Matahari menitipkan sinarnya pada senja melalui senandung sepasang burung belibis yang singgah di ujung sore ini. Sepi mulai menghinggapi pepohonan yang berdiri kokoh di pelataran perbukitan. Senyap merayapi ranting dan daun-daun yang mulai jatuh karena hujan tak lagi membersamainya.
Kesunyian itu seperti mimpi yang membelah waktu, menenggelamkan sebagian harapan yang pernah kau janjikan pada penghuni alam.
Bahwa tak akan ada lagi langit suram yang memporak-porandakan peradaban. Tak kan ada lagi malam gelap karena kesengajaan menyembumyikan rembulan. Juga tidak akan ada lagi tangan menengadah hanya sekadar untuk bersua.
Janjimu, sabda alam akan melahirkan orkestra dengan tarian ritme harmonis, berpadu dengan tembang-tembang malam syahdu. Serupa musim semi yang mengajari cuaca. Menumbuhkan benih-benih subur dari tanah-tanah gembur.
Katamu, tak akan ada lagi kesukaran hidup yang tertulis di halaman buku harian. Tak akan terdengar lagi rintihan kabar hujan yang menggenang di laman berita kota. Tak pernah ada lagi sepasang kekasih menggigil karena menulis kisah drama perpisahan.
Iya, tak akan tertulis lagi kalimat hitam yang membawa malam semakin jauh ke dalam, karena sesungguhnyan kita adalah bait-bait sajak yang indah, yang hadir mengukir kisah dan hikayat. Untuk menghapus kelam, membungakan rasa cemas dan pikiran luka.
Selamat tinggal Februari, hadirmu adalah hikayat penuh makna.
Blitar, 28 Februari 2021
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H