Sore ini, dalam rintik hujan, aku mengetuk pintu rindumu dengan sebait salam yang telah aku susun sekian waktu, agar kau bisa tersenyum bangga karena aku sudah bisa memberi sepotong senyum dan selarik salam yang pernah kau ajarkan dulu.
Terang, kau akan terhenyak, melihat binar indah mata ini, yang kemarin redup karena ada beberapa awan yang bertengger di sudut pelipis ini.
Kau juga akan melihat helai-helai rambut ini telah tertata rapi dengan aroma melati, padahal pada purnama lalu, kau selalu berkerut ketika melihat ada selaksa kabut menyelimuti alam nirwana pikir ini.
Maaf, bila aku harus memaksa memori yang sekian lama mengendap harus mengenang suara yang dulu bernada kelam dengan laring yang tertahan, karena aku tak sanggup bercerita kepadamu tentang jalanku.
Maaf, bila sore ini kau harus terkurung dalam bingung menatap aura wajah yang dulu dipenuhi dengan syak wasangka, senantiasa tenggelama dalam muram
Aku semakin tak mampu membendung kerinduan ini, segera kuraih tangan kusut itu, kucium punggungnya, ada bau kasturi di surga telapak rentamu.
Kau usap lembut rambutku, lalu kuucapkan, "Mawar biru ini untuk ibu, yang dulu pernah mengajariku bagaimana mengetuk firdaus."
Terima kasih guruku, aku yang dulu pernah membuat air matamu menetes seperti rinai hujan sore ini, namun kau selalu peluk aku dengan tiada dendam.
Selamat Hari Guru Nasional
Blitar, 25 November 2020
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H