juta per bulan.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan design corssectional, dan teknik random sampling representative.

 Iklan SKM Sebagai Susu Telah Berlangsung 146 Tahun

Ketua YAICI (Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia) Arif Hidayat  memaparkan,  kesalahan persepsi itu terjadi sejak SKM masuk ke Indonesia dengan brand Milkmaid pada 1873. Produk tersebut diiklankan sebagai susu yang bernutrisi hingga saat ini. Artinya sudah 146 tahun para ibu terpapar informasi SKM sebagai susu.

Pada 1967 pabrik pertama SKM dibangun di Indonesia. Lalu pada 1980,  Dr. M. Dible mengeluarkan studi tentang SKM sebabkan diare dan malnutrisi pada anak.  Temuan itu tak berdampak apapun pada kebijakan pemerintah terhadap SKM. Maka pada 2017, pakar gizi pun meminta Kementerian Kesehatan menerbitkan aturan tentang SKM. Dan,  setahun kemudian, 2018, muncul tragedi Arisandi, balita di Kendari meninggal setelah menderita gizi buruk dan  SKM  berkontribusi pada penyakitnya.  

Hingga kini, iklan dan label pada SKM/KKM masih memvisualisasikan gambar susu dan cara penyajiannya masih ada gambar gelas dan sendok takar yang mengasumsikan bahwa produk tersebut adalah minuman susu.  

Hasil riset menunjukkan sebanyak 76 persen para ibu memperhatikan bentuk kemasan produk SKM dengan baik. Bentuk kemasan yang diperiksa antara lain, memperhatikan izin edar, kadaluarsa, harga,  potongan harga, anjuran penyimpanan, saran penyajian dan peruntukan.

Meski informasi tentang produk itu dibaca oleh para ibu, tapi  persepsi bahwa SKM/KKM adalah susu sudah melekat jauh dibenak mereka sehingga mereka tetap memberikan SKM kepada anak bayi dan balitanya.

Para ibu itu memberikan  SKM/KKM secara beragam. Ada yang memberikan SKM setiap hari dengan porsi satu gelas 22 persen;  lebih dari 1 gelas 4 persen; lebih dari 3 sendok makan SKM/KKM dalam gelas 26 persen; dan  memberikan takaran kurang dari 3 sendok makan SKM/KK dalam 1 gelas 13 persen.

Responden  membeli dalam bentuk kaleng 46,0 persen; membeli dalam bentuk sachet 50,6 persen;  dan lainnya 3,4 persen. Kesimpulannya,  3 dari 10 anak minum SKM/KKM setiap hari.

Akibat pola mengkomsumsi SKM ditemukan, 14,5 persen anak dengan status gizi buruk mengkonsumsi SKM/KKM lebih dari satu kali sehari. Sebanyak  29,1 persen anak dengan status gizi kurang mengkonsumsi SKm/KKM lebih dari satu kali sehari.

Pada kelompok anak usia di atas 3 tahun mengalami  gizi kurang 32,7 persen, dan gizi buruk 12,1 persen. Sedangkan pada anak usia 5 tahun angka gizi buruk mencapai 28,8 persen dan kurang gizi 8,3 persen.

Dari temuan tersebut, para peneliti sepakat bahwa SKM berkontribusi terhadap terjadinya gizi burung maupun gizi kurang pada anak-anak. Untuk mengurangi dampak tersebut, sebaiknya iklan yang menyesatkan tentang SKM adalah susu sebaiknya diluruskan.   

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa iklan SKM sebagai susu masih melekat di benak ibu-ibu sehingga SKM dipercaya sebagai susu dan dapat diberikan kepada buah hati mereka. Tapi dengan melihat dampak buruk pada anak-anak, dibutuhkan  iklan edukasi yang masih tentang SKM/KKM sebagai bahan tambahan makanan topping.

"SKM tidak boleh dijadikan bahan dasar minuman cair, tapi hanya sebatas topping," kata Chaerunisa.

Arif Hidayat juga meminta BPOM membuat aturan lebih tegas terkait anak yang boleh mengkonsumsi SKM. Jika pada label SKM masih disebutkan SKM tidak boleh diberikan pada anak usia 0-12 bulan, Yaici dan PP Aisyiyah merekomendasikan SKM tidak boleh diberikan kepada bayi mulai 0-24 bulan.

"Karena kalau batas usianya hanya sampai 1 tahun, organ bayi belum siap menerima SKM yang memiliki  kadar gula yang tinggi," kata Arif.

Informasi Produk Harus Berimbang

Terkait temuan  73  persen  responden mengetahui informasi SKM sebagai susu dari iklan televisi, radio dan media massa lainnya, Komisioner KPI,  Nuning Rodyah  mengaku terkejut. Ia mempertanyakan, bagaimana kalau informasi yang ditayangkan di Iklan SKM itu tidak benar atau ada hal yang ditutupi. Padahal seyogyanya harus diperkuat dengan edukasi kesehatan yang  berimbang.

Menurutnya Iklan SKM di televisi, seringkali dalam menyampaikan informasi nutrisinya tidak lengkap. Misalnya, ditampilkan tentang nutrisinya,tapi  keterangan tentang  jumlah gula yang terkandung di dalam SKM itu justru tidak dijelaskan sama sekali.  Seharusnya informasi tersebut disampaikan semuanya, tidak ditutupi. Karena kalau engga informasi ini bisa menyesatkan.

Sementara Yayan Cahyani dari BPOM menyatakan bahwa Peraturan Kepala BPOM No.  31/2018  sudah jelas bahwa peruntukan SKM bukan sebagai minuman pengganti ASI untuk bayi, dan bukan minuman bergizi untuk balita. SKM tidak memenuhi syarat sebagai protein pengganti susu. 

Menurut dia, peruntukan SKM sebagai topping makanan atau minuman. Jadi kalau persepsi masyarakat bahwa SKM itu sebagai minuman sehat bergizi tinggi itu jelas persepsi yang salah.

Alangkah bijaknya jika BPOM tidak menyalahkan masyarakat yang mempersepsikan bahwa SKM adalah susu. Sebab persepsi itu muncul dari iklan dan label pada kemasan yang salah. Sejak 2018 Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat dan Yaici melaporkan temuan label, kemasan, iklan maupun kegiatan aktivasi yang dilakukan oleh produsen dengan kampanye SKM sebagai susu.

Namun hingga kini, belum ada teguran kepada produsen tentang label kemasan maupun iklan yang menyesatkan tersebut. Terbukti hingga kini, label pada kemasan SKM masih menampilkan visualisasi gambar susu dalam gelas. Meskipun gambar tersebut disandingkan dengan gambar lain, tetap saja itu akan membuat persepsi bahwa SKM adalah minuman susu.

Produsen SKM sebenarnya diundang di FGD ini. Undangan ini bukanlah yang pertama disampaikan baik oleh Yaici maupun Kopmas. Namun produsen tidak pernah hadir. BPOM infonya sudah menegur produsen, tapi visualisasi gambar susu dalam gelas masih saja terjadi.

Apa sebenarnya yang terjadi antara BPOM dengan produsen SKM? Sehingga pembiaran label kemasan yang masih memvisualisasikan susu dalam gelas tetap ada? Indonesia tengah mewujudkan generasi emas 2045, adalah tugas bersama untuk mendukung cita-cita tersebut.

Penulis: Eni Saeni, M.I.Kom

Sekjen Kopmas (Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun