Jangan kau pinta aku untuk mengetuk pintu rembulan, membawakan seikat rayuan yang pernah kau susun pada lipatan malam di antara deretan minpi. Karena mimpi ibarat perahu yang mengarungi semudera ihlas di tengah riak dan gelombang.
Jangan kau pinta aku menegur pagi, menyempurnakan dinihari, memunguti dedaunan yang meringkuk kedinginan, menata ulang sunyi yang baru saja ditenggelamkan malam, menutup rapat-rapat jendela dan pintu  labirin mimpi.
Jangan kau pinta aku menggubah irama hujan menjadi ritmis gerimis romantis. Karena kecipak air yang membekas di bebatuan telah melukis kenangan, hujan selalu mengisyaratkan cinta pada setiap ruas halaman buku.
Jangan kau pinta aku bercakap-cakap pada musim, karena aku bukan pendongeng yang piawai menyuarakan gemuruh sungai-sungai yang kehilangan bening. Aku bukan empu yang mampu memberi mantra pada jalan sunyi.
Saat ini, aku hanya penulis yang tak ingin kehilangan mimpi. Pintalah aku menulis tentang hingar bingar rasamu yang menguar dalam kebimbingan, pintalah aku menulis gegana hatimu yang lupa jejak jalan pulang, pintalah aku menulis sepi saat bercanda dengan kerlingmu, pintalah aku menulis keharmonisan cita dan cintamu yang mulai terkikis habis.
Sungguh, aku akan terus menulis tentang kamu, aku dan kita.
Blitar, 14 Maret 2021
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H