"Jingga adalah sebuah alasan mengapa senja tetap bertahan, meski matahari hanya memberi sekejap waktu, karena malam harus segera menggantikanya"
Begitu katamu mengibaratkan aku, agar sedia memberi ruang di taman hatimu untuk selalu menyamaikan benih-benih asa yang tercecer di hamparan kegersangan. Ketika remah-remah cahaya mulai bergeser dari peraduannya.
Pintamu disela-sela percakapan hujan, ketika rintiknya telah kehilangan irama, agar aku tetap menjadi sungai-sungai yang mengalir, meski rerimbunan batu terjal dan ngarai kokoh menjadi penghalang.
Layaknya musim semi yang  memberi kesuburan pada tanah, aku adalah bunga-bunga yang berdoa ketika kemarau memberitakan penggalan waktu  atas langit yang enggan menitipkan awan.
Laksana lautan ihlas, bahuku adalah tumpuhan keluh yang menampung setiap lelahmu. Ketika  semua menuliskanya sebagai akhir sebuah takdir, kau memintaku menulis sebuah permulaan.
Namun kini, aku melihat sorot matamu kaku dan beku. Kau serahkan catatan masa lalu kita yang robek tersayat kenangan. Setiap frasanya aku eja dengan penuh cerita kepedihan seperti pagi yang kehilangan cahayanya.
Aku tergugu, melihatmu pergi tanpa sepenggal alasan. Tak pernah ada lara sejatuh ini, aku terhuyung dan terpelanting pada perangkap masa lalu. Ternyata, kepergianmu menyisakan barisan luka menganga. Kehilanganmu adalah peperangan yang keruh.
Blitar, 7 Maret 2021
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H