Enam purnama dinding-dinding ini mulai kusam
Tak ada  tarian pena nakal melukis punggung kokoh ini
Yang selalu diam kala curhatanmu, marah, rindu dan cinta melukisi
Bak surat garis hidup pengganti wicaramu
Pun mawar diujung kaki dinding itu
Merunduk lesu
Merindu sepotong lagu yang dulu sering kau nyanyikan
Tentang kehilangan, harapan dan janji
Candaan angin menyapanya
Tak seperti getaranmu kala memetik dawai
Piawai memainkan derai melodi
Meski kadang kau usil
Memetik bunga itu untuk disunting pada cinta pertamamu
Ah...sudah enam purnama berlalu
Bangku-bangku dalam ruang ilmu
Menantimu dalam sendu
Dalam teduh suasana haru
Tetiba aku rindu senyummu
Ingin bersamamu dalam sampan menuju ke dasar laut kebahagiaan
Ihwal cinta ini tak mungkin berubah
Hidup membersamaimu adalah keberkahan
Meski sering kau mencubit lelahku
Menumbuhkan gerah di hati ini meradang
Namun ada bias hampa
Menghuni kesunyian rana renjanaku
Bahwa aku benar merindukanmu anak-anakku
Rindu sapamu
Mencium punggung lenganku
Menghambur dalam pelukan
Lalu, menelisik jilbabku
Pandangmu kau hentikan di dadaku, sembari berteriak,
"Ahaa..bros ibu baru ya"
Oh, sungguh aku rindu perhatian itu.
Blitar, 11 September 2020
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H