/1/
Kapan aku bisa mendengar lagi sapaan mawar di petak taman mini tempatku belajar mengenal ihwal alam dengan segenap isinya?
Kapan aku bisa mengeja susunan kata yang menyuratkan petuah bijak tentang bagaimana caraku membenci dan mencinta?
Kapan aku bisa melepaskan rindu menemui genangan ilmu di muara surgamu?
Aku sadar, ternyata tubuhku belum mampu menjadi lautan tabah saat tergerus hujan dan terempas badai? Jiwaku juga belum cukup sabar saat gelisah menerpa resah.
/2/
Sepucuk pesan yang kau titipkan pada bangku kusam berderit, pilu rindu menusuk kalbu
Mengeja kata-kata yang kau ucapkan, menyeretku dalam arus kehampaan.
Meski jarak memisahkan cara kita menyampaikan pesan, namun kasih dan cintaku sama seperti bayangan yang tak pernah berhenti mengikutimu.
Lewat puisi ini, jaga peluk ini dalam lubukmu, bahwa kau adalah pelita yang memijar dalam setiap gelap pada masa kini dan yang akan datang.
Bahwa kau adalah mentari yang akan memberi sinar dan kekuatan pada banar yang tumbuh berkembang.
Bahwa kau adalah hamparan laut ihlas yang tetap tegar meski gelombang tak pernah surut.
Anakku, tetaplah dalam lindap hening hatimu sayang, tetaplah satu tujuan pada Tuhanmu, bahwa janji surga kebahagiaan bagi para pemenang, dan derita bagi para pecundang.
Luph yu anak-anak ibu, selamat berjuang
Blitar, 29 September 2020
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H