Eko-Teologi dan Kesadaran Lingkungan
Berbeda dengan skor EPI yang menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan kesadaran yang sangat buruk tentang pelestarian lingkungan, Indonesia justru menempati urutan atas untuk "Negara Paling Religius di Dunia." Tahun 2022, Majalah CEOWORLD dan Global Business Policy Institute, meneliti tingkat religiusitas dari 148 negara. Dengan menganalisis respons dari lebih 370.000 responden di seluruh dunia, hasil penelitian ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-7 negara paling religious, dengan skor hampir sempurna, 98,7 dari 100. Fakta menarik lainnya, adalah 10 negara yang masuk Negara-negara paling religious di dunia, semuanya termasuk dalam Negara dengan kesadaran pelestarian lingkungan yang rendah, bahkan sangat rendah.
Pertanyaannya: Apakah kesadaran agama berbanding terbalik dengan kesadaran untuk melestarikan lingkungan? Apakah agama tidak mengajarkan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari memelihara kehidupan umat manusia? Bisakah umat beragama meningkatkan kesadaran lingkungan dengan merujuk pada ajaran agama yang diyakininya?
Sebenarnya, jika ditelurusi lebih dalam, agama pun mengajarkan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari menjaga keselamatan dan kelangsungan hidup manusia. Dalam Islam, misalnya, Alquran telah memberi peringatan tentang kerusakan bumi akibat ulah dan perbuatan manusia. Dalam Surah Ar-Rum ayat 41 disebutkan, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia."
Perintah untuk menjaga kehidupan, termasuk menjaga kelestarian Bumi juga disebutkan dengan tegas dalam Surah Al-Maidah ayat 32, "Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia."
Namun ayat-ayat dan ajaran-ajaran yang terkait dengan pelestarian lingkungan agaknya kurang menarik untuk disampaikan. Berbagai alasan dan kepentingan membuat ajaran untuk melestarikan lingkungan jauh kalah popular dibandingkan ajaran tentang ritual, pahala dan surga, atau ajaran-ajaran yang terkait dengan kesalehan personal lainnya.
Sekaranglah saatnya para agamawan menengok pada pentingnya eko-teologi yang menjadikan ajaran agama sebagai rujukan untuk melestarikan lingkungan, menjaga keseimbangan alam, meningkatan kualitas kesehatan dengan menjaga kelangsungan hidup lingkungan tempat manusi tinggal. Pelestarian lingkungan dalam perspektif eko-teologi memandang pentingnya pemahaman secara intelektual sebab-sebab dan latar belakang krisis lingkungan yang dialami umat manusia saat ini, diperkaya dengan pemahaman spiritual dan kultural dari ajaran-ajaran agama yang dianut untuk mendukung upaya ini.
Eko-teologi berupaya memberikan dan menjelaskan basis teologis bagi hubungan yang seimbang antara Tuhan, umat manusia, dan kosmos. Dalam tradisi agama-agama, manusia dipahami sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diberi titah untuk memakmurkan Bumi sebagai tempat tinggal, bukan untuk merusaknya. Manusia cenderung terasing dan merusak Bumi lantaran kecenderungan mereka untuk berkuasa dan mendominasi alam dan manusia lain. Melalui berbagai pendekatan eko-teologi, manusia harus kembali pada kesadaran akan sangkan-paran (asal-usul dan tujuan hidup), berusaha memulihkan dan menempatkan kembali manusia pada kedudukan yang tepat di Bumi, sehingga Bumi diperlakukan sebagai ibu yang melahirkan kehidupan manusia. Manusia kembali menyatu dengan Bumi sebagai jalan penyatuan dengan Keabadian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H